Pandemi Covid-19 di Indonesia, Social Distancing atau PSBB : Politik VS Kemanusiaan

Oleh : Apriyanto*

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi telah mengumumkan Infeksi Virus Corona sebagai pandemi pada hari Rabu, 11 Maret 2020. Kebijakan pemerintah untuk menyembunyikan (merahasiakan) fakta insidensi corona (yang dibuka hanya kasus menonjol), termasuk lokasi pasien positif infeksi Virus Corona sangat tidak menguntungkan. Hal kebijakan memberikan informasi publik berkaitan dengan pandemik global covid-19 itu vital meski memang dilematis. Kebijakan untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), karantina lokal atau hanya anjuran membatasi jarak sosial (“social distancing”) wilayah terjangkit virus corona masih mengambang antara iya dan tidak. Politik dan Kemanusiaan, bisakah dipisahkan? Dalam peradaban masyarakat demokratis tentu kita tidak bisa memisahkan politik dan kemanusiaan. Pemerintah Indonesia memang baru pertama kali menghadapi pandemik dengan skala besar seperti ini, yang bagi beberapa ahli percaya merupakan pandemik siklus 100 tahunan.

Bacaan Lainnya

Pandemik Spanish Influenza terjadi 1918 yang mengakibatkan lebih 40 jutaan orang meninggal dunia. Angka korban flu spanyol itu juga dipercaya melebihi akumulasi korban perang dunia 1 & 2. Terlepas dari dilema membuka data kasus infeksi virus corona secara faktual atau tidak, kita setidaknya lebih beruntung secara kronologis kejadian dibandingkan negara China, Korea Selatan, Hongkong dan negara lain yang telah melaporkan kasus infeksi covid-19 sebelum Indonesia.
Pemerintah kita seharusnya sudah bisa mempelajari penanggulangan infeksi virus dari beberapa negara tersebut tentunya. Naif, apabila kebijakan publik mendasar berkaitan dengan skenario menghadapi ancaman bahaya virus corona terkesan tidak matang.
Kita masih ingat, dengan sangat percaya diri dan bangga Indonesia belum melaporkan kejadian infeksi virus Corona. Analisa dan narasi mengapa kita belum terpapar infeksi virus Coronapun merebak. Narasi seperti kita kebal terhadap virus seperti Corona karena memiliki kebiasaan mengkonsumsi rempah rempah dan empon empon (Curcuma) sempat beredar meluas. Percaya diri kita kemudian mengalami anti klimaks saat presiden Jokowi menyampaikan pernyataan tentang kasus 1 dan kasus 2. Rasa percaya diri kita kemudian mulai bercampur dengan kecemasan. Kebijakan politik kesehatan yang mengambang menimbulkan pengendalian penyebaran penyakit ini berjalan tidak sistemik.

Ironisnya, bagi para pihak yang selama ini mengambil sikap oposisi dengan pemerintah justru menggunakan isu virus corona sebagai komoditas politik. Ketakutan dampak politik akibat virus Corona ini membuat para pengambil kebijakan bersikap sangat berhati-hati, kurang cepat dalam mengambil keputusan dan menjadi agenda “business as usual”. Negara China yang sosialis dengan sistem pemerintahannya tentu juga ada faksi dalam kekuatan politiknya. Hal yang sangat menarik dari China adalah kebijakan politiknya kuat dan koheren, serta sangat fokus pada tujuan. Nilai peri kemanusiaan menjadi pijakan bagi semua pihak di China yang diekspresikan melalui komitmen, kerja keras, dan gotong royong. Kepentingan Nasional menjadi pijakan para stakeholders yang terlibat, apapun kepentingan kelompoknya.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan menghadapi pandemik Corona ini di China dengan risiko minimal. Faktor tersebut antara lain : 1. Kapasitas SDM 2. Sistem Kesehatan Nasional 3. Dukungan Finansial 4. Ilmu Pengetahuan & Teknologi 5. Sistem Politik yang kuat dan efektif 6. Lingkungan pendukung, 7. Budaya
Salah satu kebijakan publik yang diterapkan oleh China adalah kebijakan mengisolir dan mengunci (lockdown) wilayah terdampak Corona. Hal demikian tentu sangat tidak mudah diputuskan, namun mereka telah bisa membuktikan keberhasilannya.

Indonesia memiliki 135 gerbang masuk di darat, bandara, maupun pelabuhan laut. Protokol Keamanan dan protokol kesehatan sudah dilakukan. Strategi mitigasipun terus dikuatkan dan dijalankan misalnya dengan menyediakan 132 rumah sakit rujukan, 109 rumah sakit TNI, 53 rumah sakit POLRI dan 65 rumah sakit BUMN. Rumah Sakit terpadu untuk penyakit tropis saat ini juga sudah dibangun di kepulauan Riau. Hal demikian tadi tentunya masih belum cukup untuk mengendalikan dan menanggulangi pandemi Corona.

Kita butuh kebijakan cepat, tegas, terukur dan tepat untuk mengisolir suatu wilayah, maupun membatasi mobilisasi penduduk dalam konteks pandemi Corona ini. Informasi beredar dari tutur lisan sampai tulisan di media sosial, bahwa diberbagai perbatasan daerah memang sudah dibatasi mobilisasi masuk dan keluar. Beberapa kampus dan beberapa sekolah, serta banyak perusahaan sudah mengeluarkan kebijakan dan mengaktifkan protokol pencegahan penyebaran Corona. Beberapa daerah juga secara mandiri, baik kampus perguruan tinggi, sekolah dan perusahaan sudah melakukan aksi penanggulangan virus Corona.
Kebijakan publik di tingkat negara atau daerah tentu akan membawa konsekuensi dan implikasi. Perekonomian akan terkoreksi dan mengalami krisis, distribusi suplai barang kebutuhan pokok terganggu, keributan mungkin terjadi, bursa saham jatuh, serta risiko lainnya tentu harus diperhitungkan dan dihadapi dengan baik. Kita perlu belajar dari China dalam masa tanggap darurat ini. Kebijakan untuk PSBB daerah terdampak langsung Corona di negara Indonesia butuh mekanisme pengambilan keputusan lebih cepat. Sejarah penularan Covid-19 dimulai dari kasus 1 & 2 berasal dari kontak tidak langsung dengan turis Jepang. Kasus lainnya juga menyusul karena terbukanya mobilisasi warga negara asing ke Indonesia. Namun demikian penundaan keputusan melakukan entah itu berupa karantina wilayah atau pun PSBB juga menambah risiko paparan virus Corona.

Dalam waktu dekat ini semoga segera ada kebijakan dan aksi yang lebih tegas dan lebih baik dari Pemerintah Pusat maupun Daerah. Perlunya kebijakan publik yang koheren antara pusat dan daerah. Protokol WHO berkaitan dengan penanggulangan pandemik Virus Corona perlu dijalankan lebih jelas dan tegas. Hal lain yang sangat penting adalah upaya dalam dimensi spiritual Bangsa Indonesia dari banyaknya kepercayaan asli serta agama. Soal Covid-19 (Corona Virus Disease) ini bukan soal politik, tetapi soal kemanusiaan. Stop politisasi Pandemi Covid 19 dan marilah dengan solidaritas sosial kita lebih proaktif untuk bekerja demi kemanusiaan. (***)

* Penulis adalah Praktisi Pengurangan Risiko Bencana, dan Pengamat Sosial

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *