Mangrove Endemik Enggano Simpan Potensi Obat Kanker

Ilustrasi Foto Hutan Mangrove di Puau Enggano (ist)

KAWASAN hutan bakau atau Mangrove yang terhampar sepanjang pantai Pulau Enggano ternyata menyimpan potensi bakteri mikroba untuk obat anti kanker.

Ilustrasi Foto Hutan Mangrove di Puau Enggano (ist)
Ilustrasi Foto Hutan Mangrove di Puau Enggano (ist)

Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berhasil menemukan potensi obat kanker yang berada pada tumbuhan manrove yang hanya ada di pulau yang berada di Samudra Hindia itu.

Bacaan Lainnya

Koordinator peneliti LIPI yang melakukan ekspedisi Bioresources Pulau Enggano tahun 2015 Ary Prihardhyanto menyatakan, hasil penelitian dan uji lab terhadap mikroba yang berada di kawasan hutan bakau berpotensi obat kanker itu berasal dari bakteri yang sudah cukup tua bernama Alkae.

“Enggano merupakan salah satu Ocean Island atau pulau yang tidak pernah terhubung dengan pulau lain, baik itu daratan asia maupun daratan sumatra. Jadi dipastikan kawasan hutan bakau disini merupakan tumbuhan endemik, mikroba anti kanker itu dipatikan hanya ada di enggano,” ujar Ary disela sela simposium Enggano di Bengkulu

Selain bakteri Alkae, para peneliti LIPI juga menemukan bakteri lain yang masuk dalam jenis Bakteri Ralstonia Sinatik yang berpotensi untuk mengobati penyakit Malaria, menambah kekebalan tubuh dan anti toksin.

Bakteri ini terdapat dalam kandungan getah pohon Ara yang tumbuh subur di pesisir pantai sepanjang Pulau Enggano yang dalam penelusurannya berasal dari Kepulauan Madagaskar yang berada di bagian Selatan Afrika.

Keberadaan pohon ini diduga dibawa oleh kawanan burung Gajahan Madagaskar yang melakukan migrasi ke Pulau Enggano pada bulan November hingga Desember setiap tahun. Burung Gajahan ini juga menetap selama satu bulan sebelum melanjutkan migrasi ke Australia dan Selandia Baru.

Pulau Enggano sendiri berada pada posisi 5 derajat 23,21 Lintang Selatan dan 102 derajat 24,30 Bujur Timur. Dengan total area sebesar 40.000 hektar terdiri 3.724 ha hutan desa, 24.184 hektar hutan adat atau hutan Ulayat, 719 ha hutan nibung, 465 ha hutan waro, 1.967 ha rawa, 394 ha hutan rawa keramat, 301 ha persawahan dan 1.710 ha hutan bakau.

“Perlu pola kebijakan strategis dan penelitian lanjutan dengan menggandeng para pihak atau stake holders untuk menggali potensi flora ini secara lebih mendalam, supaya pemanfaatan potensi ini tidak salah arah dan untuk kemanusiaan,” tegas Ary Prihardhyanto. (dyo)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *