Beli Pisang Goreng ke Siborong-borong

Foto: Pisang Goreng Siborong-borong. (Thompson Hs)

Oleh: Thompson Hs

Dari bulan Juni sampai Agustus 2017 kami sudah tiga kali singgah di Siborong-borong. Biasanya kami singgah di kota pacuan kuda itu selalu ingin membeli ombus-ombus, sejenis makanan yang terbuat dari tepung beras dengan campuran kelapa dan gula. Ombus-ombus terbungkus dengan daun pisang dan sering dulunya ditawarkan para penjualnya kepada bus-bus yang berhenti atau menaikkan sewa. Para penjual itu berlomba dengan sepedanya sambil mengucapkan: “Ombus-ombus! Ombus-ombus las kede….”. Ya, las kede; maksudnya masih panas, karena tetap disimpan di sebuah wadah yang ditutupi lagi dengan peti kaleng di atas sepeda. Sekarang kenangan atas para penjual ombus-ombus dengan sepedanya itu dibuatkan dengan satu patung dekat simpang tiga Siborong-borong – Doloksanggul. Sedangkan ombus-ombus sudah bisa dibeli di salah satu warung minum kopi dekat terminal.

Bacaan Lainnya
Foto: Memasak Pisang Goreng Siborong-borong. (Thompson Hs)

Rupanya selain itu ada pisang goreng yang enak dari Siborong-borong. Pisang goreng itu sudah ada sejak tahun 1999 dan dibuat oleh Namboru Juliana Boru Pasaribu. Untuk ketiga kalinya singgah membeli pisang goreng buatan Nyonya Jawakin Simanjuntak (almarhum) tepat pada hari pekan di Siborong-borong. Hari Pekan di Siborong-borong berlangsung setiap Selasa. Di hari Pekan penggorengan pisang sudah dibuka mulai pada pukul 10.00 WIB. Sedangkan pada hari-hari biasa dibuka sekitar pukul 13.00.

Namboru Juliana Boru Pasaribu dikenal juga dengan panggilan adatnya Ompu Sohuturon karena itu nama cucu dari anaknya tersulung. Ada delapan orang anaknya; di antaranya 5 putra dan 3 putri. Sebelum tahun 1999, nenek dari 40-an cucu ini sudah berjualan nasi di tempat penggorengan pisang itu. Tempat itu sekaligus rumah tinggal keluarga. Namun karena situasi perpecahan sosial pada tahun 1999 pelanggannya berkurang untuk makan ke warungnya. Pikir-pikir dengan delapan orang anak yang harus sekolah juga, maka diputuskan tidak berjualan nasi lagi. Kemudian mendapat ide untuk berjualan pisang goreng.

Ompu Sohuturon teringat ketika dia memasak nasi selalu menggunakan kayu bakar. Lalu untuk pisang goreng diputuskan mengolahnya dengan arang. Bulan pertama menjadi penjual pisang goreng terjadi pada bulan April 1999. Ternyata pembelinya langsung ada dan bertambah. Bahan pisang untuk digoreng awalnya berasal dari Aceh. Kemudian dari Nias. Bahan pisang dari dua tempat itu katanya bagus-bagus karena tidak punya biji. Sedangkan bahan pisang dari Siantar yang selalu dipesankan dari pedagang langganannya selalu berbiji-biji. Semua pisang yang dibutuhkan untuk pisang goreng diterima tidak terlalu matang dan mutunya dapat diukur melalui kulitnya.

Dua hari sebelum diolah menjadi pisang goreng, pesanan pisang dari Aceh dan Nias dibungkus dengan kain setelah ditaburi dengan pematang khusus. Pematang buah biasanya dikenal dengan karbit. Dua hari kemudian semua pisang dari tandan diolah per biji menjadi empat iris. Pagi hari sekitar pukul 04.00, Ompu Sohuturan sudah bangun untuk mengiris pisang itu dan mempersiapkan adonan tepungnya. Tepung untuk pisang gorengnya dengan dua jenis tepung; tepung beras dan tepung roti. Namun takarannya selalu terukur sebelum dibubuhi sedikir garam dan gula. Campuran lainnya tidak ada untuk tepung pisang goreng.

Tiba waktunya untuk menggoreng pada sekitar pukul 10.00 atau 13.00 WIB, arang sudah menyala di dalam dua tungku di depan warung. Karung-karung arang juga diletakkan tidak jauh dari penggorengan. Arang-arang itu terakhir didapatkan dari Parmonangan dengan harga per karung Rp. 100.000 Jika pisang digoreng sampai 15 tandan per hari maka satu karung arang dapat habis. Arang memanaskan minyak di dalam belanga sampai di atas 150 derajat. Kemudian irisan-irisan pisang itu dimasak selama kurang lebih 10 menit.

Kopi dan Pisang Goreng

Menurut Ompu Sohuturan, kedelapan anaknya bisa sekolah sampai tingkat sarjana karena berjualan pisang goreng itu. Tiga dari antara anaknya sudah menjadi pegawai negeri. Sedangkan putri sulung yang sempat juga membantunya berjualan goreng itu menikah dengan marga Sihombing dan berjualan mie gomak (spagethi Batak). Mie gomaknya menjadi favorit berbagai kalangan juga di Siborong-borong. Sedangkan salah satu anaknya membuka cabang penjualan pisang goreng dekat simpang ke Sipahutar di Siborong-borong.

Pada tahun 2017 ini, Ompu Sohuturan mengaku sudah berusia 63 tahun. Namun tetap bangun pada pagi hari untuk mengirisi pisang dan mempersiapkan adonan tepung untuk pisang goreng dan varias baru gorengan seperti godok-godok dan bakwan –meskipun kedua jenis gorengan itu dibuat hanya sesekali.

Pisang goreng sudah masak. Namun giliran kami belum mendapatkannya. Para pemesan rupanya sudah ada sebelumnya. Sehingga kami harus menunggu sambil meneguk kopi panas yang sudah dipesan. Kopi Ompu Sohuturan juga sungguh khas, karena itu tidak menimbulkan masalah kalau dikonsumsi pada pagi hari. Minum kopi di situ juga membuat para pelanggan dan pemesan sabar menunggu giliran. Pada giliran kedua kami betul-betul ingin merebut pisang goreng yang diletakkan di atas piring. Waktu sudah menunjukan sekitar pukul 11.00. Untung aksi pemotretan di sana-sini dilakukan, termasuk pemotretan foto-foto dan tarombo keluarga Ompu Sohuturan dari dinding ruangan dekat meja-meja dan kursi. Sesekali bergantian ke toilet karena pengaruh cuaca, meskipun cuaca Siborong-borong tidak sedingin dulu lagi.Dulu Siborong-borong dan sekitarnya sangat dingin karena cuaca di bawah 18 derajat. Saya kira sekarang sudah berubah karena pemanasan global.

Selagi menuju toilet di bagian belakang hasil irisan pisang kelihatan di atas berbagai talam yang diletakkan di atas meja. Anggota keluarga juga meneruskan sisa pisang yang harus diiris. Dulu para putrinya harus terlibat mengirisi pisang. Setelah semua anak Ompu Sohuturan berkeluarga yang membantunya mengirisi pisang adalah menantu perempuan atau istri anak bungsunya. Menantu dari anak bungsunya itu sekaligus sudah fasih menggoreng pisang. Lebih kurang empat puluh pisang goreng dimasukkan dalam sekian menit ke dalam belanga sambil mencelupkan dulu ke adonan tepung. Mengamati proses penggorengan pisang itu terkadang ada rasa risi; jangan-jangan salah satu jemari mereka yang sudah tercelup ke adonan tepung cair itu sesekali kena panas minyak goreng. Dengan kecepatan sekian detik per satu goreng, jumlah di dalam belanga bisa masaknya bersamaan.

Empat puluhan pisang goreng juga diurai di dalam belanga sebelum diangkat dan ditiriskan dan wadah penyaring besar berbahan bambu. Berkali-kali pemesan berdatangan seperti sudah menghitung gilirannya sehingga dalam sekejap gorengan yang baru saja diangkat dan ditiriskan sudah langsung habis.

Harganya Cuma Seribu

Ternyata selain enak dan renyah, pisang goreng Ompu Sohuturan tidak semahal pisang goreng di tempat-tempat lain. Harga per satu pisang goreng dibuatnya cuma seribu rupiah – tentu saja pada awalnya tidak sebegitu. Namun dengan ukuran yang sekarang, harga seribu itu sangat terjangkau oleh siapa saja. Sesekali ada juga orang bilang agar harga pisang goreng dengan seribu rupiah itu dikurangi atau bikinlah tiga pisang goreng dengan dua ribu rupiah. Ompu Sohuturan langsung mengaku keringatan kalau masih ada orang minta begitu.

Terakhir harga pisang satu tandan seharga Rp. 30.000,-. Tepung dan minyak yang dibutuhkan untuk menggoreng pisang sampai 15 tandan bisa mencapai rp. 300.000,-. Lalu ditambah harga arang per karung, maka sekitar Rp. 800.000,- menjadi modal Ompu Sohuturan untuk usaha ini. Terkadang pisang goreng dapat tersisa atau tidak terjual 10 biji. Itu mereka makan saja seperti menikmati masakan sendiri. Namun kalau semua laku keuntungan juga tidak mencapai dari besaran modal tersebut. Hitung-hitung Ompu Sohuturan sudah sangat bersyukur dan bisa menimpang sedikit dari untung dan menyekolahkan semua anak selama ini. Yang lebih banyak dari keuntungan itu digunakan untuk kebutuhan dasar keluarga, ditambah dengan urusan adat. Ompu Sohuturan Boru Pasaribu berasal dari Garoga. Sedangkan almarhum suaminya Simanjuntak dari Sipahutar.

Dulu suami Ompu Sohuturan pensiunan militer. Namun pensiunan itu tidak cukup untuk menyekolahkan anak-anaknya. Karena itu beliau memilih berjualan di rumah yang mereka miliki. Rumah itu berbentuk jejeran seperti rumah toko di simpang Jalan Pacuan Kuda Siborong-borong atau di seberang Kantor Polsek Siborong-borong. Beberapa kenderaan seperti mobil terpaksa parkir di pertigaan depan rumah untuk membeli pisang goreng Ompu Sohuturan.

Kami menghabiskan pisang goreng yang sudah disuguhkan dua kali di dalam piring. Rasa ingin makan pisang goreng di Tarutung semalamnya benar-benar terpuaskan karena sekaligus sebagai pengganti sarapan pagi waktu itu. Pisang goreng itu juga kami mintakan menjadi oleh-oleh tambahan untuk keluarga di Siantar dan Medan karena sampai esok hari pisang goreng olahan Ompu Sohuturan bisa dipanaskan di oven roti tanpa kehilangan rasa enak dan renyah seperti baru masak dari belanga.

Ramses Simanjuntak, anak bungsu Ompu Sohuturan setelah memberikan nomor telepon setelah ditanya soal para pemesan yang terkadang meminta diantar ke tempat (tetapi masih sebatas kota Siborong-borong). Terkadang sebelum sampai di Siborong-borong ada yang bisa memesan lewat telepon itu, agar pisang goreng tidak terlalu lama ditunggu ketika tiba di tempat.

Kami meninggalkan Siborong-borong pada suatu hari pekan itu dengan membawa dua bungkusan plastik yang dilapis kertas di dalamnya untuk menjaga panas pisang goreng itu. Waktu singgah di sebuah restoran di Balige ternyata pisang goreng Ompu Sohuturan sudah dikenal dengan baik karena enak dan renyahnya. Kalau Anda ingin membuktikannya bisa saya kasih nomor telepon anak bungsu Ompu Sohuturan. Awalnya kami tahu pisang goreng Ompu Sohuturan itu dari Herri Ketaren, seorang dokumenter dari Jakarta. Beliau tidak pernah lupa membeli pisang goreng itu kalau sedang tugas ke Tapanuli.

Pematangsiantar, 18 Agustus 2017

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *