Dari Tanjung Balai Asahan Semangat Itu Mengalir Sampai Jauh

Foto: Budaya Tanjung Balai Asahan. (ist)

Oleh. Tatan Daniel

BARU duduk sekejap di kedai Cap Go Can, tak jauh dari pertemuan dua sungai, sungai Silau dan sungai Asahan, di kota Tanjung Balai, saat berbincang bersama para sahabat seniman, Asrial Mirza, Cik Awang Mingka, Tok Laut atawa Syamsul Rizal, Cek Abdi Nusantara, Pak Lurah Fitriadi, Iwan Wanvha Iwan, Cek Ilham, dkk. tiba-tiba saya merasa memasuki terowongan waktu. Tersedot jauh ke belakang, ke zaman tahun tujuhpuluhan.

Kemarin saya berkunjung ke kota, yang pada masanya dulu pernah menjadi ibukota Kesultanan Asahan itu. “Sempatkan singgah, ya, Pak!” pesan Awang Mingka, Ketua Dewan Kesenian Tanjung Balai, sang lelaki muda kharismatik, sebaik tahu saya ada di Medan.

Ketika sampai di kota pelabuhan itu, disambut Awang dan Iwan, kamipun segera ‘membuka lapak’ di kedai makanan laut itu. Dengan pinggan mangkuk berisi ikan senangin gulai masam, pari sembam, kepiting.

Berbincang seru, amat serius pada beberapa ikhwal, lalu ditingkah dengan ‘ping pong’ humor jenaka, dengan derai gelak tawa keras lepas yang bisa terdengar sampai ke seberang sungai, ajuk-mengajuk, khas ekspresi warga kota kerang itu.

Bertemu dengan para sahabat seniman dan aktivis budaya, serta pemangku Dewan Kesenian Tanjung Balai (DKTB) kemarin, terasa mendulang semangat. Ya, sejenak saya merasakan dejavu! Seakan duduk di antara para tokoh seniman legen kota yang hangat itu: Idam Syamsudin atau Hadisyam Tahax, Kims Gangga, Husni TH, F. Mingka, Idris Chairat, Arifin Kasah, Anshari Tanjung, Sulaiman Sambas.

Serasa mendengar dentung musik gubang yang ditabuh dari ujung kampung. Gubang, seni tradisi orang Tanjung Balai yang telah ditabalkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia. Sayup-sayup lirih saya mendengar pula suara Cek Nasty, dibawa angin, mengalunkan senandong, seni tradisi yang juga telah ditetapkan oleh negara ini sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia:

“Oiiiii, saudaro..ooooiiiii.. Batolurlah kau sinangin, oiiii.. Batolurlah di pinggir pantee.. Biarlah sonangggg…oiiii, saudaro…..oiiiii. Nalayan mancari makannnnn…oiii, saudaroo..

Oiiiii…saudaro….oooiiiiii.. Barombuslah ..oiiiiii…saudaroo.. Angin tunggaroo….iiiiiii.. saudaraoo
Biar lah sonangg.. nalayan oiiii…….saudaroo
Balayar manuju panteee.. ooiii..saudaroo..”

GUDANG SENIMAN

Di Sumatera Utara, sejak zaman baheula, Tanjung Balai kesohor sebagai gudang seniman. Mereka yang bergiat di ladang sastra, teater, tari, musik, dan juga senirupa. Yang tradisi maupun modern.

Jiwa seni itu, agaknya, dipengaruhi oleh alam tepi lautnya, keramaiannya sebagai bandar besar bagi kapal-kapal besar yang berlabuh, ruang terbuka tempat pertemuan berbagai bangsa dan budaya, Melayu, Cina, Arab, Batak, Jawa, dan sebagainya.

Duduk di tepi sungai, dengan suara sampan motor berderam-deram, matahari petang yang panas, dan angin yang menghantarkan bau garam, usai tercenung beberapa saat, saya pun kembali tersadar.

Oh, rupanya saya tengah berhadapan generasi yang baru, Awang Mingka dan kawan-kawan. ‘Anak-cucu’ para seniman legen, para maestro hebat yang tak pernah tercatat dengan baik dalam kitab sejarah kesenian kota ini.

DKTB yang kini dinakhodai oleh Cek Awang Mingka, bagi saya, terasa fenomenal. Begitu dibentuk, langsung bergerak, menggeliat, dan menggebrak! Tidak sekedar di dalam rumah, tapi langsung menohok ke segala penjuru.

Ke Anjungan Sumut TMII saja, sudah berkali-kali mereka mengirim rombongan, meski dengan biaya pas-pasan: World Music Workshop, Festival Serampang Duabelas, Parade Tari Nusantara. Beberapa hari lalu, kelompok teater mereka, Teater Lorong, menjuarai pula kompetisi teater di Medan. Seperti membayar hutang proses kreatif, yang selama ini tak kunjung langsei.

Bermacam komunitas seni pun segera terbentuk, seiring dengan dorongan aktivitas yang bagai gelombang Selat Melaka, susul menyusul menderu, tampil merebut perhatian. Kumpulan Pak Pong Medan pun beberapa kali diundang, menghangatkan suasana.

Devie Matahari dan Komunitas Musikalisasi Puisi mereka hadirkan dari Jakarta, untuk berbagi pengalaman dan ilmu. Diskusi dan perbincangan sastra digelar, di berbagai tempat, di ruang sempit, di halaman kantor, di taman kota. Dan macam-macam hal. Terakhir, mereka helat even “Ramadhan di Kampung Seniman”, setiap malam, selama tiga pekan non-stop, sambil mendeklarasikan terbentuknya Komunitas Pak Pong Tanjung Balai, yang diketuai seorang Lurah muda, Fitriadi, yang juga seorang seniman andal.

Membesarkan hati, bahwa kini, Komunitas Ronggeng Deli dan Kumpulan Pak Pong Medan, tidak lagi sendirian kesepian. Sudah punya saudara senasib sepenanggungan.

Di kedai nasi, di tepi sungai itu, kami mencakapkan banyak hal. Soal masa depan ronggeng Melayu, sampai soal siasat melakukan gerakan kebudayaan. Terbetik pula kabar, tentang rencana penyelenggaraan Perkemahan Penyair Nusantara, menerbitkan buku kumpulan puisi, dan kemungkinan menggelar Festival Seni Ronggeng se-Asia Tenggara di kota yang pernah dijuluki sebagai kota terpadat se-Asia Tenggara itu.

Tak mengapa, kalau pun masih rencana, karena berniat baik saja pun sudah mengalirkan pahala. Rencana yang demikian, akan menghangatkan pikiran. Merangsang gairah kreatif. Memberi tempat semaian bagi jaringan sel dan syaraf artistik untuk bertumbuh dan hidup subur.

Dari kedai ikan bakar itu, kami lanjutkan percakapan di ‘markas’ Dewan Kesenian Tanjung Balai. Ruang nyaman, di lantai atas sebuah gedung. Sebuah plank kecil bersahaja terpajang keren di luar: DEWAN KESENIAN DAERAH KOTA TANJUNG BALAI. Entah mengapa, saya senang melihat tulisan yang gagah terpajang di situ.

Mungkin, semacam rasa bahagia, bahwa kawan-kawan aktivis itu dan perjuangan yang mereka lakukan, mendapat pengakuan yang absyah, dari penguasa kota. Sebuah kemewahan yang tak dimiliki banyak kota-kota lain di negeri ini, bahkan kota tetangganya, Kisaran, dan Rantau Prapat, ibukota dua kabupaten besar di sana.

Menaiki anak tangga kayu, saya dijumpakan dengan lemari yang penuh menutup dinding, berisi banyak buku tentang seni. Lalu, sebuah ruang utama, ruang multifungsi dengan seperangkat komputer, yang didindingnya terpajang t-shirt bergambar beberapa even besar yang pernah mereka hadiri.

Beberapa alat musik, dan lukisan tersusun rapi di sudut. Sebagai bagian dari gedung Dharma Wanita itu, di lantai bawah, terdapat pula sebuah aula besar dengan panggungnya. Di sisi utara, terbentang taman kota, Taman Sudirman. Dua tempat yang memungkinkan berbagai aktivitas dilakukan.

Menyenangkan duduk dan berbincang bersama Awang, dan kawan-kawan di ruangan tak terlalu luas tapi menguarkan enerji kreatif itu. Saya merasa, sesuatu tengah bergerak di sana, sesuatu yang hidup, bernyala, dan tak hendak padam lagi.

Semacam semangat para pelaut, yang sekali layar terkembang, berpantang surut ke belakang! Semangat berkesenian, sebagai daya hidup dan kehendak batin yang harus diperjuangkan. Kegelisahan, keriangan, harapan, mungkin juga ada sedikit kesedihan dan kekecewaan, tapi semuanya menjadi rempah hangat penguat semangat.

Bagaimanapun, sebuah kota tak bisa dibiarkan kehilangan adab. Dan keindahan kesenian, jejak sejarah dan kekayaan budayanya, menjadi penanda, menjadi sukma yang akan menghidupi sebuah kota. Kota yang jelas akar dan asal-usulnya. Kota yang dikenal silsilah nenek-moyangnya.

Karena dengan demikianlah, kota, ruang hidup, ruang sosial itu menjadi berharga, menjadi berfaedah bagi penghalusan keluhuran akal budi pemukimnya. Tanjung Balai kini tak ingin lagi dikenal sebagai kota ‘smokel’, dengan para mafioso yang bergentayangan.

Ia mesti kembali ke khittahnya, seperti dipesankan sebuah lagu lama yang tak begitu jelas penciptanya, yang setiap kali, bila termangu karena rindu, dan saya terduduk takzim dengan kretek dan secangkir kopi panas, di kolong rumah Melayu di Anjungan Sumut TMII, lamat-lamat terngiang di ingatan, mata saya bisa berkaca:

Tanjung Balai
Salah satu kota di Asahan
Menurut sejarah
Balai terletak di ujung tanjung

Dipinggir kotanya
Sungai mengalir
Titinya yang panjang
Lintasan nelayan
Menambah indah kota Asahan

Penduduknya ramah
Sopan santun tegur dan sapanya
Seolah-olah kita sudah
Berkenalan lama

Duhai adik,
Jagalah nama kotamu ini
Jadikanlah ia
Agar menjadi kota yang sakti.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *