Pameran Seni Rupa ‘Biennale Jogja 2015’ Libatkan 30 Seniman Indonesia dan Nigeria

Biennale Jogja 2015 (ist)

SECARA resmi pameran seni rupa besar per dua tahunan, ‘Biennale Jogja 2015 Ekuator’ dengan tema ‘Meretas Konflik’, dibuka, pada Minggu (1/11/2015) di Jogjakarta Nasional Museum. Rencananya, agenda seni rupa terbilang besar ini akan digelar selama 40 hari. Seniman yang terlibat dalam hajatan seni rupa ini melibatkan 30 seniman asal Indonesia dan Nigeria. Tentu kesemuanya akan memajangkan karya terbaiknya.

Biennale Jogja 2015 (ist)
Biennale Jogja 2015 (ist)

Pameran ini dibuka oleh Umar Priyono, kepala Dinas Kebudayaan DIY, mewakili Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X.Pembukaan pameran dilengkapi tradisi Sego Wiwitan. Di sana para pengunjung diberi sebuah nasi dengan lauk pauk dan satu buah pisang.

Bacaan Lainnya

“Ya Tuhan, semoga kami tidak lupa bahwasanya seluruh ruang adalah ruang belajar dan ruang bermain kami. Amin,” tertulis dalam secarik kertas yang berada di sebuah daun pisang yang membungkus makanan dari tradisi Sego Wiwitan tersebut. Adapun dalam sambutannya Umar mengatakan, melihat tema yang diusung pada penyelenggaraan Biennal Jogja tahun ini, sebuah konflik bisa menjadi kreatifitas dan inovasi serta dapat menghasilkan sesuatu yang positif.

“Jika ditularkan akan mewujudkan perdamaian, menjadi kuat di dalam segala aspek. Dimensi budaya merupakan sesuatu yang penting dari napas Yogyakarta,” kata Umar menegaskan.

BIENNALE JOGJA

Biennale Jogja (BJ) merupakan perhelatan besar seni rupa yang rutin diselenggarakan setiap dua tahun sekali oleh Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) dan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tahun 2011, YBY meluncurkan proyek Biennale Jogja seri Ekuator (Biennale Equator). Seperti ditunjukkan pada namanya, Biennale Equator adalah Biennale yang bekerja di kawasan Khatulistiwa. BJ seri Equator ini akan membawa Indonesia, khususnya Yogyakarta, mengelilingi planet Bumi melintasi garis selama 10 tahun.

BJ seri Ekuator merupakan serangkaian pameran dengan agenda jangka panjang yang akan berlangsung sampai dengan tahun 2022. Dalam setiap penyelenggaraannya, Biennale Equator akan bekerja sama dengan satu atau lebih negara atau kawasan di sekitar Katulistiwa. Pada perhelatan BJ XIII 2015 – Equator#3 kali ini, YBY mempertemukan Indonesia dengan salah satu negara di Benua Afrika yaitu Nigeria. Bersinergi dengan pemerintahan Desa Panggungharjo, perhelatan ini sekaligus menandai dibukanya rangkaian kegiatan peringatan Hari Ulang Tahun Desa Panggungharjo, hingga bulan Desember 2015.

Sebagai upaya untuk mendukung dan menyongsong perhelatan besar ini, diselenggarakan beragam kegiatan yang menampilkan kreativitas dan potensi masyarakat lokal. Salah satunya ditunjukkan dalam Panggung Literasi Selatan (PLS). Kegiatan ini merujuk pada lokasi penyelenggaraan, yaitu di Desa Pangguharjo, Sewon, Bantul. Terbagi dalam tiga titik di desa yang potensial ini, warga desa menghadirkan pelbagai pontensinya untuk dapat diangkat ke panggung internasional. Maka tak berlebihan jika tagline yang dipakai adalah Dari Panggungharjo ke Panggung Internasional yang dikemas dalam tema besar “Emansipasi Desa: Kebudayaan, Ritus dan Pengetahuan”.

Fokus utama dari festival ini adalah pada tema. Ada dua hal yang coba dirayakan dalam festival ini. Pertama, memberi ruang bagi praktik-praktik literasi yang mandiri dari pelbagai latar identitas tertentu. Kedua, memanggungkan praktik-praktik ritual yang ada dalam masyarakat sebagai bagian dari praktik literasi warga. Selain itu acara juga mengakomodasi isu Asia dan Afrika melalui kajian sastra dan film.

Dalam praktik perhelatan PLS, komunitas yang tampil cukup beragam. Salah satunya adalah Radio Buku yang selama ini menjadi media dan ruang bagi kerja literasi dan dokumentasi pada bidang perbukuan, sejarah, seni, dan sastra.

Selain itu kerjasama perhelatan juga melibatkan komunitas lain seperti Bunda Kata, Grup-grup Kesenian Desa Panggungharjo, MojokDotCo, Pindai, Jombloo, Minum Kopi, Warung Arsip, Ngopi Nyastro, Kamissinema ISI, RKSD, Jawigrapgy, Warkop Bintang Mataram 1915, Dongeng Kopi, Komunitas Kretek, dan kolektor-kolektor zine dari Yogyakarta, Bandung, dan Solo. Empat Tujuan Paling tidak, terdapat empat tujuan festival yang melibatkan warga dan pelbagai komunitas ini.

Pertama, pertemuan antara perupa-perupa Indonesia dan Nigeria di Yogyakarta dalam pergelaran Biennale Jogja XIII bertujuan membicarakan isu spesifik yang membuka diskusi dan dialog lebih luas mengenai kedua wilayah tersebut melalui pelbagai program.

Kedua, program-program yang disusun bertujuan menunjukkan keragaman budaya kontemporer dan perubahan sosial dari masyarakat sebagai pembentuk dinamika kebudayaan di kedua wilayah tersebut.

Ketiga, pertemuan Indonesia dengan Nigeria melalui Biennale Jogja XIII semakin menunjukkan Yogyakarta sebagai wilayah dengan produktivitas seni tertinggi di Asia Tenggara bisa dikenal di kawasan lebih luas. Keempat, mengenalkan kreativitas dan potensi lokal, khususnya Desa Panggungharjo kepada masyarakat yang lebih luas. Sekaligus Panggung Literasi Selatan (PLS) ini adalah ajang persiapan Desa Panggungharjo menjadi Desa Literasi dan Budaya. (rl/gr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *