Benang Merah Sastra dan HIV/AID

oleh -1,348 views

Oleh : Mihar Harahap

mihar harahap

SUNGGUH, tulisan ini berlatar dari ‘nyeletuk’ seorang dokter, ketika saya mengkritik cerpen Dr.Umar Zein,DTM,Sp.PD-KPTI (berikutnya disebut Uzein) dan rekan Forwakes, dalam acara diskusi launching/bedah buku di Medan. Katanya, sastra itu omong kosong, khayalan dan sia-sia saja. Padahal Uzein sendiri yang dokter, malah mantan Kepala Dinas Kota Medan, membuat cerpen dan pantun.Terbukti, ia memberikan bukunya kepada saya, “111 HIV/AIDS” (2009, Tanya-Jawab), “210 Pantun HIV/AIDS” (2011, Untaian) dan buku “Kisah AIDS” (2011, Cerpen dan Artikel).

Ternyata, 2 dokter berbeda memandang sastra. Kalau Uzein positif, sedang dokter itu negatif. Mana yang benar? Tentu Uzein, sebab ia sendiri telah menggunakan cerpen (prosa modern) dan pantun (puisi asli Indonesia) itu untuk mensosialisasikan HIV/AIDS ke masyarakat luas.Sejauhmana manfaat sosialisasi menggunakan cerpen dan pantun, bila dibanding dengan bentuk lain, tanyalah Uzein. Ia pasti punya pengalaman, apalagi selaku Ketua PD-PAI (Perhimpunan Dokter Peduli AIDS Indonesia) Sumatera Utara.Tetapi saya yakin bahwa cerpen dan pantun lebih menyentuh masyarakat luas.

Memang, nama, tempat dan peristiwa dalam karya prosa, puisi dan drama, bisa fakta seperti cerpen Uzein dan rekan-rekan Forwakes (baca buku “Kisah AIDS”) ataupun pantun Uzein dan Retno (baca buku “210 Pantun HIV/AIDS”).Jadi, bukan omong kosong atau khayalan, sebagaimana tuduhan dokter itu. Namun bisa pula fiktif (hasil imajinasi) seperti karya sastra pengarang lainnya di koran, majalah, buku-buku. Akan tetapi, tetap saja bahwa peristiwa itu adalah terjadi/mungkin terjadi (dahulu, sekarang, akan datang). Artinya, bukan omong kosong/khayalan, melainkan kenyataan/rasional.

Karya sastra fakta atau fiktif itu bukanlah sia-sia, tetapi sebaliknya, justru sangat bermanfaat. Kalau tidak bermanfaat, tak mungkin digunakan Uzein.Takkan mungkin ada kelompok kesenian di masyarakat, dewan kesenian di kantor kota/provinsi, fakultas sastra di universitas, pertemuan kesenian tingkat nasional/internasional.Tak ada pelajaran sastra di sekolah-sekolah, bahkan tak ada karya sastra di media cetak/elektronik.Sekali lagi, Pak Dokter, bahwa karya sastra itu memang ada gunanya. Ada manfaatnya.

Kata orang bijak, kalau politik bengkok, maka sastralah yang meluruskannya. Analoginya, kalau orang-orang yang terkena HIV/AIDS (ODHA) itu gelisah, stigmatik serta diskriminatif, maka karya sastra akan berperan menampung aspirasinya hingga ia berasa tenang, sabar dan berusaha. Pembaca karya sastra itupun akan mengerti, mengasihani dan menghormati atas nama kemanusiaan. Kalau dokter ‘nyeletuk’itu tak percaya peran karya sastra ini, disarankan bacalah cerpen Uzein, Zulnaidi, Khairuddin Arafat, M.Alfa Iswara, EkoAgustyo FB,. Novita Sari S.dan Kesuma Ramadhan.

Benarkah bahwa terdapat benang merah antara karya sastra dengan penyakit HIV/ AIDS? Benar! Kebenarannya, pertama, secara umum bahwa ‘objeknya sama–sasarannya beda’. Artinya, objek sastrawan dan dokter dalam melaksanakan keprofesiannya adalah sama yakni manusia. Sementara sasarannya, jika dokter untuk menyembuhkan penyakit jasmani manusia, sedangkan sastrawan untuk menyembuhkan penyakit rohani manusia. Toh, keduanya menyembuhkan penyakit. Penyakit yang terlihat oleh dokter dan penyakit yang tak terlihat oleh sastrawan tetapi dapat dirasakan.

Kalau dokter menggunakan jarum suntik, pisau bedah, stetoskop misalnya, maka sastrawan menggunakan pena, bahasa dan kepekaannya. Terkadang, setajam-tajam pisau bedah dokter, lebih tajam lagi mata pena sastrawan.Sedalam-dalam stetoskop sang dokter merabai dada pasien, lebih dalam lagi kepekaan sastrawan merasakan sukma pembaca. Sesakit- sakit jarum suntik dokter, lebih sakit lagi bahasa sastrawan. Jadi, dalam rangka melaksanakan tugas kemanusian,dokter dan sastrawan menggunakan peralatan, meskipun terkadang lebih tajam peralatan sastrawan ketimbang peralatan dokter.

Kedua, secara khusus bahwa di dalam unsur-unsur cerpen/novel misalnya, ada yang disebut ‘tema’ (isi cerita) dan ‘amanat’ (pesan cerita). Kalau temanya menceritakan tentang diskriminasi keluarga, lingkungan, masyarakat dan aparat, akan mempercepat proses kematian orang yang terkena penyakit HIV/AIDS..Maka amanatnya, jangan Anda bersikap diskriminatif terhadap para ODHA, setialah pada pasangan/janganlah selingkuh walau sekali serta sebaiknya gunakan kondom bila ingin berhubungan.Dengan demikian, maka persoalan HIV/AIDS telah menjadi perhatian para sastrawan/cerpenis.

Masuknya persoalan HIV/AIDS ke dalam tema dan amanat pada sebuah cerpen, menunjukkan betapa konsennya sastrawan/cerpenis terhadap bahaya penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Betapa prihatin sastrawan/cerpenis terhadap anak-anak, remaja/ pemuda, suami/istri yang terkena penyakit masyarakat itu, sebab justru masyarakat itu sendirilah yang kemudian mendiskriminasinya. Betapa perlunya mensosialisasikan ilmu pengetahuan praktis tentang HIV/AIDS, bagaimana menyikapinya bila terkena atau tidak dan upaya menanggulanginya, baik secara individu maupun kelompok.

Penting dicatat bahwa tema dan amanat di dalam cerpen/novel adalah unsur yang paling utama dan sangat mendasar. Bayangkan,sebuah cerpen/nnvel akan omong kosong, khayalan dan sia-sia saja, kalau tidak memiliki tema dan amanat ini. Harus diakui bahwa dahulu ada era ‘seni untuk seni’ dimana karya sastra hanya mengandung unsur keindahan bahasa semata yang tak perduli dengan tema dan amanat. Akan tetapi sejak ada era ‘seni untuk masyarakat’ hingga sekarang, maka tema dan amanat justru menjadi dasar bahkan unsur utama dalam penulisan cerpen/novel Indonesia yang berkualitas.

Mengingat hal inilah,otomatis ‘benang merah’ antara karya sastra dan HIV/AIDS atau kedokteran, hukum, politik, teknik, ekonomi, pendidikan, pertanian,olahraga, agama, sosial dan lain-lain menjadi sangat penting.Pokoknya, hamparan bumi, laut, udara dengan segala isinya memiliki hubungan yang siknifikan terhadap sejarah, teori dan karya sastra. Karena itu, perlu kerjasama antara sastrawan dengan individu/kelompok profesi lainnya, terutama terkait dengan kepentingan masyarakat, misalnya ada kelompok sastrawan yang peduli HIV/AIDS. Dengan demikian akan lebih tersosialisasikan lagi.

(Penulis adalah Kritikus Sastra, MPR-OOS, Ketua FOSAD, Pengawas dan Dosen UISU).