Menelusuri Pinggiran di Jantung Borneo, Temukan Sejuta Keindahan

Foto ilustrasi: Danau Aco Kulbar. (ist)

Reporter : Hana Adi Perdana

WAKTU menunjukkan pukul 13.40 WITA. Tak ada jamuan mewah, hanya alunan musik tradisional diiringi dengan Tarian Ngelewaai menyambut kehadiran kami. “Selamat datang di kampung Linggang Melapeh,” ujar Kepala Kampung, Yosua Musiman.

Bacaan Lainnya
Foto ilustrasi: Danau Aco Kulbar. (ist)
Foto ilustrasi: Danau Aco Kulbar. (ist)

Gadis-gadis muda nan cantik khas Kalimantan Timur sudah menanti di pintu masuk rumah adat Kuta Barat. Gelang rotan made in Linggang Melapeh dikenakan gadis-gadis muda tersebut kepada kami sebagai tamu kehormatan.

Kampung Linggang Melapeh sendiri adalah salah satu percontohan kampung yang membangun perekonomian tanpa harus merusak lingkungan (Green Economy). Sebab, mereka pernah menolak potensi besar dari kehadiran tanaman Sawit.

Usai memberi jamuan, Kepala Kampung mengajak kami menengok harta berharga mereka, Gunung Eno dan Danau Aco. Keduanya merupakan kawasan konservasi yang kini tengah dikembangkan menjadi ekowisata. Sepanjang 7 KM harus kami tempuh untuk menuju kedua kawasan ini (4 KM ke gunung Eno dan 3 KM danau ACO).

Beruntung, cuaca saat itu cerah sehingga perjalanan menuju Gunung Eno tak menemui hambatan. Lain cerita jika hujan, medan menanjak dan menurun akan menjadi licin, ditambah jalanan begitu curam karena banyak jalanan yang masih berlubang.

Setibanya di Gunung Eno, suasana sejuk, pepohonan masih sangat rindang, dan bau embun khas pegunungan menyambut. Semua masih tampak asri, belum ada jamahan pengusaha nakal yang membangun kerajaan bisnisnya di sini.

Danau Aco pun demikian, senyum manis khas Gadis Kalimantan kembali menghiasi pemandangan mata saat melihat mereka begitu asik mengayuh perahu bebek di tengah danau. Hanya ada 4 penjaga yang mengurus kawasan ini.

Waktu berlalu begitu cepat tanpa kami sadari, cahaya rembulan yang cukup benderang sudah mulai nampak menggantikan matahari, seolah mengajak kami untuk menghentikan aktivitas. Saat itu, kami bermalam di rumah salah seorang warga Linggang Melapeh.

Kesan horor begitu kental karena suasana sangat gelap dan masih banyak ilalang tinggi beserta pohon-pohon besar. Saya pikir mereka lupa menyalakan listrik, ternyata listrik di kampung ini sedang mengalami pemadaman bergilir.

“Di sini sering mati listrik kalau malam, sering ada pemadaman bergilir,” kata salah seorang warga.

Matahari mulai menampakkan sinarnya di sela-sela ventilasi rumah penduduk yang kami tinggali. Menandakan aktivitas dimulai. Jam di tangan menunjukkan pukul 08.00 WITA, kami bergegas mengemasi barang untuk segera melanjutkan perjalanan.

Bau amis langsung menyambut kami setibanya di Pelabuhan Tering. Beberapa pria datang menghampiri untuk menawarkan jasanya mengantar kami dengan speedboat.

Perjalanan menyusuri jantung Borneo dimulai dari sungai Mahakam. Tujuannya adalah Kampung Mahakam Ulu. Suara mesin perahu mengiringi perjalanan kami di perairan.

Tak ada aktivitas berarti selama perjalanan. Hanya beberapa perahu kecil saja yang melintas untuk mengantarkan pesanan barang dan kebutuhan pokok lainnya ke kampung-kampung maupun mengantar penumpang. Sementara kami hanya saling bersenda gurau dan bersenandung menikmati pemandangan di sekitar sungai Mahakam yang keruh.

Sesungguhnya, perjalanan air ini cukup memacu adrenalin. Mengapa tidak, speedboat yang kami tumpangi harus berjibaku melawan derasnya arus sungai Mahakam. Ditambah lagi, batang kayu kecil dan besar mengambang acak di sekitar sungai dan siap menghantam speedboat kami kapan saja.

Beruntung, asam garam pengemudi speedboat kami mampu berjibaku tanpa menemui kesulitan berarti. Betis ini terasa keram duduk beberapa jam, kulit berminyak, dan mata cukup sayup karena terbawa nikmatnya angin di sungai Mahakam.

Sebelum sampai ke Kampung Ujoh Bilang, kami singgah terlebih dahulu ke Kampung Mamahak Teboq dan Kampung Laham. Keduanya merupakan kampung yang menolak kehadiran tanaman sawit di tanah pribumi mereka dan memilih untuk mengembangkan potensi yang ada di sekitarnya.

Tidak terasa Matahari sudah kembali menyembunyikan sinarnya. Ah, akhirnya, kami benar-benar melanjutkan perjalanan ke Ujoh Bilang.

Dalam waktu 60 menit, akhirnya kaki kami menginjakkan tujuan akhir perjalanan di jantung Borneo. Ya, Ujoh Bilang, kampung ini merupakan pusat dari pemerintahan Kabupaten Mahakam Ulu. Tidak ada perbedaan kampung ini dengan kampung lainnya. Masih banyak rumah panggung, lampu penerangan jalan seadanya, dan sepeda motor menjadi transportasi andalan warga kampung.

Di kampung ini, perbedaan begitu kental terasa bagi mereka yang sering menikmati harga sesuai grosir. Tapi tidak untuk kampung ini. Berbagai kebutuhan sandang dan pangan harganya melonjak 2-4 kali lipat. Sebut saja 1 minuman yang biasa dibeli di Jakarta Rp 5.000 di sini menjadi Rp 10.000.

Tak hanya itu, kampung yang masih seumur jagung ini juga bak kehilangan setengah nyawanya di pagi hari. Betapa tidak, warga Ujoh Bilang tidak bisa menikmati listrik selama 12 jam. Kalaupun bisa, hanya dinikmati dari pukul 18.00-06.00 WITA.

Perjalanan menyusuri Jantung Borneo meninggalkan banyak pertanyaan di hati. Ke mana janji manis pemerintah untuk membangun daerah dari pinggiran, jika di pinggiran Kalimantan Timur masih banyak masyarakat yang berjuang membangun ekonominya tanpa banyak kontribusi dari pemerintah. (biro kaltim/gr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *