Grebeg Suro dan FNRP XXIII Ditutup Dengan Ritual Sesaji ‘Buceng Agung’

Foto: Grebeg Suro dan Festival Nasional Reog Ponorogo 2916. (ist)

Larung Telaga Ngebel kali ini tidak banyak berbeda dengan larung- larung tahun sebelumnya

PONOROGO – Kegiatan Grebeg Suro dan Festival Nasional Reog Ponorogo (FNRP) XXIII, ditutup dengan ritual larungan sesaji “Buceng Agung” (Tumpeng raksasa) di Telaga Ngebel, Minggu (02/10/2016).

Bacaan Lainnya

Meski germis telah berganti hujan tidak menyurutkan warga Ponorogo dan dari kota-kota sekitar untuk mengikuti prosesi Larung Telaga Ngebel 2016 yang digelar untuk menyambut datangnya tahun baru Hijriah 1438. Sebaliknya, para warga berjudel ingin menikmati acara budaya tersebut.

Sedikitnya ribuan warga dari berbagai pelosok daerah di Ponorogo dan sekitarnya, tampak memadati seluruh area bibir telaga yang menjadi tempat larung. Mereka setia sejak pagi hingga tumpeng atau buceng hilang ditelan air telaga penuh legenda ini di tengah hari.

Larung Telaga Ngebel kali ini tidak banyak berbeda dengan larung- larung tahun sebelumnya. Dua buah buceng alias tumpeng disiapkan. Satu buceng berisi nasi merah, lengkap dengan sayur, telur dan ingkung ayam, buceng lainnya berisi buah-buahan dan hasil bumi lainnya.

“Tahun ini namanya Larung Telaga Ngebel. Bukan Larung Sesaji atau Larung Risalah Doa. Ini demi seluruh warga Ponorogo,” ungkap Camat Ngebel Hadi Prayitno.

Menurut Hadi, nama Larung Sesaji membuat kegiatan ini seolah- olah kental dengan nuansa magis dan cenderung musyrik. Hal ini menjadi pertimbangan untuk mengganti nama dengan Larung Risalah Doa. Namun lagi-lagi nama ini dirasa kurang pas dengan hal yang diinginkan.

“Karena itu namanya kita ganti. Yaitu dengan nama yang tidak banyak mengundang makna macam-macam. Sekarang, maknanya diserahkan ke masing-masing warga tanpa memandang agama, aliran atau apapun,” ucap Hadi, Rabu (6/10/2016).

Diawali dengan tarian yang oleh sejumlah gadis yang masih berstatus perawan. Buceng Agung terlebih dahulu diarak keliling Telaga Ngebel.

“Alhamdulillah, seluruh rangkaian acara, baik kegiatan Grebeg Suro, FNRP, maupun larungan di Telaga Ngebel ini berjalan lancar,” ucap Bupati Ponorogo, Ipong Mukhlisoni.

Bahkan Bupati Ipong yang mengikuti prosesi dari awal tersebut, walau dalam kondisi hujan deras terlihat sangat antusias hingga rela duduk di besi pembatas saat berada di perahu, untuk bisa lebih dekat dan jelas, sembari beberapa kali menagcungkan jempolnya.

Sementara KRT. Hartono Dwijo Hadi Purwo yang juga sebagai sesepuh masyarakat Ngebel mengatakan, digelarnya larung sesaji ini bertujuan untuk wisata alam, juga untuk peningkatan pendapatan asli daerah.

Ditambahkanya, gelaran ini adalah sebagai wujud rasa syukur masyarakat Ngebel pada Tuhan Yang Maha Kuasa, dengan harapan masyarakat Ngebel aman tidak ada aral apapun.

Buceng Agung yang bahan utamanya adalah beras merah ini, dikatakan Hartono memiliki filosofi sebagaimana umumnya, warna merah yang berarti berani menghadapi permasalahan apa saja.

Dikatakanya, acara ini telah digelar secara rutin sejak tahun 1993. ”Sebelum diadakan larung sesaji ini, berkali-kali ada orang kecelakan dan tenggelam, setelah diadakan aman karena semata ridlo Allah,” kata KRT Hartono.

Selain itu, pengajar SDN 1 Ngebel ini menambahkan, bahwa dengan digelarnya larung sasaji, mempunyai efek ekonomi yang sangat tinggi bagi masyarakat sekitar Telaga Ngebel, terbukti telah banyak berdiri penginapan ataupun hotel yang selalu penuh dengan pengunjung, termasuk banyakanya warung dan parkir.

“Ini sangat membantu untuk meningkatkan perekonomian masyarakat Ngebel,” tutupnya. (ar/gr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *