Kritikus Sastra Rela Bermuka Tiga

mihar harahap
Mihar Harahap

Oleh : Mihar Harahap

Memang jenis dan gaya menulis kritik sastra seseorang berbeda-beda. Tetapi apa pun jenis dan gaya menulis itu, akan berdampak positif atau negatif bagi pengarang. Damiri Mahmud misalnya, menulis kritik cenderung ‘menilai’ dengan tegas. Dampaknya bisa positif sepanjang pengarang dapat menerimanya. Tetapi bisa negatif kalau pengarang tak menerima bahkan mungkin berhenti menulis karena merasa kecewa.

Namun saya setuju dengan model kritik Damiri ini. Selain jelas hitam-putihnya dampak itu, juga jelas terlihat tingkat kedalaman pengarang. Bukankah kritik ibarat cambuk yang dapat memicu kejelasan dimaksud. Sehingga kalaupun ada pengarang yang merasa kecewa, maka jelas juga akan tereliminasi. Itu sebab Damiri pernah menyebut bahwa penulis manja dibunuh saja, walau banyak mendapat tantangan dari pemula.

Sebaliknya, saya kurang setuju dengan BY.Tand. Meski menulis kritik cenderung ‘menilai’ tetapi dengan lembut. Mengapa? Karena tak jelas hitam-putihnya dan kedalaman pengarangnya. Kritik tidak ibarat cambuk, melainkan ibarat karet, lentur, tidak sela- manya tegang. Sebab kalau terus tegang, niscaya karet akan putus. Makanya kebanyakan mengulur-ulur baru menarik, sehingga tampak lama mengesankan kejelasan.

Memang diakui dengan model Damiri ini banyak pengarang yang merasa antipati, baik sastrawan/senior maupun calon sastrawan/junior.Sebaliknya dengan model BY.Tand banyak pengarang yang merasa simpati. Namun itulah resiko sebagai seorang kritikus sas tra, pengarang bisa saja merasa simpati atau antipati. Saya kira Damiri termasuk Mihar Harahap sudah kenyang dengan sumpah-serapah atau boikot pengarang.

damiri mahmud
Damiri Mahmud

Sebenarnya, ada model kritik yang tidak menilai baik-buruknya karya sastra. Menulis kritik cenderung ‘memahami’karya sastra itu sendiri. Misalnya kritik Ahmad Samin Siregar. Pada umumnya model kritik ini tidak pernah bersinggungan dengan pencipta, se bab kritik ibarat jembatan yang menghubungkan antara karya sastra dengan pembacanya. Sehingga pengarang merasa tertolong untuk memahamkan karya terbaiknya.

Kalaupun terjadi silang pendapat antar keduanya, paling banter soal tumpang-tindih interpretasi. Ternyata, interpretasi kritikus tidak sama dengan apa yang dimaksud pencipta. Namun silang pendapat itu tak lama atau malah tak terungkap ke permukaan karena keduanya sadar bahwa interpretasi itu tak selamanya bisa sama. Bahkan ada yang berpendapat bahwa makin beragam interpretasi, maka semakin baiklah karya itu.

Yang tampak bijak dan septi adalah Herman KS. Semula ia menulis kritik cende-rung ‘menilai’, tetapi kemudian ‘memahami’. Mengapa begitu? Tak tahu pasti. Namun, ia tahu kapan menilai dan kapan pula memahami. Misalnya, menggunakan kritik pemahaman bila menghadap karya calon sastrawan/junior. Akibatnya, banyak pemula yang merasa simpati karena mengeritik karya sastra mereka adalah Herman KS.

Harus diakui bahwa setiap kritikus berhak menggunakan berbagai jenis dan gaya penulisan. Dan Herman telah menggunakannya dengan baik. Tetapi apapun jenis dan gaya penulisan itu, maka pasti kecenderungan menulis krirtik tetap akan muncul. Bukankah ia ibarat lesung pipit, sebagai tanda pemanis kritikus. Hal itu terlepas dari simpati-antipati pengarang atau bahkan mudah-sulitnya membuat kritikan yang menilai.

Mihar Harahap menulis kritik menggabungkan kecenderungan menilai dan memahami karya sastra dengan tegas dan lembut. Saya menamakan model kriitik itu adalah TeBeKuLe. Te itu tema. Be itu bentuk. Ku itu kuat. Le itu lemah. Kapan saya memahami? Ketika mengurai tema dan kekuatan tetapi lembut. Maksudnya, berusaha menjelaskan tema dan kekuatan secara maksimal berdasarkan teks-konteks karya sastra itu.

Kapan saya menilai? Ketika mengurai bentuk dan kelemahan dengan tegas. Mak-sudnya berusaha menujukkan bentuk dan kelemahan dalam karya sastra itu. Meskipun Te BeKuLe dapat bersentuhan dengan teori yang dikuasai barat mungkin akibat pengaruh bacaan tetapi saya meramu dan menyesuaikan dengan pemikiran serta alam budaya Indo nesia. Sehingga boleh jadi bertentangan dengan teori dan metode barat tersebut.

Begitupun saya tetap menghormati orang-orang kampus yang menggunakan teori barat, ketika mengeritik hasil cipta sastra dalam penyusunan karya ilmiah. Termasuk kritikus di luar kampus. Bahkan walaupun Damiri mengatakan model kritik saya seperti kritik H.B.Jassin, pun tetap saya yakini untuk mengapresiasi karya sastra Indonesia, terutama di Sumut. Dan saya merasa enak, jujur, banggga, meski tak populer.

Dalam suatu pertemuan tak resmi dialog bulanan komunitas sastrawan saya pernah mencandai Damiri.”Mengapa tulisan Anda kemarin subjektif, padahal setahu saya Anda sangat objektif?” Ia tak menjawab namun tersenyum. Tetapi baru-baru ini, pertanya an saya puluhan tahun lalu dikembalikannya. Dan saya tak menjawab kecuali mengemba-likan senyumannya. Memang persoalan onjektif – subjektif selalu saja menggelayuti.

Kebijakan yang sebenarnya mengarah kompromi atau berdamai dengan hati, mem buat saya harus bermuka tiga. Muka satu antara saya dengan karya sastra tanpa melihat siapa pengarangnya. Biasanya dilakukan pada sastrawan/sudah menjadi, sehingga tinggal menilainya saja. Sebaiknya karya itu terdapat dalam buku hasil seleksi editor terpercaya atau di koran dan majalah yang dikatogorikan baik. Dan saya akan menilai sendiri.

Muka dua antara saya dengan pengarang, tentu setelah melihat karyanya. Biasanya dilakukan pada karya calon sastrawan/bisa menjadi. Dibuktikan karya itu telah dimuat di koran atau majalah yang diaggap baik. Muka tiga antara saya dengan pembaca, tentu setelah melihat kepentingan pengarang terhadap karyanya. Dengan demikian muka dua dan muka tiga ini dilakukan demi pertimbangan pembinaan ke depan.

B.Y.Tand, Herman KS dan Ahmad Samin Siregar telah berpulang. Sementara itu, Damiri tetap berkutat menilai dengan tegas, Jangankan calon sastrawan/bisa menjadi bahkan sastrawan/sudah menjadi pun masih ada yang belum dewasa menerima kritik. Karena itu, demi pembinaan dan pengembangan, saya mengkhususkan diri mengeritik keduanya dengan harapan dapat bermanfaat bagi pencipta, pembaca dan pengamat. Semoga.

(Penulis adalah Kritikus Sastra, MPR-OOS, Ketua FOSAD, Pengawas dan Dosen UISU)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *