Herlina Syarifudin, Monolog “Tumbal Dewi Cokek” di Sumbar

Judul:
Tumbal Dewi Cokek
Karya/sutradara/pemain:
Herlina Syarifudin
Tempat:
Pusat Dokumentasi, Informasi dan Kebudayaan Minangkabau, Padang Panjang, Sumbar
Waktu:
27 Maret 2014
Acara:
Panggung Publik Sumatera #3

cokek herlina_n
SINOPSIS

Kisah si Romlah, anak di luar nikah yang ibunya seorang pribumi sedangkan almarhum ayahnya seorang Tionghoa peranakan. Sewaktu masih hidup, ayah Romlah adalah pemilik salah satu grup musik Gambang Kromong di Sewan Kebon, Tangerang. Ayahnya kemudian jatuh sakit dan membutuhkan banyak biaya untuk berobat. Di jaman orde baru, panggilan (tanggapan) untuk bermain musik Gambang Kromong (manjak) hampir tidak ada. Kalaupun masih ada, sembunyi-sembunyi. Walhasil demi biaya pengobatan, semua alat usik Gambang Kromong akhirnya dikorbankan untuk dijual dan hanya menyisakan satu alat musik sebagai kenangan yaitu kong‘ahyan. Namun Tuhan berkata lain. Sejak ayahnya meninggal demi bertahan hidup, ibunya mencari penghasilan dengan berjualan minuman di dekat salah satu rumah pesta (aula sederhana tempat pernikahan kaum Tionghoa peranakan) di Sewan Kebon.

Di ruang imaji yang berbeda, Romlah bertemu dengan seorang seniman Cokek yang sudah tua. Dalam mimpinya, Mak Cokek itu berpesan bahwa Romlah adalah titisan terakhir dari DEWI COKEK yang mendapat tugas menghibur sejumlah 1967 orang tamu dengan cara nyokek dalam kurun waktu 32 tahun. Jika dalam waktu yang ditentukan tidak dapat memenuhi jumlah tersebut, maka seiring waktu Cokek akan lenyap. Di samping itu ada sosok bernama Kyai Cendana yang ingin melenyapkan keberadaan Cokek.

Ada kisah menyayat di balik itu. Sungai Cisadane dan Kali Angke jadi saksi bisu lenyapnya Romlah karena kekejaman di masa orde baru.

Cokek mix

SEKELUMIT CATATAN PERJALANAN MONOLOG TUMBAL DEWI COKEK

Ikan klenger beruntun-runtun
tiada baruntun sama gurita
Di dalam pantun ada cerita
Cerita yang ada Poa Si Litan, sayang si nona

(cuplikan lirik lagu dalam (klasik) berjudul POBIN POA SI LITAN)
Awal mementaskan naskah ini tahun 2009 dalam rangka Festival Monolog Ruang Publik yang diadakan oleh FTI (Federasi Teater Indonesia).

“Saat itu saya mementaskannya di pinggir rel KA Manggarai, Jakarta Selatan. Dan alhamdulillah mendapat prestasi, masuk ke dalam The Best Three di urutan pertama. Peserta monolognya saat itu sejumlah 25 orang dari Jabodetabek, Jogja, Tegal dan Surabaya. Ini adalah kali kedua saya mengikuti festival ini. Di tahun 2008 saya membawakan naskah sendiri juga judulnya BURUNG dan mendapat prestasi juga sebagai Aktris Monolog Terbaik (waktu itu diambil 5 pemonolog terbaik). Waktu naskah BURUNG saya pentas di LP Anak Pria Klas IIA Tangerang,” kata Herlina.

Tema yang diangkat dalam TUMBAL DEWI COKEK ini lantaran Herlina tertarik mengupas perihal kesenian tradisional yang hampir punah. Satu sisi secara sederhananya ia juga belajar tentang kesenian tradisional yang kita miliki, di sisi lain bagaimana dirinya mencoba berbuat minimal memperkenalkan sejarah kesenian Cokek ini ke khalayak yang belum tahu persis lewat dunia teater khususnya monolog.

“Ternyata setelah saya telusuri lebih dalam, banyak hal yang orang belum ketahui tentang kebenaran sejarah kesenian Cokek ini. Di samping itu, Cokek juga termasuk salah satu kesenian tradisional yang sangat minim regenerasi. Contoh yang saya temukan dari sebuah artikel yang beredar di google mengatakan bahwa Cokek diambil dari nama seorang tuan tanah bernama Tan Sio Kek. Namun setelah saya telusuri kebenarannya, menurut informasi yang saya dapat secara langsung dari salah satu seniman Betawi yaitu bang Yahya Andi Saputra dan David Kwa seorang budayawan Tionghoa, sumber tersebut tidak benar,” katanya.

Contoh lain sejarah yang keliru, kata Herlina, adalah penyebutan Cokek sebagai salah satu jenis tarian yang berasal dari Cina Betawi yang akhirnya bergulir di masyarakat sebagai tari Cokek. Sedangkan menurut observasi dan referensi dari berbagai sumber yang ia dapatkan, Cokek itu bukan menari melainkan menyanyi. “Asal kata Cokek dari bahasa Hokkian yaitu Cio dan Kek. Cio artinya menyanyi, dan Kek artinya jenis lagu,” paparnya.

Seiring waktu jarang sekali yang ingin belajar menyanyikan lagu dalam (klasik), maka ada pihak lain yang kebetulan meneliti tentang Cokek akhirnya menciptakan rumusan tersendiri dan mengembangkannya berdasarkan bidang yang ditekuninya yaitu tarian dan rumusan ini celakanya dibukukan dan beredar di dunia pendidikan. Sehingga ketika saya bertanya pada publik, “Apa yang anda ketahui tentang Cokek?” Jawab mereka rata-rata tarian yang berasal dari Cina Betawi dan berbau sensualitas. Padahal tidak seperti itu yang sebenarnya. Jika ingin mengupas lebih dalam, akan lebih afdol dan mengerucut di ruang tersendiri yang khusus membahas tentang sejarah kesenian Cokek.

Cokek Tegal becak (1)

“Maaf, sebelumnya tiada maksud untuk menyalahkan. Namun sudah banyak sejarah di negara kita ini yang berbelok atau sengaja dibelokkan. Jadi siapa lagi yang akan meluruskannya kembali kalau tidak kita sendiri yang memiliki kepedulian terhadap hal tersebut,” katanya.

Masing-masing pelaku seni pasti punya fokus kecenderungan yang berbeda terhadap tema yang ingin diangkat. “Saya memiliki kecenderungan tertarik pada kesenian tradisional yang mulai sirna karena terkikis jaman dan pengaruh dari budaya luar. Saya tidak ingin sampai kehilangan kelangkaan itu. Minimal saya menyimpannya sebagai bagian dari catatan perjalanan kesenian saya di teater untuk bekal cerita pada anak cucu nanti. Syukur-syukur mereka mau mengikuti jejak saya. Memang naif kedengarannya, tapi biarlah. Karena itulah tujuan saya sejujurnya,” paparnya.

Negara kita sebenarnya kaya akan budaya tradisional. Tetapi mengapa nasib para seniman maestronya selalu miris di masa tuanya. Kepedulian pemerintah yang minim juga para lembaga funding yang lebih mengutamakan menjual modernisasi atau kesenian kontemporer ketimbang akar lokal. Beranjak dari kegelisahan ini, dengan segala batas kemampuan yang dimiliki, Herlina mencoba bergerak menabur informasi sejarah kesenian Cokek ke khalayak lewat monolog.

“Tak ada target sebenarnya berapa kali saya akan mementaskan naskah ini dan kapan saya akan berhenti. Semua bergulir begitu saja. Saat pertama kali saya mementaskan naskah TUMBAL DEWI COKEK ini, dalam hati saya hanya berucap ingin mementaskannya keliling nusantara sebagai pengetahuan pada khalayak di luar Jakarta bahwa di sisi lain kota Jakarta masih ada kesenian tradisional yang lahir dari masyarakat Tionghoa peranakan dan nafasnya kini bisa dibilang sudah ngos-ngosan untuk bertahan hidup. Selain itu juga semata saya dedikasikan untuk almarhumah Mak Masnah Sang Maestro Cokek. Meskipun sebenarnya masih banyak seniman Cokek yang lain. Namun yang fokus bertahan menghidupi diri hanya dari hasil nyokek sejak remaja hingga di hari tuanya hanyalah Mak Masnah,” ungkapnya.

Tanpa terasa sejak tahun 2009 hingga 2014 ini, di samping Herlina juga mementaskan naskah monolog lain di sela-sela itu, ia telah mementaskan monolog TUMBAL DEWI COKEK ini sebanyak 13 lokasi di Jakarta, Jogja, Surabaya, Tegal, Banjarmasin dan Bali baik di ruang publik maupun di dalam gedung pertunjukan standar.

cokek herlina_1

Naskah yang pernah dipentaskannya, yakni:

1. 2009 – Rel KA Manggarai, Jakarta

2. 2009 – Panggung di atas danau, Rawa Kalibayem, Bantul Jogjkarta
3. 2009 – Teater Arena UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta
4. 2009 – Panggung terbuka Universitas Islam Indonesia, Jogjakarta
5. 2009 – Lobby Jurusan Teater ISI (Institut Seni Indonesia) Jogjakarta
6. 2009 – Ruang tamu Bengkel Mime Theatre Jogjakarta
7. 2010 – Auditorium Nyi Ageng Serang, Jakarta
8. 2010 – Gedung pertunjukan Sawunggaling Universitas Negeri Surabaya, Jawa Timur
9. 2011 – Sanggar Teater Populer, Jakarta
10. 2011 – Graha Bhakti Budaya – Taman Ismail Marzuki, Jakarta
11. 2013 – Pelataran parkir Dewan Kesenian Tegal
12. 2013 – Taman Budaya Banjarmasin, Kalimantan Selatan
13. 2014 – Antida Sound Garden, Denpasar – Bali

Dan persinggahan berikutnya yaitu lokasi ke-14 adalah tanggal 27 Maret 2014 dalam rangka memenuhi undangan event PANGGUNG PUBLIK SUMATERA #3 yang akan diselenggarakan di Padang Panjang, Sumatera Barat. Disana nanti saya akan mementaskan naskah ini di ruang publik. Lokasi tepatnya di area Pusat Dokumentasi, Informasi dan Kebudayaan Minangkabau.

Dibutuhkan strategi adaptasi panggung yang matang untuk masing-masing lokasi pertunjukan yang melahirkan variasi baik dari segi suasana di lokasi pementasan, ruang dan waktu yang berbeda (karena waktu pementasannya tidak hanya malam hari), setting panggung, blocking adegan maupun saat interaksi dengan penonton. Karena kebetulan ini naskah yang saya tulis sendiri. “Maka saya memiliki kebebasan untuk mengembangkan dialog dan pengadeganan secara improvisasi menyesuaikan kultur daerah dimana saya berpentas. Mengingat banyak hal tak terduga yang tak terbayang di saat proses latihan. Meski secara jarak jauh terdapat komunikasi dengan pihak pengundang tentang situasi dan kondisi area pementasan, namun saat kita hadir di lokasi dan melihat secara riil pasti ada yang harus kita sesuaikan,” ucapnya.

Kesan melakonkan monolog inipun di setiap daerah tentu berbeda. Ada banyak cerita unik setelah pentas yang ia bawa pulang sebagai catatan kaki. “Contohnya saat pentas di pinggir rel KA Manggari, usai bermonolog saya mendengar musik Gambang Kromong diputar di salah satu warung remang-remang di seberang lokasi saya pentas. Padahal sebelum saya pentas, warung tersebut memutar musik dangdut koplo,” katanya berkisah.

Lalu saat pentas di pelataran parkiran Dewan Kesenian Tegal, usai pentas ada salah satu penonton yang berprofesi sebagai penyanyi keroncong jalanan yang katanya ‘bisa merasakan dan melihat’ alam lain menyampaikan padanya, bahwa sepanjang Herlina pentas terutama ketika adegan penitisan, sinar bulan purnama perlahan makin terang seperti lampu panggung yang perlahan fade in.

“Lalu saat saya berubah menjadi Dewi Cokek, seorang Nyai Ronggeng yang sudah meninggal dan kebetulan rumahnya di belakang kantor Dewan Kesenian Tegal, ikut menonton dan tersenyum. Dan saat saya mengakhiri adegan, sinar bulan purnama perlahan tertutup kabut,” paparnya.

Lalu di Banjarmasin yang kebetulan musim hujan, dari pagi hingga sore hujan tiada henti. Namun saat malam ia pentas, tiba-tiba muncul bulan meski tertutup kabut. Padahal dirinya tidak melakukan ritual apapun untuk mencoba menghentikan hujan seperti yang sering dilakukan oleh pawang hujan misalnya. “Saya hanya melakukan dialog pada langit secara natural di dalam hati agar semesta mendukung kelancaran pementasan saya,” katanya.

Kemudian saat pentas di UNESA, ada penonton seorang seniman teater dari Brunai Darussalam bertanya pada dirinya, “Apa rahasianya anda bisa melakonkan monolog sepanjang 1 jam tanpa terlihat ngos-ngosan? Padahal adegan anda tadi sungguh atraktif. Anda tidak hanya berdialog, tapi juga menyanyi dan menari.”

Tentunya untuk kasus yang satu ini jawabannya hanya satu, yaitu latihan. Di Jogja lain lagi ceritanya. Penontonnya malah yang aktif ingin berinteraksi dengan dirinya. “Tiba-tiba ada seorang perupa yang diam mematung di area permainan saya berharap untuk saya respon. Akhirnya demi mencairkan suasana, sempat bergulir dialog improvisasi di luar naskah antara saya dengan perupa tersebut sepanjang kurang lebih 15 menit. Dan masih ada lagi cerita unik lainnya,” kenang Herlina.

Jika ditanya berapa lama latihannya, tentu tak jauh berbeda seperti proses latihan teater pada umumnya. Hanya bedanya, jika latihan teater secara grup dalam sehari latihan pasti hanya sekali running. Sedangkan ia melakukannya hingga 3-4 kali running untuk mengukur kekuatan energi dirinya di atas panggung sekaligus secara manajemen produksi untuk meminimalisir biaya transportasi menuju lokasi latihan. ”

Jika saya telah mementaskannya sebanyak 13 kali dalam kurun waktu 4 tahun, pastilah tak terhitung berapa lama saya latihan. Setelah melalui pementasan yang pertama, biasanya untuk pementasan yang selanjutnya latihan Herlina mulai jadwalkan dalam sebulan sebelum pentas. Dalam waktu sebulan itu bukan berarti ia berlatih setiap hari selama 30 hari. Karena akan memakan biaya untuk transportasi bolak-balik menuju tempat latihan.

“Secara produksi saya juga harus berpikir hemat dan praktis tanpa mengorbankan aktifitas yang lain. Saya buat sistem paket padat latihan dalam 10 hari misalnya namun sehari bisa 3-4 kali running. Minimal saya memiliki target latihan 15 kali running sebelum pentas. Kesulitan awal yang saya temukan saat mulai mengupas tema Cokek ini adalah mencari sumber informasi tentang sejarah Cokek. Karena tidak banyak yang meneliti tentang Cokek. Bahkan ketika mengawali proses penulisan naskah ini, sempat memakan waktu 7 jam sharing via chatting di Facebook dengan mas Agus Noor seorang penulis dari Jogja. Itu sebabnya saya belum puas dan akan merasa rugi jika hanya dengan sekali atau dua kali pementasan saja. Tentunya di setiap pementasan selalu mengalami perkembangan dalam pengadeganan. Baik dari alur cerita, kostum, hingga kebutuhan artistik lainnya. Dan informasi terlengkap yang akhirnya saya dapat dan saya luapkan adalah pada saat pementasan di Denpasar, Bali,” ungkapnya.

cokek1

BIODATA SINGKAT HERLINA SYARIFUDIN
Nama pena RESPATI ELANG PAWESTRI

Perempuan kelahiran Malang (Jawa Timur) 7 Desember ini sebenarnya lulusan S1 Akuntansi. Karena cintanya pada teater, ijazah ekonominya terpaksa lelap dalam kardus. Sekitar 1998-2003, bergumul dengan komunitas teater di Malang. Dengan segala keterbatasan pengetahuannya di bidang seni teater semasa itu, dia membuat nomor pertunjukan yang mengarah pada gerak dan puisi. Beberapa judul yang pernah dibuatnya antara lain: MAHKOTA, SENANDUNG KLITORIS vs ZAKAR, TRAFFIC LIGHT, OH TRAFFIC LIGHT, RESAH, (beberapa ada yg lupa). Dia juga aktif berorganisasi. Pernah menjabat menjadi Ketua TEATER CIKAL (teater di dalam kampusnya yaitu STIEKN JAYA NEGARA MALANG), Ketua Lembaga Dakwah Kampus, Sekjen Dewan Mahasiswa, anggota PMII & LMND. Sempat pula dia menggelar event KAMPUNG SENI MALANG. Keseriusannya di teater dimatangkan dengan hijrah ke Jakarta di akhir 2003.

Petualangannya di dunia teater di ibukota diwarnai oleh persinggahannya pada beberapa tokoh teater dan terlibat produksi di beberapa judul pementasan di dalamnya, antara lain Nano Riantiarno, Slamet Rahardjo, Robbert Draffin (Australia), Remy Sylado, dan Milan Sladek (maestro pantomim kelahiran Slowakia). Dahaga akan ilmu teater terus berlanjut. Diteguknya beberapa workshop diantaranya penulisan naskah, penyutradaraan dan keaktoran oleh Putu Wijaya, Benny Johanes, Iman Soleh, Joko Bibit, Arthur S. Nalan, Tony Broer, Wawan Sofwan, Adi Kurdi, Dindon WS dan Iswadi Pratama.

Beberapa tulisan yang pernah dibuatnya :

1. Naskah drama MAHKOTA (2001)
2. Naskah drama SENANDUNG KLITORIS (2002)
3. Naskah drama SENANDUNG KLITORIS vs ZAKAR (2003)
4. Skenario sitkom KOST SWEET KOST (2004)
5. Skenario film pendek AIR MATAKU TAK ASIN LAGI (2005)
6. Naskah drama remaja SANDAL JEPIT (2006)
7. Naskah drama perempuan KASIANAH MERANA (2006)
8. Naskah drama PERKAWINAN TOGOG DAN LIMBUK (2007)
9. Naskah monolog WANITA vs INDONESIA ibarat
SRIKANDI vs DASAMUKA (2008)
10. Naskah drama remaja TAPLAK MEJA (2008)
11. Naskah monolog TUMBAL DEWI COKEK (2009)
12. Naskah monolog dan drama NAMAKU SKIZO (2009, 2012)
13. Naskah monolog BURUNG (2012)
14. Naskah monolog PAHLAWAN DEVISA, PAHLAWAN TERSIKSA (2012)
15. Naskah drama NATAL DUKA ROSO DAN KARSI (2012)
16. Naskah drama MUTIARA RETAK DI BALIK KAIN PEL (2013)
17. Naskah drama dan monolog LESUNG, SUARA TANPA SUARA (2013)
18. Naskah lenong ANAK, SUMBER SEGALA SUMBER (2013)
19. Naskah drama NAMAKU NAMA (2013)
20. Naskah teaterikal Natal TUHAN, TANPAMU AKU LEMAH (2013)
21. Naskah pantomim DUNIA KECIL (2013)
22. Naskah drama Natal KELUARGA GADO-GADO (2013)

23. Beberapa judul cerpen dan prosa liris, antara lain:
1. KETOPRAK CINTA SABENI UNTUK WELAS (cerpen)
2. SESENDOK TANYA (cerpen)
3. SERPIHAN MONOLOG DI LP ANAK PRIA TANGERANG (cerpen)
4. RINTIHAN GARUDAKU DI POJOK TONG SAMPAH (prosa liris)
5. PERCAKAPAN ANTARA TUHAN, CITA-CITA DAN SEBUTIR NASI (prosa liris)

24. Beberapa judul puisi, antara lain:
1. 7 CANGKIR KOPI AKI DAN NINI
2. ASMARA SANDAL JEPIT
3. BARU SEBATAS SUAP DAN TEGUK
4. BERSIN AIR LANGIT
5. BETINA MAYA
6. BUNGA ES
7. ELANG BETINA
8. HAN, PELUKLAH GETIRMU
9. HARGA LUDAH
10. HATI KOSONG
11. JERUJI KAKAU NENEK
12. KATA MAUT
13. KEKASIH BELAKANG
14. KEKASIH DEPAN
15. KUDAPAN RUMAH POHON
16. LAYAR KECIL, KEKASIHKU
17. LISTRIK HATI
18. NASEHAT SOL SEPATUKU
19. NISANMU MASIH HANGAT, SAYANG
20. NUR, CAHAYAKU SEMOGA
21. PENYESALAN CAHAYA
22. PEREMPUAN SUNYI
23. PERTIGAAN CAHAYA
24. RAMADHAN
25. REBUSAN KEPAL
26. SELAMAT MALAM DUKA
27. SELAYANG LONTAR
28. SENANDUNG PEDIH PRT ANAK
29. STRATEGI CINTA
30. TEGANG BA’AL
31. TUBUH KORSLET
32. TUMBAL DEWI COKEK
33. UU MIGAS
34. Beberapa karya lain tanpa judul
35. SUCI BUKAN SERBET (puisi esai)

Beberapa naskah drama dan monolognya telah diposting di dalam blog pribadi (www.herlinasyarifudin.blogspot.com) dan di notes/catatan halaman facebooknya (www.facebook.com/elang.pawestri/notes). Salah satu naskah dramanya yaitu NAMAKU NAMA masuk dalam buku Antologi Bengkel Penulisan Naskah Drama yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Di dalam buku tersebut ada 12 naskah drama karya teman-teman di Jakarta. Iseng-iseng memulai dunia puisi dan cerpen baru sekitar setahun belakangan. Beberapa puisi dan cerpennya juga telah dimuat di media online rimanews.com dan KOMPASIANA serta buku Antologi Puisi dan Prosa 50 Penyair “LANGIT TERBAKAR SAAT ANAK-ANAK ITU LAPAR”, Antologi Puisi “DAUN BERSAYAP AWAN”, dan Antologi Cerpen & Puisi “CINTA TAK TERSAMPAIKAN”.
Telah 25 judul lebih naskah drama (karya sendiri, karya orang lain baik dari dalam dan luar negeri) yang pernah dipentaskan bersama beberapa kelompok teater di Jakarta, baik sebagai penulis naskah, sutradara, asisten sutradara, aktor, stage manager, penata make up, penata lampu, penata kostum sampai petugas tiketing. Demi memperdalam keaktoran, sejak 2008 hingga sekarang menggeluti monolog.

Beberapa judul monolog yang pernah dipentaskan antara lain :
1. ROBEKAN MERAH PUTIH (karya Azis Supriyanto), 1998
2. WANITA vs INDONESIA ibarat SRIKANDI vs DASAMUKA (karya Herlina Syarifudin), 2008
3. BURUNG (karya Herlina Syarifudin), 2008
4. MULUT (karya Putu Wijaya), 2010
5. PAHLAWAN DEVISA, PAHLAWAN TERSIKSA (karya Herlina Syarifudin), 2012
6. LESUNG, SUARA TANPA SUARA (karya Herlina Syarifudin), 2013
7. HATI YANG MERACAU (karya Edgar Allan Poe), 2013
8. TUMBAL DEWI COKEK (karya masterpiece Herlina Syarifudin), 2009-2014
Ini adalah naskah monolog masterpiece karena telah dipentaskan sebanyak 13 lokasi dengan berbagai jenis panggung baik indoor maupun outdoor (bantaran rel kereta api, gundukan pasir, panggung diatas danau, ruang tamu, pelataran parkir, halaman café, teater arena terbuka, gedung pertunjukan standart) di Jakarta, Surabaya, Jogja, Tegal, Banjarmasin, Denpasar. Rencana akhir Maret 2014 akan dipentaskan lagi atas undangan event PANGGUNG PUBLIK SUMATERA di Padang, Sumbar. Sejarah perjalanan karya ini akan saya uraikan di lembar tersendiri.

cokek herlina_2
Keseriusannya di dunia teater menuai beberapa prestasi antara lain :
1. Aktris Terbaik dalam Diklat Teater Kampus oleh Teater Cikal Malang, 1997
2. Aktris Terbaik tingkat Jakarta Pusat dalam Festival Teater Remaja tingkat Jakarta Pusat, bergabung dengan Sanggar Poros, judul CHARLIE, September 2004
3. Penata Rias Terbaik Festival Teater SLTA Tingkat DKI Jakarta, 2005
4. Nominasi Penata Artistik Festival Teater SLTA Tingkat DKI Jakarta, 2005
5. Nominasi Penata Kostum Festival Teater SLTA Tingkat DKI Jakarta, 2005
6. The Best Ten Lomba Penulisan Naskah Drama Remaja Tingkat Nasional, penyelenggara Taman Budaya Jawa Timur, judul naskah SANDAL JEPIT, 2006
7. Aktris Terbaik Festival Teater Jakarta Pusat, 2006
8. Penata Rias Terbaik Festival Teater SLTA Tingkat DKI Jakarta, 2007
9. Nominasi Penata Artistik Festival Teater SLTA Tingkat DKI Jakarta, 2007
10. Masuk dalam The Best Ten Lomba Penulisan Naskah Drama Remaja Tingkat Nasional, penyelenggara Taman Budaya Jawa Timur, judul naskah TAPLAK MEJA, 2008
11. Masuk dalam The Best Five (urutan kedua) Festival Monolog Ruang Publik, Federasi Teater Indonesia, judul BURUNG (karya&sutradara sendiri), 2008
12. Masuk dalam The Best Three (urutan pertama) Festival Monolog Ruang Publik, Federasi Teater Indonesia, judul TUMBAL DEWI COKEK (karya&sutradara sendiri), 2009
13. Nominasi penata artistik Festival Teater Anak, judul Perebutan Apel Termahal di Dunia, 2012
14. Nominasi Sayembara Penulisan Naskah Drama Nasional FTI, judul NAMAKU SKIZO, 2012
15. Juara 1 Festival Teater SLTA se-Tangerang, judul LESUNG, SUARA TANPA SUARA, 25 April 2013
16. Juara 3 Poetry Quis, judul puisi NASEHAT SOL SEPATUKU, 2013 (Juri tunggal Eko Tunas, Jawa Tengah)
17. Karya Favorit untuk cerpen KETOPRAK CINTA SABENI UNTUK WELAS, Lomba Menulis Cerpen Remaja tingkat Nasional, 2013

Perempuan perantau yang memakai nama pena RESPATI ELANG PAWESTRI ini, selain sebagai monologer, penulis dan sutradara, juga melatih teater di SMA dan anak-anak putus sekolah yang bekerja menjadi Pekerja Rumah Tangga Anak. (gardo)

Foto-foto: Koleksi Pribadi Herlina Syarifudin

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *