Cerpen Rita Matu Mona ‘Tidur Dengan Oda’

oleh -1,460 views

rita matu mona

Oleh. Rita Matu Mona

PESAWAT Garuda yang kutumpangi mendarat dengan guncangan kecil di bandara Sentani Papua, tepat jam 6.20 pagi waktu Indonesia bagian timur. Cengkraman jemariku di tangan kursi mengendur. debar jantung di dada mereda. Menempuh penerbangan selama sembilan jam dari Jakarta, singgah di dua bandara Ujung Pandang dan Biak, di tengah cuaca yang tak menentu, di tambah insiden sebelumnya di bandara Soekarno-Hatta jelang keberangkatan, sungguh membuatku tak tenang. Rangkaian doa tak putus kupanjatkan selama mengarungi angkasa yang panjang.

Aku sedang menyeret tas beroda naik ke koridor lantai atas ketika seorang laki-laki berseragam bandara yang tak jelas jabatannya, mengikutiku dari belakang dan menyapa “Sudah check in Mba?”. Aku menoleh padanya dengan heran yang kusembunyikan. Tentulah dia tahu peraturannya, tak mungkin aku sampai di lantai ini sebelum melewati pintu pemeriksaan penumpang dan barang. “Sudah,” jawabku sambil meneruskan langkah tak terlalu tergesa. Masih lebih sejam lagi jadwal keberangkatan. “Mau kemana?’ tanyanya masih mengekoriku.

Heranku bertambah. Kenapa pula dia tanya tujuan orang? tapi…ah, mungkin dia bermaksud ramah saja, sebagai bentuk tambahan layanan jasa kepada penumpang, batinku menenteramkan.

“Papua’ mengikuti suara bathin kujawab dia.

“Untuk tujuan apa Mba ke papua?’ tanyanya lagi.

Langkahku terhenti. Radar waspada mulai bekerja “ada apa Mas tanya tujuan saya?”.
“cuma ingin tahu saja, memangnya nggak boleh?” lelaki di penghujung usia tiga puluhan itu menyeringaikan senyumnya padaku. Seringainya itu kuanggap seperti sebuah pelecehan padaku.

“bukan masalah boleh atau nggak boleh, tapi masalahnya pertanyaan-pertanyaan Mas mengganggu saya!” suaraku mulai naik satu tangga nada.

“lho? saya merasa nggak mengganggu Mba”.

“Kalau memang nggak berniat mengganggu, tolong jangan ikuti saya lagi!”.

“Memangnya kenapa kalau saya cuma mau menemani Mba naik ke atas?” tanyanya keras kepala.
saat itu aku sudah di elevator dan laki-laki itu ikut naik, cuma berjarak setengah meter di belakangku, dibatasi tas berodaku saja. Di kiri kanan koridor jejeran cafe dan restoran nampak sepi. Tak banyak penumpang yang terbang malam ini.

“Saya tak butuh ditemani!” Sungguh aku tak paham maksudnya terus mengikutiku sejak tadi.
lalu teringat aku kasus Munir yang dicurigai kematiannya telah diracuni oleh pilot pesawat yang sama, yang sebentar lagi akan kunaiki.

Ah! Aku bukan aktifis kemanusiaan seperti Munir. Aku cuma seniman biasa yang meskipun sebagai aktris Teater Koma pernah mengalami berkali-kali dibredel dan dicabut izin pentasnya, karena dianggap mengkritik kekuasaan di era pemerintahan Soeharto. Atau, kalaupun akhirnya diizinkan pentas, Teater Koma harus melewati berbagai proses perizinan yang amat ketat. Dan mas Nano sebagai sutradara dan penulis naskah, sebelumnya harus menghadap berbagai lembaga pertahanan nasional seperti lembaga Kepolisian dan badan intelejen negara semacam BAIS atau BAKIN untuk proses penyuntingan naskah, sampai kemudian disepakati. Kesepakatan sebelah pihak tentu saja. Bagian mana yang boleh dimainkan dan bagian mana yang tidak, atau dialog mana yang boleh diucapkan oleh aktornya dan dialog mana yang tidak. Sungguh masa yang paling kelam bagi para seniman saat itu.
Tapi pemerintahan telah berganti dan kata orang pemerintahan kini lebih demokratis. Tak ada pelarangan, pembredelan, atau proses perizinan yang ketat lagi bagi para seniman untuk mengekspresikan karyanya.

Rasa panik mulai menjalar ke seluruh tubuh. Ditandai dengan telapak tangan yang mendingin dibasahi keringat. Tapi yang nampak di wajah adalah kontrol diri yang secara spontan tertata karena terbiasa menghadapi masalah bahkan yang terberat sekalipun, sendirian.

“Saya nggak butuh ditemani! Jadi tolong jangan ikuti saya terus, atau saya akan berteriak memanggil petugas keamanan!” ancamku.

“Kok Mba jadi marah-marah begitu?!” Dia kelihatan tak senang ketika kukatakan akan memanggil petugas keamanan.

“Saya nggak berniat jahat, cuma mau menemani saja”. Tukasnya cepat karena dilihatnya aku mulai bersiap akan berteriak. Di ujung elevator sudah nampak pintu pemeriksaan terakhir sebelum masuk ke ruang tunggu keberangkatan. Tiga orang petugas sedang berdiri siaga menjalankan tugasnya. Cuma ada sepasang warganegara Cina separoh baya yang baru saja melewati pintu itu. Dengan wajah mengeras kuangkat tas. Berjalan secepat bisa. Nyaris nyusruk karena sungguh sulit berjalan di tangga yang sedang bergerak sambil mengangkat beban.

“Ada apa Mba?” Tanya seorang petugas dengan alat deteksi ditangannya, rupanya dia mencium telah terjadi sesuatu yang tak beres antara aku dengan laki-laki berseragam bandara yang mengikutiku itu. Atau mungkin dia melihat tanda-tanda tak beres dari ekspresi wajahku. ‘e…dia..e…’ sesaat terlintas niat ingin menceritakan apa yang terjadi padanya. tapi akal sehatku segera mencegah. Ini kepergianku yang pertama ke Papua, sendirian pula. Kalau sampai kepergianku ini terhambat karena aku harus mengurus persoalan yang mungkin tak terlalu penting, bisa merusak kredibilitasku pada WVI, sebuah lembaga kemanusiaan yang mengundangku untuk melalukan pelatihan dan pembinaan teater sebagai sarana konseling pencegahan kasus HIV AIDS di Papua.

“Coba Bapak tanya kepada Mas itu, Kenapa sih dia mengikuti saya terus sejak dari lantai bawah tadi,” cuma itu yang kukatakan sambil menunjuk dengan daguku ke laki-laki berseragam bandara, yang kini sudah duduk di bangku tak jauh dari pintu pemeriksaan, dan tak henti menatapiku.

Si petugas menoleh pada laki-laki yang kutunjuk, lalu berbisik pada seorang petugas yang lain, kemudian petugas yang lain itu segera menghampiri laki-laki yang sedang duduk itu. Untung saja bawaanku cuma tas beroda itu saja, sehingga pemeriksaan tak terlalu lama. Begitu selesai aku seakan terbang melesat masuk ke ruang tunggu. Tak ingin menoleh lagi, tak ingin tahu apa yang terjadi pada laki-laki berseragam bandara.

Di ruang tunggu keberangkatan yang dibelah menjadi dua oleh pintu dan dinding kaca, tampak sepi. Cuma ada sekitar belasan orang sedang duduk menunggu jam keberangkatan pesawatnya masing-masing, tanpa perduli satu sama lain. Aku bergerak ke ruang sebelah kiri yang lebih sedikit isi orangnya daripada ruang di sebelah kanan. Masih menyisakan panik atas peristiwa yang baru saja terjadi, aku berjalan melewati bangku seorang laki-laki yang tengah membaca koran. Tanpa permisi kuterobos celah diantara deretan bangkunya untuk menuju bangku paling belakang.

Tanpa sengaja tepi korannya tersenggol tas beroda yang masih kutenteng sejak melewati pintu pemeriksaan tadi. Wajah laki-laki itu menyembul keluar dari bentangan lembaran koran yang terkulai karena tersenggol tas. Matanya menatapku tajam. Aku cuma tersenyum kecil padanya sebagai pengganti kata permintaan maaf. Karena lebih penting bagiku bisa secepatnya menghempaskan diri di bangku sudut itu daripada melakukan kesantunan yang biasa kulakukan.

Huuh…! Pinggulku terhempas cukup keras di bangku. Peristiwa tadi masih menghantuiku.
Sungguh aku masih tak paham apa maksud dan tujuan laki-laki berseragam bandara tadi mengikutiku. Telapak tanganku masih dingin berkeringat ketika mengeluarkan buku tentang sejarah Batavia yang belum selesai kubaca dari tas. Masih sekitar satu jam lagi jadwal penerbanganku. Baik kutenggelamkan gelisahku dengan berkonsentrasi pada buku sejarah kotaku dari zaman ke zaman.

Entah berapa menit lewat. Ada semacam insting, atau mungkin lebih tepatnya radar waspada memberi tanda bahaya agar aku segera mengangkat kepala dari buku. Ya ampun. Laki-laki yang kusenggol korannya itu sedang menghadap ke arahku, dan dari bangkunya memandang kepadaku sambil menggerakkan mulutnya seperti aktor dalam film bisu. Aku ternganga. Tak bisa membaca apa maksud bahasa gerak mulutnya.

“Hah?!?” Aku mengeluarkan suara kecil terheran.

dia tetap menggerak-gerakkan mulutnya berusaha menyampaikan sesuatu.

“Hah?!?’ Heranku lagi. Jarak kami sekitar dua meteran jauhnya. Dia mengeluarkan HP dari saku celananya lalu dengan bahasa isyarat yang akhirnya bisa kubaca, sepertinya dia meminta nomor telponku.

Ya Allah, bencana apalagi yang akan menimpaku? Aku mulai merintih dalam hati. Kutundukkan kepala. Berpura menenggelamkan diri pada bacaan kembali. Berharap dengan cara ini laki-laki itu mengerti penolakanku. Namun kemudian tak sekian detik lamanya, kurasakan gerakan di bangku sebelahku yang tadinya kosong.laki-laki itu sudah duduk disitu!.

“Mba mau kemana?” Lagi-lagi pertanyaan yang sama.

Aku menghela nafas dalam, tak tahu musti berkata apa. situasi yang amat sulit, seperti mengalami dejavu saja. Kemudian kuputuskan bersikap tenang, meski telapak tanganku mendingin dan berkeringat lagi.

“Ke Papua,” jawab yang sama lagi.
“Oh…?!?” kali ini aku mendapatkan reaksi yang berbeda.
“tujuannya apa Mba ke Papua?” ah, idem ditto.
“mengajar”.
“mengajar apa dan siapa?”.
“mengajar seni untuk anak-anak SMA di Abepura”.
“Oh, hebat! Saya belum pernah ke Papua”.
Syukurlah. tanpa perlu kutanya aku tahu kalau dia tak terbang ke tujuan yang sama.
“Tapi saya sering ke Jakarta untuk urusan bisnis,” lanjutnya.
“Mba tinggal di Jakarta?”.
“ya”.
“Boleh minta nomor telponnya?”.
“Untuk apa? Kita kan tak saling kenal?’,” aku memberinya tatapan tegas.
“Supaya kalau nanti saya ke Jakarta lagi bisa kontak Mba dan kita bisa menjadi teman”.
“Maaf, saya tidak terbiasa memberi nomor telpon kepada orang yang tidak saya kenal”.
“Ayolah Mba, saya tidak berniat jahat.” Ucapan yang sama pula seperti laki-laki berseragam bandara tadi.

“Saya sudah tertarik waktu melihat Mba masuk ruangan tadi. Mba nampak manis dan tubuh Mba langsing sekali”

Laki-laki berkaca mata kira-kira sebayaku dan berpenampilan pengusaha itu, menatapi tubuhku seakan sedang membaca lembaran koran bisnis yang memuat berita fluktuasi ekonomi.Bibirku bergetar menahan rasa marah yang tak tertahankan. Aku kerap terbang sendirian, bahkan sampai ke luar negeri. Tapi belum pernah aku dapatkan pelecehan terang-terangan seperti ini.

“Kurang ajar! Kamu pikir saya ini apa? Jangan coba-coba berani mengganggu saya! Atau akan saya lap….” Suaraku yang setengah menggeram tertutup oleh informasi, “Kepada para penumpang pesawat Garuda dengan tujuan Surabaya agar segera masuk ke dalam pesawat”.

Laki-laki itu bangkit sambil mengangkat tasnya dan nampak gugup atas reaksi marahku, dengan wajah kecewa, dia pergi.

Kutatap pembatas ruang kaca di seberangku, mencoba bercermin. apa sih yang salah pada diriku? Aku berpakaian sebagaimana biasanya jika sedang berpergian jauh. Berjeans dengan atasan t-shirt warna hijau yang ditutupi jaket denim, plus syal yang melingkar di leher untuk menahan angin, dan sepatu kulit coklat berhak tiga senti. Cuma jam tangan kecil yang jadi perhiasanku. Bermake-up saja tidak.

Lalu apa yang salah pada diriku? Kenapa aku mengalami peristiwa godaan yang sama dalam waktu dan tempat yang sama? Allah, apa maksud kesendirianku ini? Kau yang tahu maksud kepergianku ini untuk membantu sesama. Setetes air menggelantung di bulu mata.

Sepanjang penerbangan sembilan jam kuhabiskan waktu dengan berdoa. Jika sedang singgah di bandara Ujung Pandang dan berikutnya bandara Biak, aku SMS Sulung dan Bungsuku “jangan tidur ya, temani mama terus dengan doa, sampai mama tiba dengan selamat di tanah Papua.”

“Mba, aku sudah menunggu di ruang tunggu’ Oda menelponku sesaat setelah pesawat mendarat di bandara Sentani. Odalah yang merekomendasikanku kepada WVI untuk melakukan pelatihan teater di Jayapura dalam upaya mendukung program kemanusiaan WVI yang bertujuan membantu masyarakat Papua untuk menanggulangi berkembangnya kasus HIV AIDS.

Segala yang akan kulakukan di Papua telah kurancang sebelumnya lewat komunikasi kami dengan telpon dan email. Bahwa melalui seni pertunjukan akan lebih memudahkan informasi tentang bahayanya penyakit HIV AIDS kepada generasi muda Papua. Saat ini jumlah penderita HIV AIDS di Papua yang tertinggi dibanding jumlah penderita HIV AIDS di propinsi lain di Indonesia. Jika hal ini tak serius ditangani oleh pemeintah pusat, khususnya pemerintah daerah, Papua akan kehilangan satu generasi. Alangkah mengerikan!.

Kami berpelukan sepenuh rindu ketika bertemu di ruang tunggu bandara Sentani. Aku mengenal Oda sebelas tahun yang lalu ketika aku mengajar seni teater untuk fakultas Psikologi UNIKA Atmajaya. Dia salah satu murid teaterku yang diam-diam lebih kukasihi dari yang lain. Mungkin karena aku selalu punya magnit pada orang-orang yang terpinggirkan. Kuingat ketika tahun 2001 Teater Ungu UNIKA atmajaya bimbinganku itu memenangkan lima grup teater kampus terbaik pada acara Pekan Seni Mahasiswa Nasional di Universitas Erlangga Surabaya, sesudah pengumuman pemenang, tanpa menunggu piala dibagikan, tengah malam kami segera tancap gas menju gunung Bromo untuk mengejar sunrise yang muncul pagi dini.

Aku dan Riri, kakak angkatannya Oda di Fakultas Psikologi, saling urunan agar Oda bisa ikut ke gunung Bromo. Biayanya memang ditanggung oleh masing-masing mahasiswa, karena tak diberi dana oleh rektorat. ODA berjingkrak-jingkrak seperti kanak-kanak yang hiper aktif di bawah bias matahari pertama. Aku bahagia melihatnya berjingkrak-jingkrak seperti itu. Meski prilakunya itu kerap jadi gangguan bagi teman-temannya yang lain.

Tahun 2003 ODA menghilang, entah kemana. Aku menanyakannya pada siapapun yang mengenalnya. Tapi tak ada berita. Oda sirna seperti udara.

“Ini Pak Leon, Mba,” Oda memeperkenalkanku pada laki-laki hitam gempal berwajah manis yang berdiri di sebelahnya. Kami berjabat tangan dengan akrab. Selama dua minggu mempersiapkan program pelatihan teater dan mengatur jadwal kedatanganku ke Papua, Pak Leonlah yang sering mengontakku mewakili WVI lewat telpon dan email. Aku hafal suaranya yang dalam, lembut, dan berlogat khas Papua.

Kami bermobil selama dua jam dari bandara Sentani menuju kota Jayapura. Tak sempat kunikmati keindahan alam Papua karena sepanjang perjalanan aku disibuki pertanyaan-pertanyaan dari Oda juga pak Leon tentang kondisi paska pemilu legislatif di Jakarta.
atau sebaliknya mereka yang disibuki pertanyaan-pertanyaanku tentang kondisi keamanan di Papua khususnya di kota Abepura dan Jayapura. Karena sebenarnya pada saat kedatanganku itu, akibat penyerangan dan pembakaran kantor Polisi di kota Abepura seminggu yang lalu, sedang diberlakukan Status Siaga Satu di Papua.

“aku tahu Mba Rita nggak akan membatalkan kedatangan ke Papua meski kondisinya Siaga Satu” ucap Oda, lebih ditujukan kepada Pak Leon, daripada kepadaku. Aku tersenyum. Teringat kembali insiden dengan dua orang laki-laki di bandara Soekarno-Hatta tadi malam.

Entah apa reaksi Oda kalau tahu, aku lebih takut digoda laki-laki daripada takut datang ke Papua dengan kondisi keamanan seperti ini.

“Ah, aku kesini dengan membawa niat baik. pasti tak akan terjadi apa-apa padaku,” jawabku ringan saja.

Mulanya Pak Leon nampak berhati-hati bicara denganku tentang kondisi keamanan Papua. Dia pribumi Papua dari suku Wamena yang terpelajar lulusan jurusan bahasa Inggris UNCEN. Cerdas, punya pemikiran jauh ke depan terutama untuk masa depan masyarakat Papua, tapi naif. Aku berbicara padanya seperti caraku berbicara pada Oda. Tak mencoba akrab tapi apa adanya saja, bak kawan yang lama tak jumpa.

Kadang dia tertawa terbahak mendengar cerita pengalamanku dan Oda tentang murid-murid teaterku yang lain yang suka gila-gilaan. Sesekali Pak Leon menunjuk keluar jendela mobil pada Pos Polisi dan Pos Militer yang kerap kulihat dari mulai Ifur sampai Abepura.

“Kenapa begitu banyak Pos Polisi dan Militer untuk daerah yang tak begitu luas dan penduduk yang tak begitu banyak?” tanyaku.

Pak Leon mengangkat bahu, sedang Oda menatap padaku seakan ingin bicara tapi tak jadi dan akhirnya diam.

Namun kemudian, malam di hari pertama aku datang, Pak Leon bertamu bersama Odake kamar hotelku di Abepura, menceritakan segala peristiwa yang terjadi di Papua, yang selama ini cuma kubaca beritanya dari koran atau tayangan televisi saja.

Hari pertama di Papua benar-benar menguras habis enerjiku tanpa sisa. Setelah dua jam bermobil, kami sampai di hotel kecil di daerah perbatasan antara Jayapura dengan Abepura. Cuma sempat menaruh tas di kamar, tanpa berganti baju lagi, diantar Pak Leon dan Oda yang kemudian jadi asistenku, segera aku naik ke lantai tiga, masuk ke ruangan aula yang disewa WVI untuk tempat pelatihan, murid-murid teaterku yang berasal dari sebuah SMA di Abepura sudah menunggu disitu. Kusapa mereka dengan riang. Tapi dingin saja sambutannya. Telapak tanganku mulai berkeringat lagi.

Lalu kuceritakan apa dan siapa diriku dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Mereka mendengarkan dengan penuh perhatian,tapi sama sekali tak tahu apa itu teater, bahkan menonton pertunjukan teater saja tak pernah.

“Sudah bertahun tak ada aktifitas dan pertunjukan teater di Jayapura,” Pak Leon menjelaskan.

“Kalau pelatihan ini berhasil dilakukan, bu Rita akan jadi orang pertama yang menghidupkan dunia teater di Papua lagi,” lanjutnya.

“kan ada Dewan Kesenian Jayapura?’ tanyaku.

“Iya, Tapi sekarang cuma jadi tempat berkumpul orang-orang mabuk saja,” Pak Leon menghela nafas.

Pelatihan dijadwal mulai dari jam 9 pagi sampai jam 6 sore setiap hari. Hari pertama itu aku seperti pemain monolog saja. Aku mencoba menjelaskan sejarah teater, dan fungsi teater sebagai sarana atau media penyampaian yang paling efektif dan komunikatif pada masyarakat lewat pertunjukan yang nantinya akan mereka lakukan seusai proses pelatihan yang panjang denganku. Mereka mencatat semua penjelasanku tanpa pertanyaan, meski berkali kuminta kalau ada yang tak dimengerti.

Sampai istirahat makan siang, komunikasi masih berjalan satu arah. Mataku berkunang, tubuh terasa akan runtuh. Aku berniat tak akan ikut makan siang yang waktunya satu jam, turun menuju kamarku di bawah ingin segera rebah. Semalaman terbang tak sepicing matapun ku tidur. Bahkan hari-hari sebelum keberangkatan ke Papua telah kuhabiskan enerji untuk menggarap bloking terakhir naskah Arifin C. Noer ‘Madekur dan Tarkeni’ untuk Teater Akar Universitas Al-azhar yang akan pentas sepulangku dari Papua. Aku memang terbiasa bekerja lari sana lari sini, tapi kali ini sungguh di luar daya kekuatanku.

Baru saja lima menit merebahkan badan, pintu kamarku diketuk. ODA, Pak Leon dan Pak Max dari WVI yang tugasnya konseling HIV AIDS, ingin berdiskusi denganku. Selama jam istirahat makan siang itu kami pergunakan untuk berdiskusi tentang tugas yang akan ku lakukan selama pelatihan dengan membentuk tim produksi dan tim artistik. Orang-orang WVI sendiri yang kuminta untuk bekerja di tim itu. Tentu saja karena merekapun sama butanya dengan murid-murid Papuaku, aku harus menjelaskan dengan sabar tugas mereka satu persatu sampai mereka mengerti. Dari Jakarta aku sudah membawa gambar artistik dan detil set yang kubutuhkan. Dalam kondisi habis daya, pikiranku masih terang dan kadang menularkan kerianganku pada orang.

Mereka akan terpingkal oleh selingan leluconku, atau aku yang terpingkal mendengar bahasa Indonesia Papua mereka. Seperti ‘sapi mandi’ yang arti harfiahnya bukan sapi sedang mandi di kali, tapi maksudnya ‘saya pingin mandi’. Suku kata yang dipotong ujungnya banyak digunakan oleh masyarakat Papua. Membuatku tertawa dan sering salah arti. Tapi tak lama kemudian akupun memakai bahasa yang sama, dan tak pernah mentertawakannya lagi.

Ajaib! Menurut Oda aku nggak pernah mati api. Setelah jam makan siang yang tak kunikmati usai, aku naik lagi ke atas untuk melanjutkan sesi pelatihan. Segala cara kuupayakan agar komunikasi terjalin, bahkan kusentuh mereka dengan pelukan ringan agar mereka merasakan kehadiranku secara phisik dan aku adalah bagian dari tubuh mereka. Alhamdulillah, beberapa saat sebelum pelatihan aku tutup, beberapa dari mereka dengan antusias mulai bertanya macam-macam, bukan hanya tentang ilmu teater, tapi juga pertanyaan yang menyangkut pribadi. Seperti ‘Ibu su (dah) pu (nya) suamikah? berapa anakkah?’.

Usai makan malam sendirian di kamar hotel, tak juga bisa rehat. pun hari berikutnya dan berikutnya. Oda dan Pak Leon menyambangiku di kamar, ngobrol akrab sampai tengah malam. Di saat itulah aku mendapatkan kejutan demi kejutan. Di hari pertama aku baru tiba di Papua. Pak Leon yang sudah lebih terbuka padaku bicara banyak tentang kekayaan sumber alam Papua, tentang dua ratus lebih suku yang ada di Papua dengan perbedaan bahasanya, tentang kegemaran masyarakat Papua mengunyah pinang, tentang kasus Freeport yang tak bisa kutuliskan disini, tentang betapa anggaran pemda Papua lebih banyak dihabiskan untuk mendanai keamanan, tentang isu keinginan masyarakat Papua untuk merdeka!

“Pak Leon juga ingin merdeka?” kupotong bicaranya.

Dia tertegun. Menatapku dengan teliti, seakan ingin mengetahui isi hatiku lewat kedalaman sinar mataku. Aku tersenyum padanya penuh pengertian, menunggu jawaban. Tapi dia cuma menatapku saja dengan sorot mata berubah-ubah. Kulihat berbagai makna perasaan dari sorot matanya. Penderitaan, kepedihan, kegelisahan, kemarahan, bagai sorot mata binatang buas yang terperangkap dalam kerangkeng besi.

Kami masih bertatapan tanpa suara. Waktu seakan berhenti.

“Ya’ akhirnya, jawabnya.

Suaranya biasa saja, bahkan diucapkan tanpa tenaga. Seperti menjawab pertanyaan sehari-hari ‘sudah makan?’ ‘sudah’.persis seperti itu saja. terasa nyeri di dada. setetes air menggelantung di bulu mata.

Oda menyentuh ujung jemariku tanpa menarik perhatian.

“Saya OPM, meski tak mau terlibat kekerasan,” masih tanpa tenaga Pak Leon melanjutkan. Inilah kejutan pertama itu!.

Aku berhadapan langsung dengan seorang intelektual OPM! Kusandarkan tubuh lunglaiku ke ujung tempat tidur. Saat itu kami bertiga duduk lesehan di lantai kamarku. Setelah menghimpun sisa tenaga, aku berucap, “Baiklah, saya paham. Tak apa buat saya Pak Leon OPM atau bukan, saya tetap menyayangi Pak Leon dan murid-murid saya. Selama saya berada disini manfaatkan saya demi kepentingan Pak Leon dan masyarakat Papua. Karena saya kini bagian dari Papua.”

Aku melihat reaksi kaget dari Pak Leon. Entah apa yang salah dari kata-kataku. Kami bertiga masih mengobrol sampai tengah malam, Pak Leon kian memperlihatkan kehangatannya padaku. Dia berjanji akan mengajariku makan pinang, atau akan mengantarku kemanapun kuingin pergi selama aku di Papua.

Malam itu ODA mengantar Pak Leon pulang ke Abepura dengan motornya, dan berjanji akan kembali ke hotel setelah itu. Pada hari yang lain Oda mengadu padaku, waktu mengantar Pak Leon pulang, di jalan Pak Leon menangis karena pernyataanku.

Lumayan sejam sempat rebahan.

Aku sudah terlelap ketika Oda datang mengetuk-ngetuk. Sambil terkantuk aku buka pintu kamar, dan Oda masuk sambil terbatuk-batuk. Oda segera ngeleseh di tempat yang sama tadi dia duduk. Tubuhnya yang tinggi dan agak kurus, gemetar. Aku juga ngeleseh di seberangnya mencoba menahan diri untuk tidak menguap.

Oda mengeluarkan kotak obat dari tas selempangnya dan meminum dua butir obat sekaligus dengan sebotol air aqua. Batuknya kian menjadi.

“Kau sakit?” tanyaku setelah batuknya reda. Oda menatapku dengan tatapan yang aneh. Tanya menyorotkan sinar yang aneh. Lagi-lagi aku seperti dihadapkan pada situasi yang sama seperti dengan Pak Leon tadi.

Tak ada suara kecuali bunyi batuknya yang mendengkung. Aku ingin mengusap punggungnya seperti yang biasa kulakukan jika anakku sedang terserang batuk. Tapi dari bahasa tubuhnya terbaca kalau dia tak ingin disentuh. Akhirnya aku diam saja menunggu batuknya reda. Waktupun kembali berhenti.

“Mba, aku sakit. sangat sakit.” Akhirnya Oda bersuara setelah berhasil mengalahkan batuk.
Waktu terasa mengalir lagi.

“Sakit apa?” tanyaku sambil merubah posisi duduk.

“HIV AIDS stadium empat”.

Inilah kejutan yang berikutnya itu!. Allah! Allah! Allah! aku cuma mampu mengucapkan namaNYA berkali-kali. Apa maksud kesendirian ini? Apakah karena KAU percaya aku sanggup menanggung semua beban cobaan ini? Jawab aku, TUHAN, jawab aku!

Oh, Maha Pengasih DIA. Setelah jeritan yang cuma menggema dalam dada, kurasakan sesuatu yang amat sangat hangat mengalir dari dalam tubuhku. Entah datang dari organ sebelah mana, rasa hangat itu menerobos keluar sampai terasa di kulit wajah. Sepertinya rasa hangat itu dirasakan juga oleh Oda dari tempat dia duduk. Batuknya berhenti tiba-tiba.

“Mba nggak kaget?” tanyanya. Nada suaranya biasa saja, persis seperti suara Pak Leon ketika menyebutkan dirinya OPM.

“Yaaa…mau bilang apa?”

“Aku tinggal menunggu kematian”.

“Hush! Kematian nggak usah ditunggu. Dia akan datang sendiri,” tukasku.

Lalu ODA bercerita bahwa dia mengetahui kena HIV AIDS empat tahun yang lalu di Jakarta, ketika didiagnosa ternyata sudah stadium empat. Tak ada yang bisa dilakukan lagi kecuali hanya bertahan untuk hidup. Oda sempat di rawat di salah satu Rumah Sakit di Jakarta, tapi keluarganya kemudian tak mau mengurusnya lagi. Oda mendapat informasi bahwa di Papua penderita HIV AIDS mendapat pengobatan gratis dari Pemerintah Daerah setempat, juga banyak komunitas kemanusiaan yang perduli pada kasus HIV AIDS ini.

Ceritanya terus mengalir seperti aliran air sungai. Aku cuma mendengar saja dengan tekun, tak mau kehilangan se-katapun. Tiga tahun lalu Oda sampai di Papua naik kapal dari Surabaya, dengan cuma sekedar ongkos di kantong. Keluarganya tak satupun yang tahu. Dia seperti membuang diri untuk mati di hutan-hutan Papua, dan tak mau jasadnya ditemukan.
Lalu dia bertemu dengan orang WVI yang memang menangani masalah HIV AIDS, kemudian Oda sering diminta menjadi pembicara pada program konseling yang diselenggarakan WVI sebagai lembaga donor untuk membantu Pemda Papua melakukan upaya pencegahan penularan penyakit HIV AIDS pada generasi muda Papua.

“aku nggak mau orang lain seperti aku, Mba’.
“Ya, aku tahu,” terasa lembut suaraku.
“Meski aku sudah seperti mayat berjalan.”.
“Tapi secara phisik kau nampak baik saja.”
“Aku sudah melewati masa terburuk. Tinggal kulit dan tulang, dan lumpuh. Sekarang aku selalu meyakinkan diriku bahwa penyakit ini tak akan bisa membunuh semangatku, meski bisa mempercepat kematianku. Kini aku berkejaran dengan waktu agar bisa berarti bagi orang lain”.
“Jadi itu sebabnya kau menghilang sekian lama?” tanyaku.
“Ya, Mba. Aku nggak mau merepotkan orang.”

Aku tak bertanya darimana dia dapatkan penyakit itu. Apalah gunanya lagi?.

“Sudah tiga tahun aku nggak bertemu keluargaku, Mba. Mereka malu akan aku,” matanya menerawang jauh.

“Tidurlah malam ini disini bersamaku. Kalau kau rindu pada ibu dan kakak perempuanmu, aku ada untukmu”.

“Mba nggak takut tertular?”

“Hey, kau tahu aku nggak bodoh. Aku tahu penularan lewat apa.”.

Jam tiga dini pagi itu aku menyelimutinya di ranjang seberang ranjangku. Lalu aku SMS Sulung dan Bungsuku, “doakan mama agar selalu sehat ya.”

 

Dari catatan perjalanan yang tercecer, Abepura Papua Juni 2009. Rita Matu Mona.