BANDUNG – Pagelaran kolosal ‘Opera Legenda Ciung Wanara’ di Teater Tertutup UPTD Pengelolaan Kebudayaan Daerah Jawa Barat, selama dua hari Rabu (31/7/2019) dan Kamis (1/8/2019).
Gedung berkapasita 650 tempat duduk ini penuh sesak oleh penonton. Bahkan ada sebagian penonton yang terpaksa duduk dilantai dan sebagian lagi berdiri.
Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil membuka pergelaran opera legenda kolosal Ciung Wanara yang disutradarai oleh seniman besar Jabar Bambang Arayana Sambas ini.
Sedikitnya, melibatkan 82 penari muda dan anak-anak tingkat SD hingga SMU juga mahasiswa. Selain sebagai bentuk pelestarian budaya, Ridwan Kamil (RK) pun menyambut positif opera Ciung Wanara karena melibatkan generasi muda sebagai pemain maupun sebagai penonton.
Kepala UPTD Pengelolaan Kebudayaan Daerah Jawa Barat, Erick Henriana didampingi Kepala Seksi Atraksi Budaya, Iwan Gunawan dalam jumpa persnya mengatakan, pergelaran ini menampilkan sebuah drama kolosal yang sarat dengan muatan sejarah dan kearifan lokal. Tidak hanya sekedar kekayaan sastra, seni dan sejarah Sunda tetapi budaya Sunda secara komprehensif.
“Sebuah kisah dalam sasakala atau legenda dengan ditandai situs-situs dan petilasannya, menunjukan bahwa kisah tersebut pernah terjadi yakni pada masa kerajaan Galuh Pakuan,” kata Ercik, di Gedung PPK/YPK Jln. Naripan Bandung mengatakan, Rabu (31/7/2019).
Opera Ciung Wanara ini dikisahkan pada masa kejayaan Kerajaan Galuh Pakuan dengan ibu kota di tepian Citanduy ‘Karang Kamulyan’ yang konon menurut tutur juru Pantun kekuasaan Galuh terbentang dari ‘Gunung Rakata (Krakatau) yang menghujam dasar samudra di barat sana’ hingga ‘Gunung Agung (Bali) menyundul langit di arah mentari terbit’. Betapa hebatnya kejayaan Galuh Pakuan!
Prabu Barmawijaya raja nan bijaksana sedang bersuka-cita karena Prameswari I (Dewi Naganingrum) dan Prameswari II (Dewi Pangrenyep) tengah mengandung jabang bayi pada waktu hampir berbarengan. Bahkan Prameswari II Dewi Pangrenyep melahirkan lebih dahulu yang disambut gembira oleh Sang Raja dan diberi nama Hariang Banga. Sukacita melanda Sang Raja beserta seluruh rakyat kerajaan Galuh Pakuan.
Timbul ambisi dengki dari Dewi Pangrenyep demi memuluskan agar putranya Hariang Banga menjadi putra mahkota pewaris kerajaan yang tanpa saingan. Maka dijalankan tipu muslihat keji pada saat persalinan Dewi Naganingrum di mana bayi yang dilahirkan digantikan oleh seekor anak binatang, sedangkan bayi asli dimasukan ke dalam ‘kandaga’ (kotak) berserta sebutir telur dan selanjutnya ‘dilarung’ (dihanyutkan) ke sungai Citanduy.
Sang Raja betapa murka dan terhina sehingga memerintahkan Mamang Lengser untuk membunuh Dewi Naganingrum yang dianggap telah mambawa aib dan nista bagi kebesaran Galuh, namun Mamang Lengser yang jeli bijaksana tidak mentaati sabda rajanya dan prameswari berbudi ini hanya disembunyikan secara rahasia di hutan belantara.
Konon ‘kandaga’ yang hanyut ditemukan oleh Aki Balangantrang yang memang mata pencariannya menangkap ikan di sungai Citanduy. Selanjutnya bayi mungil itu dibesarkannya dengan penuh kasih sayang bersama istrinya Nini Balangantrang serta dianggap sebagai cucunya sendiri. Berasal dari nama 2 binatang (nama burung dan monyet), bayi yang sudah bujang itu di beri nama panggilan CIUNG WANARA!
Ditemani dengan ‘ayam jago’ dari telur dalam kandaga yang telah ditetaskan Ciung Wanara berangkat ke ibu kota Galuh untuk memulai mencari jatidirinya yang selama ini kelam baginya. Dan setelah melalui liku-liku peristiwa penuh heroic maka terjawab sudah semua kepenasaran dan harapannya sebagaimana hak dan kewajibannya yang tertulis pada ‘uga’ sekalipun harus melalui persetruan berat (konflik) terlebih dahulu dengan saudara sedarahnya Hariang Banga. (***)