Kabut Tanah Tembakau (8)

MARLINA menikmati makan malam bersama Hamzah dengan lahap. Ia menikmati menu Uitsmijster atau roti telor lidah lembu dan Bitterballen atau semacam perkedel isi daging sapi. Hamzah dengan lahapnya menikmati Nasi goreng dalam porsi yang besar dan juga disajikan bersama ayam goreng kecap khas restoran Tip Top.

Lamat-lamat Marlina mendegar suara riuh, orang sedang berbincang, diskusi, tawar-menawar, merayu pujaannya atau tertawa kecil. Riuhnya orang berpesta dimasa kolonial Belanda.

Bacaan Lainnya

Sayup-sayup terdengar suara musik dari Gramophone dengan syair berbahasa Belanda. Di depan pintu yang terbuka lebar, suara kaki sado yang berjalan terdengar nyaring. Beberapa opsir berjalan di Jalan Kesawan sambil bercakap-cakap.

Lagu dari Gramophone yang berjudul ‘Als De Orchideen Bloeien’ mulai jelas terdengar syairnya;
Als de orchideen bloeien,
kom dan toch terug bij mij.
Nogmaals wil ik met je wezen,
zoveel leed is dan voorbij.

Als de orchideen bloein,
ween ik haast van liefdes smart.
Want ik kan niet bij je wezen,
g’lijk weleer, mijn lieve schat.

Perlahan Marlina mengangkat kepalanya dengan menatap sekeliling, ia kagetnya bukan main. Sebab dirinya kini berada di sebuah pesta para pengusaha tembakau di tahun 1934 yang akan memberangkatkan tembakau Deli ke Bremen, Jerman.

Kali ini Marlina kecut. Mulutnya yang penuh makanan berhenti mengunyah. Ia sendiri menyaksikan peristiwa magis di depan kelopak matanya yang indah itu. Magis dan nyata. Marlina merinding.

Asap rokok cerutu memenuhi udara. Mobil Moris dengan type Saloon De Luxe melintas di jalan Kesawan. Melintas juga Tamil pedagang bandrek dengan kereta dorongnya. Harum bandreknya kemana-mana.

Sebagian pengusaha Belanda bersama pasangannya berdansa di atas lantai yang licin.

Para pengusaha Belanda sengaja memesan tempat di restoan Tip Top. Merayakan pengiriman tembakau dengan pesta sudah hal biasa bagi mereka.

Empat pemuda Belanda kebanyakan minum bir dan mabuk tidak begitu jauh dari meja Marlina. Meski dekat para pemuda mabuk itu tak melihat Marlina. Di depannya, Hamzah masih dengan lahapanya makan nasi goreng. Hamzah tidak merasakan apa-apa, kecuali suara gerimis hujan yang berubah menjadi deras membasahi kawasan Kesawan.

Seketika aroma wangi kembali merebak dari gadis cantik berpakaian Melayu yang ditemuinya saat di pesawat. Gadis itu seakan mengawalnya. Dengan bahasa batin sang gadis jelita itu mengatakan Marlina jangan khawatir.

Pelayan Belanda yang tadi datang menyodorkan menu sudah di depan Marlina lengkap dengan pesanannya. Marlina kaget bukan main. Dengan bahasa isyarat Marlina mengatakan kalau dirinya sudah kenyang. Si pelayan Belanda tersebut tersenyum dan memakluminya.

“Saya sudah memesan menu baru,” kata Marlina kepada pelayan Belanda memecah kesunyian. Pelayan tak marah, malah ia tersenyum manis dan berlalu.

Saat ia berkata dengan sang pelayan Belanda itu, pandangannya kembali ke alam nyata dimana ia duduk bersama Hamzah.

“Kamu mau pesan manu apa lagi Mar,” tanya Hamzah.
Marlina grogi.

“Hem! Tidak! Menunya enak banget,” kata Marlina.

Hamzah tidak yakin dengan ucapan Marlina. Pasti ada sesuatu. Mengapa Marlina bicara sendiri seakan ada lawan bicaranya. Hamzah panik. Tapi dia berusaha tenang di depan sosok yang baru dikenalnya. (***)

Pondok Melati,

Regardo Sipiroko

*DILARANG mengutip keseluruhan atau sebagian dari Novel Mini ini dalam cuplikan atau utuh untuk film, video, audio, tulisan atau bentuk apapun tanpa izin dari www.gapuranews.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan