Lakon Aktris Monolog Wan Hidayati, ‘Prita Istri Kita’ Memukau!

Foto: Aktris Wan Hidayati Dalam Lakon Pritia Istr Kita. (ist)

Oleh: Tatan Daniel

MENIKMATI pentas monolog “Prita Isteri Kita” oleh Wan Hidayati, kemarin malam (15/5/2016), di Grand Aston City Hall, Medan. Tidak semata sebagai lakon teater, tapi juga sebagai percakapan sejarah, sebagai ekspresi gelisah, sebagai perayaan dengan bunga api warna biru, kuning, dan merah, sebagai tanda seru, sebagai jalan pulang ke rumah setelah sekian waktu menghilang, sebagai catatan yang ditulis tengah malam, ketika orang-orang tertidur, dan sebagian bermimpi buruk, sebagian mengingau, sebagian bermimpi basah.

Bacaan Lainnya
Foto: Wan Hidayati dan Sutradara 'Prita Istri Kita' Yan Armani Lubis. (ist)
Foto: Wan Hidayati dan Sutradara ‘Prita Istri Kita’ Yan Armani Lubis. (ist)

Keindahan berlakon dengan rasa ‘lungun’ yang menggapai-gapai, yang ditunjukkan oleh Wan Hidayati, membuat saya tercekat di sudut jajaran kursi. Tersandar. Merinding di keremangan. Dengan pikiran yang terbakar, bersijingkat, berkelojotan, berlari-lari keluar masuk hotel yang dulu menjadi ruang seorang Wali mengurus kotanya.

Pikiran pun meluncur ke gedung teater yang menua dan hampir runtuh di Taman Budaya, melihat kelebat Bang Darwis menyusur kota dengan sepedamotornya dan rambut peraknya berkibar-kibar, membayangkan Bang Burhan Piliang yang duduk membaca sebuah buku, teringat Sarindan, teringat Kapai-kapai yang berserakan, beberapa lembar diterbangkan angin dan hanyut di selokan jalan Jati, Yan Amarni dan Retno, dan Buyung, dan Syahrial muda dengan rambut panjang tergerai, diskusi-diskusi yang hangat di sudut halaman. Teater modern, teater tradisional, Aeschylus, blocking, Oeidipus, ketoprak dor, Moliere, Mak Yong, Umang-umang, Stanilavsky, Lisystrata.

Di sudut yang remang itu, diantara suara Titik Puspa, dan desah Prita, dan gumam Dr. Hidayati, serta lagu dangdut yang menjewer telinga, saya terkejut. Menemukan Prita menjadi teater itu sendiri. Sosok teater yang terduduk, kesepian, menunggu. Dengan tempe dan sayur bening. Dan sambal. Dengan kenangan-kenangan, dan harapan. Dengan pujian dan umpatan. (Sesekali, tepuk tangan gagap, yang ragu-ragu). Dengan keikhlasan dan sumpah serapah. Dengan imajinasi yang mencemaskan. Dengan kepasrahan yang menakutkan.

Namun, di atas itu semua, perkenankan saya menyampaikan selamat kepada Teater Nasional/TENA. Dengan jabat erat yang nyaris meremukkan tulang. Dan tepukan keras di punggung. Bagaimana pun, layar sudah dibentangkan kembali.. Angin sepoi. Langit biru. Laut tenang. Geladak telah dibersihkan. Pesisir pun telah menunggu. Pentas berikutnya, Bung! (gr)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *