Seminar Kearifan Lokal di Balai Sidang Universitas Bosowa

Foto: Kearifan lokal. (ist)

UNTUK mempertahankan kearifan lokal, badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Sastra menggelar Seminar Kebudayaandi Balai Sidang Universitas Bosowa, Rabu (28/4/2016). Seminar ini menambil ‘Strategi Pertahanan Kearifan Lokal bagi Generasi Muda’.

Kegiatan yang dimoderatori oleh Bustam, mahasiswa lulusan terbaik kedua Universitas Bosowa, ini menghadirkan pembicara seperti Abdul Rahim selaku Perwakilan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulsel, Tokoh Pemuda Sulsel M Asratillah Senge, dan Maestro Musik Tradisional Sulsel Muh Arsyad Kulle. Selain itu, kegiatan ini juga dihadiri oleh seluruh perwakilan BEM dan himpunan di bawah payung Universitas Bosowa.

Bacaan Lainnya

Bustam mengungkapkan bahwa seminar kebudayaan ini berangkat dari kecemasan hari ini akan kurangnya pengetahuan bahkan penghargaan akan generasi muda terhadap kearifan lokal. Menyoal kearifan lokal, Abdul Rahim mengungkapkan bahwa kearifan berbicara tentang meletakkan sesuatu pada tempatnya.

Saat ini pemerintah telah melakukan berbagai upaya dan strategi sebagai langkah taktis untuk melestarikan kebudayaan. “Kami menjabarkan tiga aspek sebagai indikator, yaitu aspek perlindungan, aspek pemanfaatan, aspek pengembangan,” ungkap Abdul Rahim.

Dalam aspek perlindungan, penjabaran yang dilakukan ada dalam bentuk regulasi. Sedang dalam aspek pemanfaatan, penjabaran yang dilakukan ada dalam pengelolaan destinasi wisata, revitalisasi. Dan yang terakhir dalam aspek pengembangan, penjabaran yang dilakukan ada dalam berbagai konsep revitalisasi, pengkajian, penelitian, dan lainnya. Saat ini, Phinisi dan Toraja yang berada di Sulawesi Selatan telah masuk sebagai nominasi warisan budaya dunia.

Dalam konteks kebudayaan, era globalisasi hadir sebagai peluang dan juga tantangan. Tokoh Pemuda Sulsel dalam menyampaikan materinya tentang Sistem Pendidikan dan Politik Global, menegaskan bahwa globalisasi menuntut masyarakat untuk memahami bahwa kebudayaan berbicara tentang masa lalu, sekarang, dan yang akan datang. Ia menegaskan bahwa di era globalisasi seperti sekarang ini, kebudayaan berada dalam dua kutub ekstrim lokalitas dan kutub ekstrim globalitas. Disinilai letak peluang dan tantangannya.

“Saat ini, tantangan yang kita hadapi adalah Fundamentalisme Agama, Efek Samping Globalisasi, dan Perkembangan Ekonomi Politik Global,” ujarnya.(co/gr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *