Kurator Bicara Pameran Tetap Koleksi Galeri Nasional Indonesia “Monumen Ingatan”

kurator bicara

JAKARTA – Sejak dibuka kembali pada 23 Maret 2019, Pameran Tetap Koleksi Galeri Nasional Indonesia (GNI) dihadirkan dengan konsep baru. Tim Kurator Galeri Nasional Indonesia yaitu Bayu Genia Krishbie dan Teguh Margono mengulas tentang konsep Pameran Tetap Koleksi GNI dalam program daring Kurator Bicara “Pameran Tetap Koleksi Galeri Nasional Indonesia – MONUMEN INGATAN”.

Acara ini telah berlangsung pada Kamis, 18 Juni 2020 pukul 13.00 via Zoom dan live Facebook Galeri Nasional Indonesia.

Bacaan Lainnya

Menurut Bayu, Pameran Tetap Koleksi GNI disajikan berdasarkan periodisasi perjalanan seni rupa Indonesia. Secara keseluruhan, pameran ini dikonsep dengan tiga pendekatan kuratorial: 1) MONUMEN INGATAN menampilkan karya-karya koleksi GNI yang dikontekstualisasikan dalam perkembangan sejarah nasional; 2) PARIS 1959 JAKARTA 1995, menampilkan karya-karya koleksi internasional GNI yang utamanya bersumber dari dua peristiwa penting yaitu hibah seniman-seniman dunia yang berbasis di Paris pada tahun 1959 melalui Atase Kebudayaan dan Pers Bapak Ilen Surianegara, serta hibah dari seniman peserta Pameran Gerakan Non-Blok tahun 1995 di Jakarta; 3) KODE /D, pameran tematik yang secara berkala memamerkan sejumlah koleksi dari 20 Tahun Akusisi Karya Seni Rupa oleh GNI dalam rentang tahun 1999—2019. Namun dalam program Kurator Bicara kali ini, pembahasan dikerucutkan pada pendekatan MONUMEN INGATAN.

“MONUMEN INGATAN menempatkan karya-karya koleksi GNI ke dalam tujuh ruang. Masing-masing ruang mewakili periode penting yang menandai perjalanan seni rupa Indonesia,” kata Bayu.

Ruang 1 menyajikan Kolonialisme dan Orientalisme 1800-an—1930-an, mencakup seni rupa periode kolonial di Hindia Belanda, Raden Saleh Sjarief Bustaman, hingga seni rupa di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Nasionalisme dan Dekolonisasi 1930-an—1940-an berada di ruang 2.

Periode ini menyinggung tentang Persagi dan Identitas Seni Lukis Modern Indonesia, Kelompok Lima Bandung, Pendudukan Jepang di Indonesia, dan Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Ruang 3 menampilkan Pembentukan Identitas Nasional 1950-an. Periode ini termasuk masa perintisan akademi seni rupa, awal internasionalisasi pascakemerdekaan, serta “Indonesianisme” dan propaganda kerakyatan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Ruang 4 mengetengahkan Masa Transisi: Prahara Politik dan Kebudayaan 1960-an. Karya-karya para seniman yang “lahir” pada masa transisi pemerintahan Orde Lama menuju Orde Baru ada di ruang ini.

Berlanjut ke periode Orde Baru dan Depolitisasi Kesenian 1970-an di Ruang 5, Masa Keemasan Orde Baru: Puncak Pembangunan 1980-an di Ruang 6, serta Globalisasi dan Demokratisasi 1990-an—2000-an di Ruang 7. Masing-masing periode tersebut dibagi menjadi beberapa bagian yang secara keseluruhan berjumlah delapan belas bagian. Seluruh karya-karya dalam MONUMEN INGATAN ini ditampilkan pada Galeri 1.

Selain konsep kuratorial, program daring ini juga membahas tentang cara penyajian karya sesuai dengan konsep kuratorial tersebut. Cara penyajian melibatkan pertimbangan tentang objek/karya dan konteks pameran, lokasi ruang dan zooning, serta sirkulasi pengunjung.

“Objek Pameran Tetap Koleksi GNI cukup banyak, berupa karya seni dan arsip pendukung. Sedangkan ketersediaan ruang terbatas. Karena itu perlu strategi untuk menyusun penyajian karya yang sesuai dengan konsep kuratorial sekaligus menampilkan visual artistik yang tak hanya fungsional namun juga elegan, nyaman, menarik, dan instagramable,” papar Teguh.

Strategi tersebut termasuk mendesain alur ruang pameran secara berurutan, menentukan ukuran dan penempatan posisi partisi, memasang jalur instalasi listrik dengan rapi, memilih warna dinding dan base yang sesuai sekaligus dapat menonjolkan tampilan karya, menempatkan dan mengatur posisi jarak antarkarya, mengatur cahaya sorot lampu pada karya, dan sebagainya.

Kepala Galeri Nasional Indonesia, Pustanto mengatakan, dengan mengangkat serta memublikasikan konsep Pameran Tetap Koleksi GNI, program daring yang edukatif ini mengingatkan kita bahwa negara melalui Galeri Nasional Indonesia memiliki aset koleksi negara yang luar biasa sebagai sumber pengetahuan atau informasi seni rupa yang dapat diakses publik, sekaligus mendukung praktik-praktik terkait pengembangan ilmu pengetahuan khususnya seni rupa.

Selain itu, bahasan program ini diharapkan juga dapat menunjukkan betapa pentingnya karya-karya seni rupa bagi sejarah bangsa Indonesia. “Setiap karya seni rupa menceritakan zamannya. Karena itu pula karya seni rupa menjadi pintu gerbang dalam menguak peristiwa bersejarah bangsa Indonesia,” kata Pustanto. (ril)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *