Artificial Intelligence: Teknologi Yang Menantang Masa Depan Puisi

“Pada tahun 1958, untuk pertama kalinya dibuat program komputer yang bisa main catur pada computer mainframe IBM 704, satu tahun setelah riset pertama di bidang artificial intelligence dilakukan.

Saat itu para pacatur top dunia mentertawakan proyek ini dan mengatakan tidak akan mungkin komputer bisa mengalahkan manusia dalam bermain catur.

Pada tahun 1997, 39 tahun kemudian, supercomputer IBM Deep Blue berhasil mengalahkan juara catur dunia, Gary Kasparov, pada sebuah pertarungan legendaris di New York.

Jadi komputer butuh 39 tahun sejak pertama kali belajar main catur sampai akhirnya sanggup mengalahkan manusia setingkat juara catur dunia. Kalau fenomena ini kita bawa ke dunia perpuisian, pada tahun 2016, proyek artificial intelligence Google berhasil membuat puisi.

Nah, butuh berapa lamakah ke depannya komputer belajar membuat puisi sehingga mampu ‘mengalahkan’ penyair kelas dunia?” demikian pengamat ekonomi digital dan kreatif, Riri Satria, yang juga dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia serta seorang penyair, menutup perbincangan (5/12/2019).

Salah satu aplikasi komputer yang bisa membuat puisi dapat dipergunakan secara gratis di internet adalah poemgenerator.org.uk. Kita bisa memilih berbagai bentuk puisi yang diinginkan, memasukkan beberapa parameter sebagai input, lalu klik, dan puisi pun selesai dibuat.

Penyair Yoevita Soekotjo yang diminta oleh Riri untuk melakukan eksperimen dengan aplikasi tersebut juga menyatakan kekagumannya. “Untuk input yang sama, komputer bisa memberikan beberapa alternatif puisi” demikian ungkap Yoevita. “Tetapi kalau dibaca secara seksama, puisi yang dibuat komputer ini memang sedikit kaku dan ditenggarai ada yang merupakan potongan-potongan dari puisi yang pernah ada”.

Lebih lanjut Riri menjelaskan bahwa ada dua teknologi yang mendorong terwujudnya computer-generated poetry atau puisi yang diciptakan oleh komputer ini, satu teknologi utama yaitu artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, serta satu teknologi pendukung yaitu big data.

Dengan teknologi AI, komputer bisa melakukan pembelajaran terhadap fakta berupa data yang diberikan yang dikenal dengan istilah machine learning. Dengan demikian, dia terus-menerus memperbaharui pengetahuannya. Inilah yang dilakukan komputer sebelum berhasil mengalahkan Gary Kasparov dalam pertandingan catur.

Dia terus-menerus belajar dari berbagai kekalahannya melawan para pecatur top dunia. Demikian pula dengan puisi. Setiap ada puisi yang baru, komputer akan belajar dan memperbaharui pengetahuannya tentang perpuisian.

Melalui algoritme AI, komputer akan melakukan sintesis pengetahuan yang dimilikinya dan merumuskan langkah-langkah ke depan (untuk main catur) serta memilih diksi dan menyusun bait-bait (untuk puisi).

Untuk proses itu semua, komputer membutuhkan penyimpanan data yang besar, yang mampu menyimpan data dalam volume besar, berbagai bentuk atau format, serta dapat diakses dengan cepat.

Inilah teknologi big data yang berkembang saat ini. Untuk proses pembelajaran komputernya agar bisa membuat puisi lebih baik dan lebih baik lagi, big data perpuisian Google menyimpan jutaan puisi yang ditulis sejak zaman dahulu.

“Tetapi semuanya masih dalam Bahasa Inggris, belum ada yang Bahasa Indonesia”, demikian Riri menjelaskan. “Tetapi sangat mungkin suatu saat para ahli computer science dan ahli puisi berkolaborasi untuk membuat hal sejenis dalam Bahasa Indonesia”.

“Secara generik, proses penciptaan puisi oleh manusia itu melewati empat tahapan, yaitu (1) observasi, (2) kontemplasi, (3) penyaringan emosi, serta (4) komposisi atau konstruksi. Semuanya dilakukan dengan melibatkan rasa, hati, dan pendalaman batiniah oleh manusia. Itulah yang membuat puisi memiliki daya gugah yang tinggi. Sementara itu komputer melakukan keempat proses itu secara mekanistik atau algoritmik, tentu saja tanpa melibatkan rasa atau proses batiniah apapun. Tetapi jika sudah berwujud akhir puisi, apakah bisa dibedakan mana yang diciptakan komputer, serta mana yang dibuat manusia?” demikian penjelasan Riri lebih lanjut.

“Suatu saat saya ingin melakukan eksperimen. Saya kumpulkan sejumlah kurator atau kritikus puisi, lalu saya minta mengevaluasi sejumlah puisi, separuh buatan manusia, separuh buatan komputer. Apakah bisa dibedakan? Dugaan saya mereka harusnya bisa bedakan. Tetapi pertanyaan ini tetap menggelitik saya untuk tetap melakukan eksperimen ini.” ungkap Riri yang juga dosen mata kuliah Metodologi Penelitian untuk tingkat S2 ini.

“Seorang sahabat saya, penyair Rini Intama pernah menanyakan ketika saya membawakan topik ini pada forum diskusi pada Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival 2019 seminggu yang lalu, jika dua orang menggunakan aplikasi komputer ini untuk membuat puisi, dan kebetulan mereka memasukkan input yang sama, apakah akan menghasilkan puisi yang sama? Jawabannya bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Nah, ini bisa jadi titik yang menandakan apakah puisi ini hasil ciptaan manusia atau tidak. Tetapi pada akhirnya wawasan si kurator harus luas. Tetapi jika kita bisa masuk ke big data puisi komputer tersebut, harusnya kita bisa mendeteksi ini buatan manusia atau komputer.” jelas Riri lebih lanjut.

“Proses kurasi puisi di masa depan harus dilakukan bekerja sama dengan pihak yang memiliki big data perpuisian seperti Google”, demikian Riri menegaskan.

“Kita harus membuka ruang-ruang kreativitas yang baru yang merupakan keunggulan manusia yang tak pernah bisa tergantikan oleh komputer. Inilah peluang kita untuk mempertegas mana porsi mesin dan mana porsi manusia. Semua ini menantang kita untuk menjaga marwah perpuisian lebih baik lagi”.

Ketika ditanya motivasi mengangkat isu computer-generated poetry ini, Riri menjelaskan, “Kebetulan saya berada di kedua dunia tersebut, dunia teknologi dan puisi. Saya sudah tiga kali membahas topik ini pada tiga forum diskusi atau seminar sastra yang berbeda. Pertama pada International Seminar on Synergy between Literature and Communication Science di Universitas Pakuan Bogor, bulan November 2018, lalu pada Seminar Nasional Peringatan Hari Puisi Indonesia, bulan Oktober 2019, dan terakhir pada forum diskusi Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival 2019 seminggu yang lalu.

Saya ingin berbagi kepada kawan-kawan penyair bahwa saat ini muncul teknologi yang namanya AI yang menantang masa depan perpuisian. Dengan demikian, para penyair harus mampu menjawab tantangan tersebut, bukan hanya sebatas membuat puisi, melainkan jauh lebih fundamental. Misalnya isu etika, apakah menggunakan komputer untuk membantu membuat puisi itu melanggar etika atau tidak? Apakah puisi yang dihasilkan mesin itu juga dapat disebut puisi? Inilah tantangan ke depannya.”

“Saya memperkirakan, ke depan akan terjadi konvergensi dunia computer science dan perpuisian. Kita sudah harus mampu membuka mata untuk melihat sebuah fenomena dengan perspektif lintas disiplin.”

Saat ini Riri Satria dikenal sebagai seorang pengamat ekonomi digital dan ekonomi kreatif, dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, aktivis sastra pada Yayasan Dapur Sastra Jakarta dan Sastra Bumi Mandeh, serta penyair dengan tiga buku puisi tunggal ”Jendela” (2016), “Winter in Paris” (2017), serta “Siluet, Senja, dan Jingga” (2019). Karya puisinya juga diterbitkan pada 17 buku kumpulan puisi bersama. Dia memahami dan percaya bahwa persamaan matematika, program komputer, dan puisi, memiliki kesamaan. Mereka mendeskripsikan sesuatu yang sangat kompleks menggunakan simbol-simbol yang sederhana. (red)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *