Pameran Tunggal Hanafi ‘Pintu Belakang’ di Galeri Nasional Indonesia

Foto: Pameran Tunggal Hanafi (GNI)

GALERI Nasional Indonesia bekerja sama dengan Studio Hanafi akan menggelar Pameran Tunggal Hanafi “Pintu Belakang | Derau Jawa” pada 1­–15 Maret 2016 di Gedung A Galeri Nasional Indonesia. Pameran yang dikuratori Agung Hujatnikajennong ini menyajikan imajinasi lain tentang Jawa lewat ‘pintu belakang’.

Foto: Pameran Tunggal Hanafi (GNI)
Foto: Pameran Tunggal Hanafi (GNI)

Pintu belakang dalam kehidupan masyarakat Jawa, berhubungan dengan budaya yang terkait dengan istilah “jalan belakang” untuk berbagai hubungan informal tanpa publik. “Seseorang yang masuk rumah lewat pintu belakang bisa diindikasikan dia adalah ‘orang dalam’ atau ‘orang dekat’. Kalau kita tidak punya pintu belakang, kita tidak punya pulang. Rumah menjadi tempat untuk pergi,” ungkap Hanafi. Pintu belakang milik Hanafi tersebut diterjemahkan ke dalam karya instalasi dan lukisan.

Bacaan Lainnya

Hanafi merupakan perupa yang aktif berkarya. Sejak deawal 1990 hingga 2015, Hanafi telah menggelar 38 pameran tunggal dan 80 pameran bersama. Ia telah meraih sejumlah penghargaan, beberapa diantaranya adalah 10 terbaik Philip Morris Art Award, Anugerah Kebudayaan Universitas Indonesia, dan Indofood Art Award (2002 dan 2003). Selain mendalami dunia seni rupa, Hanafi juga berkecimpung di dunia seni pertunjukan.

PINTU BELAKANG

Apakah Jawa? Sebuah imajinasi yang tidak memiliki teritori. Atau teritorinya hanya nyata dalam bahasa Jawa? Hanafi membuka kembali dialog kawasan historis di sekitar dunia Jawa ini, setelah pameran sebelumnya (Oksigen Jawa) di Galeri Soemardja ITB, Bandung, 2015.

Kali ini, Pintu Belakang | Derau Jawa yang dikuratori Agung Hujatnikajennong lebih untuk melihat – bagaimana Jawa sebagai sebuah “bungkusan identitas” – apakah masih merupakan faktor penentu dalam politik identitas yang berlangsung di Indonesia. Karena Jawa merupakan mayoritas dimana proses politik kebudayaan masih terus menggeliat hingga kini.

Lingkungan seni rupa yang dijalani Hanafi, terbentuk dalam tradisi di mana media masih dipahami sebagai pencarian dan pengukuhan identitas estetis. Ketika pengertian ini bergeser dan media kian bergerak sebagai industri kontemporer (pasar yang mengatasi kekinian), kemungkinan yang bisa dilakukan Hanafi adalah membaca ulang lingkungan budaya yang pernah membentuknya.

Pintu belakang merupakan imajinasi lain tentang Jawa. Pintu belakang dalam kehidupan masyarakat Jawa, berhubungan dengan budaya yang terkait dengan istilah “jalan belakang” untuk berbagai hubungan informal tanpa publik.

“Kalau pulang ke rumah, aku lebih suka masuk lewat pintu belakang. Pintu depan selalu memunculkan bayangan bapak yang duduk di kursi menatap lurus ke luar pintu. Posisi yang mengandung konstruksi kekuasaan untuk mengawasiku. Kini pintu belakang tidak berfungsi lagi. Halaman belakang lalu berubah jadi sebuah ideologi yang kosong, kemudian cenderung diisi dengan sampah,” kata Hanafi. “Kalau kita tidak punya pintu belakang, kita tidak punya pulang. Rumah menjadi tempat untuk pergi,” lanjutnya.

Pameran ini serupa arus balik ketika Hanafi mulai melihat arus eksternalisasi budaya, pasar global, alih-alih merupakan tekanan “pintu depan” dari arus eksternalisasi budaya ini. Konsep pintu belakang dalam tata ruang rumah Jawa menjadi perhatiannya kembali. Jawa yang dialami Hanafi berada di luar lingkaran Keraton. Walau untuk masyarakat Yogyakarta, Purworejo (tempat kelahiran Hanafi) disebut sebagai daerah Bagelen.

Software identitas yang cair ini membuat Hanafi nyaris tidak memiliki beban untuk mengalami Jawa secara personal. Tetapi apakah Jawa itu? Sebuah imajinasi yang tidak memiliki teritori. Atau teritorinya hanya nyata dalam bahasa Jawa. Dan keberagaman Indonesia mungkin tidak pernah ternyatakan sebagai keberagaman tanpa masuknya Islam, kolonialisme, kemudian modernism. Jawa sebagai mayoritas menjadi bandul utama dalam arus politik identitas ini. (gni/gr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *