JAKARTA – Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi Ramdansyah dengan tegas menolak wacana politik uang dilegalkan pada Pemilu. Hal tersebut disampaikannya saat dialog interaktif di Radio Elshinta, Kamis siang (16/5/2204).
Penegasan tersebut diungkapkan Ramdansyah merespon pernyataan anggota Komisi II DPR Fraksi PDI-P Hugua, yang mengusulkan agar praktik politik uang atau money politics dalam kontestasi pemilu dilegalkan.
Namun tetap diatur batasannya dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Hal tersebut Hugua sampaikan dalam rapat bersama KPU, Bawaslu, Mendagri, dan Komisi II DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (15/5/2024).
“Kalau secara hukum (money politik) pasti bertentangan yah. Karena sejak yang bersangkutan menyampaikan pandangannya dalam RDP kemarin itukan banyak statement atau pernyataannya di media, menolak terhadap usulan dari pak Hugua ini. Artinya justru orang melihat pada hukum dasarnya atau norma yang melarangnya dalam undang-undang,” ujar Ramdansyah yang pernah menjabat sebagai Ketua Panwaslu DKI Jakarta.
“Normanya inikan sudah ada sebelum undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu, norma terkait money politik itu sudah dilarang dan itu tidak ada kemudian pengecualian,” tegas Ramdansyah.
Bahwa kemudian peraturan KPU itu membuat pembatasan kata Ramdansyah,
supaya tidak ada kesimpangsiuran dalam kampanye atau alat peraga kampanye yang diberikan ke orang berapa sih maksimalnya awalnya Rp50 ribu sekarang jadi Rp100 ribu maksimal.
“Itu mencerminkan bahwa peraturan KPU itu berupaya untuk tanda kutip memberikan sesuatu. Kan pendidikan politik juga harus dilakukan harus kemudian alat peraga kampanye diberikan. Kalau alat peraga kampanye bernilai satu juta rupiah atau puluhan juta rupiah untuk dibagikan, maka itu bukan alat kampanye lagi,” jelas Ramdansyah yang juga Kabid Kepemiluan Majelis Nasional Korps Alumni HMI (MN KAHMI).
Adapun alat peraga kampanye itu jelas Ramdansyah untuk memperkenalkan caleg itu sendiri atau citra diri. Kalau ini kemudian peraturan KPU tidak membuat batasan sebagai turunan Undang undang pemilu yang melarang tadi maka akan terjadi hukum rimba.
Jadi benar-benar pasar bebas. Siapa yang kuat secara ekonomi, maka dipastikan dia yang akan menang
“Balik lagi, sebenarnya orang ini sadar nggak sih dengan statemennya?, Sehingga sebagai anggota komisi II DPR RI menyampaikan hal tersebut. Tetapi, saya melihat adanya kegalauannya itu kok bisa yah ada undang undang yang secara normatif itu dilarang, tapi realitasnya politik uang terjadi di lapangan,” jelas Ramdansyah.
“Sampai hari ini, yang namanya maling tetap dilarang beberapa pun jumlah uangnya. Mau dia seribu perak, seratus ribu, sejuta, satu triliun itu tetap dilarang. Karena pelarangan untuk mencuri itu adalah hukum kodrat. Jelas, dilarang oleh hukum Tuhan sebagai norma dasar. Kemudian persoalannya hari ini tetap ada, maka terjadi masalah dengan penegakan hukumnya,” imbuhnya.
Menurut Ramdansyah ada beberapa statemen yang menarik dari wacana yang dilontarkan anggota komisi II tersebut.
“Apakah dia ingin menembak kaki supaya kena jidat ?. Artinya jangan-jangan bidikannya itu ditujukan kepada penyelenggara Pemilu itu sendiri. Bawaslu yang tidak efektif melakukan langkah penindakan money politik,” ujar Ramdansyah.
Karena menurut Ramdansyah, larangan money politik itu sudah jelas ketika undang undang nomor 7 tahun 2017. Tidak lagi normanya itu semata-mata pelanggaran pidana saja yang inkrah baru kemudian masuk penjara. Tetapi, sekarang ini masuk ke ranah pelanggaran administratif juga.
Apa itu pelanggaran administratif? Pelanggaran yang kalau itu dilakukan maka dia berhak kemudian dibatalkan sebagai calon.
Kemudian ketika dia misalkan sebagai tahapan pertama terbukti misalkan kampanye dia tidak boleh ikut pada tahapan kampanye berikutnya.
Kemudian money politik pada tahap awal, pendaftaran calon misalkan dia melakukan money politik pada tahap berikutnya dia kena sanksinya. Kalau pidana kan lama, harus tunggu inkrah.
“Tetapi Bawaslu RI yang punya peran yang strategis hari ini YANG diberikan otoritas untuk memberhentikan Caleg yang melakukan money politik, apakah berani melakukan tindakan itu?,” ujarnya.
Jadi ketika respon publik terang benderang banyak menolak legalisasi politi uang, seperti yang disampaikan oleh anggota komisi II DPR, menurut Ramdansyah ternyata kita bangsa ini masih baik-baik saja.
“Seharusnya sebagai anggota komisi II DPR selaku pembuat UU atau dia mengusulkan undang-undang terkait dengan definisi atau peraturan money politik. Silahkan saja diputuskan sebagai produk DPR RI bahwa nanti kami warga masyarakat menolak (wacana melegalkan politik uang) nanti kami akan ke MK untuk membatalkan. Karena definisi tindakan money politik justru memberikan kesempatan adanya politik uang, maka perlu dilawan masyarakat,” tegas Ramdansyah.
Kalau politik uang dilegalkan, tidak terjadi pendidikan politik. Karena undang-undang pemilu itu bangunannya sinkron dengan UU lainnya, misalnya UU penyelenggara.
Juga ada yang terkait dengan UU lainnya.
“Misalkan dalam pemilu disebutkan dalam perumusan UU wajib tidak bersayap, wajib jelas tidak membuat penafsiran ganda. Maksudnya ketika anggota DPR, komisi II membuat UU pemilu produk mereka itu money politik itu jelas larangan untuk melakukan jual beli suara,” jelasnya.
Ia mengatakan, kalau kemudian aturan KPU untuk mempertegas boleh adanya nilai tertentu untuk cenderamata citra diri dalam bentuk alat peraga kampanye, maka diperkenankan.
Alat peraga kampanye untuk citra. Kalau tidak terkait dengan citra orang tersebut itu bukan alat peraga kampanye, bukan APK. Tapi money politik. Misalkan marak terjadi yang namanya pemberian 100 ribu menjelang 3 hari H pencoblosan. Apakah saat 3 hari minggu tenang terjadinya pemberian uang itu bentuk money politik? jawaban saya iyah. karena itu tidak menyangkut alat peraga kampanye.
“Karena alat peraga kampanye itu dilakukan pada saat kampanye dan menjelang kampanye. Pada tiga hari sebelum hari H yang merupakan masa tenang, pemberian uang itu itu money politik,” jelas Ramdansyah.
Lebih lanjut Ramdansyah mengatakan, kalau kita memberikan celah kalau kita biarkan seperti teori Kriminologi tentang jendela pecah yang kita biarkan, maka kemudian akan banyak maling masuk. Terjadi pencurian.
“Jangankan jendelanya yang hilang, rumah-rumahnya akan hilang. Norma kita terkait dengan pencurian atau kita sedang membahas money politik itu kemudian akan tidak ada maknanya. Karena itu kemudian saat saya melihat statement yang muncul ini kemarin kemudian di counter oleh banyak orang menolak (wacana melegalkan politik uang) , karena merasa bahwa ini adalah hukum kodrat. Ini menjadi penting,” ujar Ramdansyah.
Wacana melegalkan politik uang, memang memunculkan pro dan kontra. Buat masyarakat ini Lima tahun sekali dapat uang. Tetapi jelas Ramdansyah itu tidak melakukan pendidikan politik
“Prinsip yang namanya pemilu yang jujur dan adil nanti tidak ada. Hanya yang punya uang yang menang. Jadi jendela kaca yang pecah harus kita perbaiki. Jangan sampai wacana ini dibawa ke DPR dan dilegalkan,” pungkas Ramdansyah.
Sementara itu, Juru bicara (Jubir) PDI Perjuangan atau PDIP Chico Hakim meluruskan pernyataan yang dilontarkan Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDIP Hugua. Yang mengusulkan agar politik uang dilegalkan dalam pemilu selanjutnya dan Pilkada Serentak 2024.
Menurut dia, ucapan tersebut mengarah kepada sindiran kepada penyelenggara pemilu yang terkesan mendiamkan praktik kotor tersebut pada pesta demokrasi lalu.
“Bahwa yang bersangkutan menyampaikan pernyataan tersebut tidak lebih mengarah ke sarkasme karena yang bersangkutan muak dengan begitu maraknya praktik politik uang selama musim kampanye/tahapan Pemilu 2024 yang kasat mata dan tidak ada penindakan dan bahkan terkesan adanya pembiaran oleh pihak penyelenggara pemilu,” kata Chico kepada wartawan, Kamis (16/5/2024).