Mengobarkan Kembali Semangat Kebangkitan Nasional Di Masa Pandemi Untuk Mengantisipasi Revolusi Kebudayaan Global

Julia Bea Kurniawaty

Oleh : Julia Bea Kurniawaty, SH. MH *

SAAT ini dunia masih dihebohkan dengan pandemi Covid-19 yang sepertinya belum akan selesai dalam waktu dekat karena proses vaksinasi masih berjalan dan belum tuntas.

Bacaan Lainnya

Setiap hari penduduk dunia disajikan berita-berita mencekam layaknya film thriller atau film menegangkan bak opera sabun yang tak kunjung selesai dan sulit menebak akhir ceritanya, berakhir suka (happy ending) atau duka (sad ending). Bahkan di saat vaksinasi sedang berjalan, sudah muncul varian-varian baru dari Covid-19, yang membuat penduduk dunia bisa saja menjadi skeptis tentang akhir dari pandemi Covid-19.

Bisa dibayangkan bagaimana efek psikologis yang diterima oleh penduduk dunia karena setiap hari dilanda kecemasan dan ketidakpastian.

Seperti ada kontradiksi, di satu sisi berbicara kesehatan raga (fisik) supaya orang jangan sampai mengalami gangguan kesehatan fisik karena terpapar covid 19 bahkan dapat beresiko pada kematian, tetapi di sisi lain seperti mengesampingkan pentingnya kesehatan jiwa (mental) penduduk dunia.

Begitu badan dunia yang mengurusi kesehatan yaitu World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa wabah virus corona yang kemudian dikenal dengan covid 19 menjadi pandemi global, maka serta merta negara-negara anggota WHO mengambil kebijakan yang disesuaikan dengan arahan, panduan, model dan protokol WHO.

Atas nama kesehatan publik demi menghindari penyebaran virus dan terpapar covid 19 negara-negara anggota WHO mengambil kebijakan membatasi aktifitas masyarakat dari yang bersifat total seperti lockdown maupun yang bersifat sebagian, yang langsung maupun tidak langsung menciptakan permasalahan sosial, budaya dan ekonomi tersendiri.

Mungkin saja sekian milyar penduduk dunia akan dapat diselamatkan dari wabah penyakit akibat virus tersebut bila mengikuti arahan dan panduan WHO namun disadari atau tidak justru saat ini sudah sekian juta penduduk dunia terpapar kesehatan mentalnya karena merasa terkekang dan juga depresi akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal serta kehilangan sumber pendapatan untuk sektor informal hingga merasa skeptis terhadap masa depan dan tidak jarang semua ini juga berimbas pada konflik dalam rumah tangga akibat kemampuan ekonomi menurun drastis, sebagai efek domino dari pembatasan-pembatasan sosial tersebut.

Mereka juga dipaksa mengubah perilaku sosial budaya dan ekonominya. Dari bekerja normal di kantor menjadi bekerja dari rumah, dari belajar di sekolah atau di perguruan tinggi menjadi belajar dari rumah serta banyak lagi pembatasan-pembatasan sosial yang dampaknya juga dirasakan di bidang budaya dan ekonomi, walaupun saat ini dirasakan sudah mulai banyak pelonggaran pembatasan sosial.

Bila semua terjadi secara masif maka tak pelak melahirkan sebuah revolusi kebudayaan global. Sekalipun perubahan perilaku sosial, budaya dan ekonomi mungkin disebut sementara tetapi belum tentu mampu mengembalikan lagi seperti semula karena bila hal itu dilakukan selama berbulan-bulan maka memori otak manusia akan merespon segala sesuatunya berdasarkan hal-hal yang baru yang dilakukan berulang-ulang dan terus menerus sehingga justru merasa asing bila dikembalikan seperti semula.

Revolusi berarti perubahan yang cepat dan bila perubahan cepat itu sudah menyentuh nilai-nilai dasar kehidupan sosial dan budaya seperti perubahan pranata sosial dan perilaku sosial serta mengubah tradisi, norma maka sudah bisa menjadi indikator adanya revolusi kebudayaan.

Bila perubahan cepat yang menyentuh ranah sosial budaya itu terjadi hampir bersamaan di seluruh penjuru dunia layaknya sebuah trend global maka itulah awal dari sebuah revolusi kebudayaan global tidak lagi sekedar gelombang perubahan baru atau new wave yang mungkin bicaranya hanya perubahan sporadis di satu dua bidang saja dan waktunya juga tidak bersamaan

Saat ini orang mungkin tidak nyaman lagi berbicara langsung dengan orang lain tanpa menggunakan masker begitupun lawan bicaranya, bahkan lebih nyaman melalui alat komunikasi atau melalui media sosial, kemudian juga meniadakan jabat tangan karena takut bersentuhan langsung padahal sebelumnya itu budaya masyarakat terkait tata krama, bahkan ada yang menjadi paranoid karena takut terpapar penyakit bila ada orang sakit dan masuk rumah sakit, yang sebelumnya justru selalu mengagendakan jadwal untuk membezuk bila ada teman atau kerabat yang dirawat di rumah sakit, termasuk untuk urusan bersosialisasi langsung yang mulai jarang ditemukan karena orang cenderung semakin menjadi tertutup dalam komunikasi langsung.

Pada pola kerja dan pola belajar juga terjadi perubahan drastis karena semuanya harus dilakukan dari rumah dengan bantuan teknologi informasi seperti internet.

Satu sisi efektif dan efisien dan lebih aman dengan meminimalkan kontak fisik langsung untuk menghindari terpapar penyakit namun di sisi lain menghilangkan makna interaksi sosial langsung yang merupakan bagian terpenting membangun rasa saling pengertian karena mampu memahami bahasa lisan maupun bahasa tubuh lawan bicara.

Dalam piramida kebutuhan hidup manusia kebutuhan sosial berupa interaksi sosial langsung adalah satu bagian penting supaya manusia lebih menghargai satu dengan lainnya.

Bagi mereka yang hidup di perkotaan mungkin tidak terlalu banyak kendala teknologi informasi seperti internet namun tidak demikian dengan mereka yang di pedesaan, apalagi yang tidak memiliki jaringan internet, tentu menjadi masalah tersendiri.

Perdagangan dan pelayanan publik digeser dengan mengedepankan pelayanan publik dan perdagangan berbasis digital dan on line, bahkan pariwisata pun dicoba virtual.

Luar biasa cepat proses digitalisasi, komputerisasi, daring dan on line bahkan semua seperti sudah siap infrastrukturnya sebelum pandemi covid 19 mengubah dunia dari segala sesuatu yang konvensional menjadi serba digital.

Pertanyaan muncul, bagaimana pandemi covid 19 dengan mudah memicu revolusi kebudayaan global?

Tak mudah menjawabnya, namun bila dilihat sebab dan akibat sebagai dasar berpikir ilmiah, maka benang merah dari revolusi kebudaayaan global bisa ditarik kesimpulan dari logika silogismenya.

Bila A sama dengan B dan B sama dengan C maka kesimpulannya A sama dengan C begitupun sebaliknya.

Kalau diambil satu contoh saja yaitu istilah bekerja dan belajar dari rumah dan diterapkan pada silogismenya maka bisa dilihat hasilnya berikut ini : Bila tak ada pandemi covid 19 maka tak banyak dikenal istilah orang bekerja dari belajar dari rumah Bila tak ada bekerja dan belajar dari rumah maka tidak ada revolusi kebudayaan gobal, maka kesimpulannya bila tak ada pandemi maka tak ada revolusi kebudayaan global. Bila dibalik maka hasilnya seperti situasi dan kondisi saat ini.

Bila diambil sebagai contoh adalah perubahan cepat pranata sosial budaya, maka hasilnya kurang lebih sama dengan logika silogisme tadi.

Membuat spekulasi tentang direncanakan atau tidaknya revolusi kebudayaan global ini sama sulitnya menjawab apakah antivirus komputer sudah direncanakan dan disiapkan bersamaan dengan munculnya jenis virus komputer baru.

Hal yang sudah pasti adalah pandemi covid 19 telah banyak mengubah penduduk dunia dan bisa dilihat dari dua dimensi yaitu dimensi positifnya maupun dimensi negatifnya.

Tidak salah mengikuti arahan, panduan, model maupun protokol WHO namun negara-negara anggota WHO harus memikirkan pula kedaulatan negaranya, ketahanan nasional serta nilai-nilai lokal (local genius) dari negaranya sebagai bagian dari memegang teguh Ideologi dan semangat kebangsaan atau nasionalismenya.

Bagi bangsa Indonesia yang memiliki Ideologi Pancasila, perubahan sosial, budaya dan ekonomi secara cepat apalagi sudah menjadi bentuk revolusi kebudayaan global, tidak ada pilihan lain kecuali membendung dampak negatif yang ditimbulkan walaupun tetap beradaptasi dengan revolusi kebudayaan global tersebut.

Penanganan pandemi covid 19 merupakan hal penting untuk jangka pendek, tetapi bangsa Indonesia jangan mengabaikan dampak negatif revolusi kebudayaan global yang ditimbulkannya karena untuk jangka panjang, infiltrasi kebudayaan asing saja sudah berbahaya apalagi penetrasi budaya model revolusi kebudayaan global seperti saat ini tentu jauh lebih berbahaya karena banyak yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan kearifan lokal (local genius) bangsa Indonesia seperti pranata sosial, tradisi, religi dan sebagainya.

Sebagai contoh kongkrit adalah bahaya perubahan nilai tata krama dan sopan santun yang sesuai dengan norma sosial masyarakat.

Apabila budaya bekerja dan belajar dari rumah sampai mencerabut akar budaya dan tradisi bangsa Indonesia berupa tata krama dan sopan santun maka tidak ada gunanya lagi modernisasi apalagi sampai revolusi kebudayaan global.

Begitu pula bila orang sudah lebih senang berkomunikasi melalui dunia maya atau secara virtual daripada dunia nyata maka sentuhan nilai kemanusiaan berupa kebahagiaan bila bertemu orang lain secara langsung serta makna silaturahmi secara hakiki akan hilang.

Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang tidak perlu diajari secara detail bagaimana hidup dan bertahan hidup. Sekian lama secara turun temurun bangsa Indonesia sudah memiliki kearifan lokal dengan hidup bergotong royong, bermusyawarah untuk menyelesaikan berbagai masalah bahkan menggunakan bahan-bahan alami seperti rempah-rempah non kimiawi untuk menjaga stamina tubuh dan menyembuhkan berbagai penyakit.

Tata dunia baru yang terbentuk setelah pandemi covid 19 berlalu tidak boleh mengubah pranata sosial, budaya dan ekonomi yang sudah dibangun oleh bangsa Indonesia sejak dulu karena sudah sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial yang semuanya adalah hakikat Pancasila sebagai Ideologi negara dan falsafah bangsa Indonesia.

Bangsa Indonesia bisa mengambil sisi positif dari revolusi kebudayaan global tersebut namun harus membentengi diri dari dampak negatifnya agar tidak terjebak menjadi subordinasi bangsa lain atau badan-badan dunia atau bahkan menjadi mimesis atau tiruan bangsa lain karena bangsa Indonesia sebagai bangsa besar sudah memiliki jati diri bangsa sendiri yaitu Pancasila yang sudah menjadi pandangan hidup sehari-hari. (red)

*Alumni PPRA LX Lemhannas RI tahun 2020 / Wakil Sekretaris Jenderal PNI Marhaenisme

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *