JAKARTA – Wilayah DKI Jakarta kembali menjadi sorotan setelah Pejabat Gubernurnya menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemprov Jakarta. Salah satu poin yang menimbulkan kontroversi adalah pengaturan mengenai izin poligami. Kebijakan ini dinilai diskriminatif dan bertentangan dengan prinsip kesetaraan gender serta hak asasi manusia.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menegaskan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya mencederai prinsip keadilan, tetapi juga melanggar perjanjian internasional yang telah diratifikasi Indonesia. “Praktik poligami bertentangan dengan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Kedua dokumen ini menegaskan bahwa poligami adalah bentuk diskriminasi terhadap perempuan karena menciptakan ketidaksetaraan dalam pernikahan,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa Komite HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah dengan tegas menyatakan bahwa poligami harus dihapuskan. “Poligami merendahkan martabat perempuan dan melanggar prinsip kesetaraan dalam pernikahan. Pemerintah seharusnya fokus pada kebijakan yang memberikan akses yang setara bagi perempuan, termasuk hak untuk mengajukan perceraian dan mendapatkan hak asuh anak,” tambahnya.
Regulasi yang Memicu Polemik
Pergub yang diterbitkan pada 6 Januari 2025 tersebut mengatur tata cara pengajuan izin pernikahan dan perceraian bagi ASN, termasuk syarat-syarat poligami. Kebijakan ini menuai kritik luas, terutama karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi CEDAW. Konvensi tersebut jelas melarang segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, termasuk dalam hubungan pernikahan.
Dalam Komentar Umum No. 21 CEDAW disebutkan bahwa poligami tidak sesuai dengan hak atas kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. “Konsekuensi emosional dan finansial dari poligami sering kali dirasakan lebih berat oleh perempuan. Hal ini menunjukkan betapa diskriminatifnya praktik tersebut,” jelas Usman.
Mendorong Kebijakan Pro-Kesetaraan
Sebagai negara yang telah meratifikasi ICCPR melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, Indonesia berkewajiban menjamin persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. “Pasal 3 ICCPR memerintahkan negara untuk menghapus praktik diskriminatif seperti poligami. Sayangnya, kebijakan ini justru memperburuk situasi perempuan di lingkungan ASN,” tegas Usman.
Ia juga menyoroti dampak buruk dari sulitnya akses perempuan untuk mengajukan perceraian. “Banyak perempuan terjebak dalam kekerasan rumah tangga karena tidak memiliki akses hukum yang memadai. Daripada mengeluarkan aturan yang diskriminatif, pemerintah harusnya berfokus pada solusi seperti ini,” sarannya.
Tuntutan Revisi Kebijakan
Usman Hamid menyerukan agar Pejabat Gubernur Jakarta segera merevisi aturan tersebut. “Kebijakan ini tidak hanya melanggar hak perempuan, tetapi juga memperburuk ketimpangan gender di lingkungan ASN. Pemerintah harus memastikan kebijakan yang diterapkan menghormati kesetaraan gender dan hak asasi manusia,” pungkasnya.
Kontroversi ini menunjukkan pentingnya evaluasi mendalam terhadap kebijakan pemerintah agar tidak mencederai prinsip-prinsip keadilan. Ke depan, kebijakan yang pro-kesetaraan diharapkan menjadi prioritas utama demi mewujudkan lingkungan kerja yang adil bagi seluruh ASN. (RKL)