Teater Senyawa Kembali Pentakan ‘Pelukis & Wanita’

Adegan Pelukis & Wanita oleh Teater Senyawa Akan Kembali Pentaskan. (ist)

BENGKULU – Sanggar Teater Senyawa Curup akan mementaskan kembali lakon berjudul Pelukis & Wanita karya/sutradara Adhy Pratama Irianto. Bila tidak ada aral melintang, pentas ini akan digelar di Bengkulu pada tanggal 5 Oktober 2019 dan Curup pada tanggal 28 November 2019.

Sebelumnya, pentas ini sudah digelar di Teater Arena, Taman Budaya Jambi dalam rangka Temu Teater Se-Sumatera. Pasca pementasan perdana yang juga uji publik tersebut, penulis naskah yang kerap disapa Adhyra Irianto tersebut menyebut proses latihan dihentikan sejenak untuk keperluan revisi naskah.

Kemudian, Adhyra Irianto menyebutkan bahwa proses revisi naskah yang dilakukan pasca pementasan perdana awal Agustus lalu, telah selesai. Selanjutnya, proses latihan sudah mulai berjalan sejak hari Sabtu (27/8/2019).

Adhyra Irianto juga berperan sebagai aktor, yakni Pelukis, bersama para aktor yang lain, Deni Kurniawan (asisten) dan Wulan Aprianti (wanita), dramaturg Ikhsan Satria pemusik Dhitok dan Hilwa juga sudah melakukan proses latihan. Konsultan karya sekaligus Pimpinan Produksi, Iman Kurniawan juga akan ikut serta pada pementasan kali ini.

Pementasan ini juga menandai Sanggar Teater Senyawa yang terus menjaga eksistensi berkarya sejak tahun 2012 untuk menjaga atmosfer teater di Kota Curup, Kabupaten Rejang Lebong dan Provinsi Bengkulu.

Berikut pengantar “Pelukis & Wanita” oleh Sanggar Teater Senyawa Curup.

Hidup adalah serangkaian “kebiasaan dan rutinitas”. Hubungan sosial, terutama di era teknologi semacam ini, hanyalah sebuah ilusi. Lingkaran rutinitas hanya akan memberi ruang pekat bahkan miniaturisasi, – sialnya, kita akan melangkah satu per satu menuju itu- dan menjauh dari pencarian jati diri. Pencarian atas pertanyaan paling mendasar bagi manusia sejak batu masih menjadi dewa; “who am I”.

Bagaimana dengan menunggu? Menunggu adalah merasakan tindak waktu secara pasif, -yang membuatnya menjadi terasa begitu terasa- (sedangkan melakukan sesuatu, juga berarti merasakan tindak waktu secara aktif). Satu hal yang khas bagi manusia ketika bicara waktu adalah bicara tentang menunggu. Hidup hanya menunggu (yang berisi serangkaian kebiasaan dan rutinitas).

Poster Pelukis & Wanita oleh Teater Senyawa Akan Kembali Pentaskan. (ist)

Tujuan yang ditunggu adalah “harapan”. Entah itu datang ketika masih menghirup nafas, atau mungkin datang setelah kematian. Maka harapan yang menjadi representasi tujuan, muara akhir dari “menunggu”. Beckett berkata, tak ada satupun manusia yang bisa berlari dari jam dan hari (waktu). Tidak ada istilah hari kemarin, hari ini atau besok, lusa dan seterusnya.

Tidak ada tonggak sejarah, karena kemarin hanya waktu yang sudah (atau mungkin belum) kita kalahkan dan mendeformasi kita dari hari ke hari. Hari ini adalah waktu yang menjelma menjadi lawan berkelahi dan besok adalah calon lawan yang siap menantang kita berkelahi kembali. Tidak ada hari tanpa perkelahian melawan waktu, dan begitulah yang akan terus terjadi.

Manusia tidak pernah berencana menyesalkan waktu yang akan datang, hanya selalu terlambat menyadari ketika waktu telah berlalu. Mungkin ada perkelahian yang belum ia menangkan. Sedangkan perkelahian yang baru telah menunggu di hari ini dan esok.

Maka, akan baik bagi seseorang untuk menikmati kesunyian, melanggar dan melawan rutinitas dan kebiasaan yang telah menjadi penyakit waktu. Kesunyian memberi ruang kontemplasi, sekaligus meditasi. Tapi, apakah itu mengeluarkan ia dari labirin waktu? Entahlah, tapi tetap saja tidak ada kemungkinan untuk itu.

Bagaimana bila harapan itu menjadi labirin baru? Lebih memuakkan dari labirin waktu? (gr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *