Musthafawiyah, Pesantren Bersejarah di Sumatera

Armidis Fahmi

Oleh. Armidis Fahmi

PADA mulanya adalah madrasah kecil di pelosok desa. Fungsinya mirip seperti Surau yang ada di Sumatra Barat. Anak-anak remaja menenteng kitab-kitab kuning karangan ulama-ulama ternama di sekitar rumah sang syeikh. Di kehidupan yang lain, penjajah Belanda, terus menaruh curiga pada gerak-gerik murid sang syeikh, khawatir aktivitasnya akan membahayakan.

Bacaan Lainnya

Dalam suasana itulah madrasah ini berdiri. Madrasah yang kemudian disebut pesantren memupuk benih-benih kecintaan para remaja pada tanah dan negerinya. Suatu ketika kecintaan yang dipupuk saban hari itu menjelma menjadi alat perjuangan. Sejarah pun dimulai.

Sejak itu pula pesantren dengan ciri khas pondok-pondok kecil di tepi jalan lintas Sumatra ini punya reputasi nasional bahkan internasional. Sepak terjangnya diabadikan lewat penelitian-penelitian dalam bahkan luar negeri.

Ia semacam monumen perjuangan rakyat Tapanuli dan menjadi jejak penyebaran islam sekaligus. Pesantren itu bernama Musthafawiyah. Nama itu diambil dari nama pendirinya Syeikh Musthafa Husein Nasution.

Pesantrean Musthafawiyah

Pesantren ini terletak di desa Purba Baru Kecamatan Lembah Sorik Merapi, Mandailing Natal. Itulah alasan kenapa pesantren ini lebih tenar dengan sebutan pesantren Purba ketimbang pesantren Musthafawiyah. Berdiri pada tahun 1912 hampir bersamaan dengan berdirinya ormas Muhammadiyah di Jogjakarta.

Awal mulanya pesantren ini dibangun di desa Tanobato, sebuah desa kecil di kaki Gungung Sorik Merapi. Jaraknya sekitar tujuh kilometer dari Purba Baru. Namun tak lama setelah berdiri, madrasah itu dihantam banjir bandang. Seluruh bangunan madrasah hanyut terbawa arus.

Setelah peristiwa nahas tahun 1915 itu, sang pendiri memindahkan pesantrennya ke desa Purba Baru karena alasan Purba Baru termasuk desa yang menjadi pintu masuk ke negeri luar. Selain itu Purba Baru dianggap tidak rawan bencana.

Model pembelajaran yang diterapkan di pesantren ini memakai cara sorogan, atau halaqoh meniru model belajar yang terdapat di masjid al-haram, Makkah.

Model pembelajaran seperti itu dianggap kuno. Kesimpulan itu ditulis oleh peneliti tentang Indonesia asal Australia Lence Castles.

Di dalam bukunya yang berjudul ”Kehidupan politik suatu keresidenan di Sumatra; Tapanuli” Lance Castle menyebut model pembelajaran di pesantren Purba yang diinisiasi Syeikh Musthafa Husein tidak adaptif terhadap perkembangan dunia pendidikan. Pasalnya, sekolah di bawah pemerintahan Belanda sudah memakai sistem kelas. Begitu pun sekolah yang diprakarsai oleh kaum reformis islam.

Pesantren ini memiliki sejarah panjang. Jauh sebelum kemerdekaan diproklamasikan di Jakarta tahun 1945, Musthafa Husein dengan madrasah yang ia bangun menjadi elemen perekat primordialisme-nasionalisme orang-orang Tapanuli.

Sang pendiri tidak hanya berperan sebagai pendidik dan berdagang. Selain itu dua profesi itu, syeikh secara terang-terangan mengonsolidasi kekuatan politik islam melawan kolonialisme Belanda.

Musthafa Husein menimba ilmu lebih kurang 12 tahun di Makkah. Sebelum ke tanah suci, Muhamad Yatim Nasution—nama kecil Musthafa Husein—sempat berguru kepada seorang ahli agama terkemuka di Hutapungkut, Syeikh Abdul Hamid. Konon keberangkatan Musthafa Husein ke Makkah disenyalir atas dorongan sang guru karena melihat bakat yang demikian besar dalam bidang agama.

Di Makkah Musthafa Husein mengaji pada Syeikh Ahmad Khatib alMinangkabawi. Mufti madzhab Syafi’i di Makkah ini juga guru pendiri Nahdlatul Ulama Kyai Hasyim Asyari dan pendiri Muhammadiyah Kyai Ahmad Dahlan. Selain itu banyak pula pelajar dari Nusantara mengaji pada ulama asal Minangkabau tersebut.

Di kesempatan yang lain ia juga belajar pada ulama Makkah asal Mandailing Natal yakni Syeikh Abdul Kadir al-Mandili dan beberapa ulama Makkah lainnya.

Hubungannya dengan NU

Pada tahun 1930 Syeikh Musthafa Husein mendirikan Persatuan Muslim Tapanuli. Ia membawa dua misi sekaligus. Membebaskan dari kolonialisme serta membumikan paham ahli sunnah wal jamaah (Aswaja). Aktivitas dakwahnya lewat PMT menerbitkan simpati masyarakat Tapanuli. Gerakan dakwahnya semakin meneguhkan karismatiknya sebagai ulama Tapanuli yang paling segani. Berkat kewibawaan itu, PMT diterima oleh masyarakat Tapanuli.

Sembilan tahun setelah berdirinya PMT, tahun 1939 syeikh kembali mendirikan Alittihadiyatul Islmiyah (AII). Organisasi ini berpusat di Purba Baru, tempat di mana Syeikh Musthafa Husein mendirikan pesantren.

Dalam rentang waktu yang relatif singkat, lewat Alittihadiyatul Islamiyah syeikh berhasil membangun legitimasi politiknya di hadapan masyarakat Tapanuli. Tak dapat dipisah, misi yang dibawa Musthfa Husein lewat AII adalah untuk meneguhkan sistem keagamaan yang tradisionalistik (mazhab Syafi’i), di mana menjadi model islam yang cukup diterima khususnya di Mandailing.

Di hadapan pemerintah Belanda, legitimasi Musthafa Husein bertambah kuat. Pasalnya ia dianggap mampu mendamaikan perselisihan antara kaum muda dan tetua adat di mana peran anak muda kerap dianaktirikan dalam permusyawaratan adat.

Setelah melakukan aktivitas selama dua tahun, tahun 1941 Alittihadiyatul Islamiyah berhasil menjaring 822 di 20 cabang yang dibangun, sebagian sumber menyebut 62 cabang. Musthafawiyah yang kala itu sudah berumur hampir tiga dekade telah menghasil lulusan yang aktif di berbagai bidang. Jejaring alumni yang menyebar di daerah Tapanuli-Mandailing menjadi tulang punggung gerakan politik dan menyebarkan paham ahli sunnah wal jamaah.

Salah satu murid yang dibimbingnya adalah Nuddin Lubis. Nuddin yang waktu itu masih berumur 20 tahun telah dipercaya syeikh memegang kendali utama di Pengurus Besar Alittihadiyatul Islamiyah.

Di luar Tapanuli, di Batavia, adan pula murid syeikh bernama Zainul Arifin. Di kalangan NU Zainul Arifin Pohan sangat dikenal. Ia membentuk Laskar Hizbullah. Murid Tuan Natobang–panggilan lain Musthafa Husein– asal Barus-Sibolga ini juga erat kaitannya dengan gerakan AII yang kemudian melebur ke dalam NU. Kaitannya terlihat dalam Konferensi NU Se-Tapanuli yang digelar tahun 1950. Zainul Arifin termasuk perwakilan yang datang mewakili kepengurusan PBNU pada acara tersebut.

Setelah merdeka, pada 1947 AII meleburkan ke dalam ormas Nahdlatul Ulama (NU). Pada waktu itu, organisasi yang didirikan oleh Kyai Hasyim Asyari ini merupakan organisasi keagamaan yang paling berpengaruh di Jawa. Pilihan itu sebenarnya bukan tanpa alasan, selain sebagai organisasi yang paling digandrungi khalayak, NU juga membawa visi yang sama dengan visi yang dibawa oleh AII yakni menghidupkan tradisi keagamaan yang berpaham ahli sunnah waljamaah.

Kedua murid Musthafa Husein belakangan ini menjadi tokoh politik yang sangat berpengaruh dalam sejarah politik Indonesia. Zainul Arifin, santri dengan penguasaan bahasanya berhasil menjadi Wakil Perdana Menteri, bahkan sempat menduduki Ketua DPR/MPR pada tahun 1960-1963. Begitu pula dengan politikus andal Nuddin Lubis yang juga aktif di Partai NU dan PPP. Ia sempat menduduki ketua Fraksi Partai NU semasa orde lama dan Wakil Ketua DPR/MPR.

Pada tahun 1945, saat perang berkecamuk di beberapa daerah di Jawa, Zainul Arifin tampil terdepan memimpin laskar Hizbullah. Pada waktu yang bersamaan, Nuddin Lubis juga memimpin Hizbullah di Tapanuli. Dari sana, kuat dugaan kedua murid Syeikh Musthafa Husein saling berhubungan. Sebab mereka sama-sama aktif Hizbullah dan keduanya tercatat sebagai aktivis Masyumi. Wallahua’lam bishawab. (***)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *