Pengunjung Haus Pengetahuan Lewat Teater
Oleh: Thompson Hs
MEDAN – Program acara Eskavasi Swarnabumi #1 yang berlangsung pada 22 – 24 Maret 2019 berlangsung dengan suatu kemeriahan tersendiri; tanpa deretan panjang papan bunga, pejabat, dan publikasi. Namun kemeriahan tersendiri yang dimaksud adalah berbagai pengunjung yang kelihatan haus untuk menjadi peserta lomba baca puisi, lomba menggambar, dan pengunjung museum yang menyimpan berbagai hasil temuan yang dilakukan para arkeolog dan tim yang menggali peran Kota Cina sebagai pelabuhan pada abad 11 – 14 hingga membentuk awal kultur di Kota Medan sekitarnya dengan kultur perkebunan dan kota yang dibangun kolonialisme sampai akhir abad ke-19.
Para pengunjung yang berdatangan ke acara Eskavasi Swarnabumi #1 kelihatan juga ingin menonton pertunjukan Teater Tiga Kota. Pada pembukaan acara satu pertunjukan teater diisi oleh Teater Rumah Mata Medan, pimpinan Agus Susilo sekaligus programer acara Eskavasi Swarnabumi #1. Penampilan dua teater berikutnya berurut pada hari kedua dan ketiga. Ketiga teater ditampilkan pada sore dan malam. Namun khusus penampilan malam hari dari pertunjukan dari Pekanbaru ditiadakan karena di lingkungan Museum Kotta Cinna ada penduduk yang meninggal. Panitia sengaja untuk menghormati situasi kemalangan di sekitarnya.
Tulisan ini secara khusus ingin memberikan kesan-kesan atas dua pertunjukan teater di luar Teater Rumah Mata Medan. Secara khusus ini terutama karena keduanya datang secara khusus pula untuk memeriahkan program acara Eskavasi Swarnabumi#1.
Saya bayangkan grup teater dari Medan akan ikut memeriahkan lagi dengan kedatangan dua tamu tersebut. Namun mungkin hanya anggota-anggota teater tertentu, seperti dari kampus STKIP Medan, yang ketahuan datang selain Porman Wilson Manalu (eks Teater Que) yang juga menjadi juri lomba baca puisi bersama dua pimpinan teater penampil dari Padang dan Pekanbaru. Ibu-ibu, anak-anak, mahasiswa, penyair, penulis, pencinta arkeologi, penduduk sekitar, dan pengunjung dari luar kota kelihatan berdatangan setiap hari untuk acara Eskavasi Swarnabumi#1. Kordinator program dan tim sebuah televisi juga hadir, terutama di hari terakhir sebelum penutupan.
Sandiwara Pekaba Teater Ranah PAC
Tiga meja diatur di area pertunjukan berlatar daun-daun nipah. Daun-daun nipah disandarkan ke tembok pemisah dengan aliran air di belakangnya. Sehingga atap rumah penduduk terdekat tidak lagi terlalu ketara, selain kabel listrik di atas. Area pertunjukan persis diantarai sisi kiri Museum Kotta Cinna dan area yang ditumbuhi pohon-pohon dengan sejumlah tempat duduk seperti di taman.
Ukuran dua meja persis hampir sama. Satu diposisikan berdiri di sebelah kiri area pertunjukan dan satu lagi diletakkan setengah terbalik. Sedangkan meja ketiga yang berukuran dua kali diletakkan di tengah bagian belakang area pertunjukan. Sebelum pertunjukan dimulai tiga aktor (Robi, Afdal, Sahrul) mengambil posisi secara berbeda; duduk di atas meja, di bawah meja, serta agak sembunyi di meja yang setengah terbalik.
Masing-masing posisi dengan memegang dulang, di meja tengah ada satu tamburin kecil diletakkan. Sedangkan di meja setengah terbalik kemudian ternyata ada sebuah alat musik, yaitu kecapi. Alat-alat lain seperti piring serta pukulan gendang dan rotan muncul kemudian mengiringi peningkatan permainan. Setelah senandung pembuka ada ketukan-ketukan tangan kepada meja. Ketiganya mengawali di meja masing-masing dan kadang ingin bermain bunyi bersama di satu meja.
Jejak tradisi dari awal pertunjukan sudah langsung terasa diperlihatkan dalam Sandiwara Pekaba Teater Ranah dari Padang. Namun dalam pengantar yang disampaikan oleh Matdison sebagai sutradara dan pimpinan Teater Ranah, garapan ini ingin mengembalikan teater kepada keasliannya pada bahasa yang purba sejak digarap mulai tahun 2014 dan sudah dipentaskan di sejumlah kota di Sumatera dan di acara perhelatan silat di Singapura. Tradisi yang terlihat terasa melalui bunyi-bunyi dan dendang yang diiringi kemudian oleh kecapi. Bunyi-bunyi tanpa iringan kecapi mengingatkan kita kepada pukulan-pukulan tangan kepada celana-komprang waktu bermain randai.
Namun jejak tradisi itu tidak ingin menggiring kita kepada suatu protes akan akal modernitas. Modernitas sengaja dihadirkan melalui dulang-kaleng, sebagaimana bisa kita beli di pasar untuk tempat menaruh teh, kopi, dan makanan sebagai sajian di warung dan tamu di rumah. Namun dulang-kaleng direduksi fungsinya untuk meneruskan interaksi dengan tamburin kecil. Yang lama bisa hilang secara bendawi. Sedangkan nilai-nilai di balik yang bendawi masih dapat digali dan diteruskan dengan benda-benda yang baru.
Di balik meja sebelah kanan area pertunjukan alat musik kecapi itu sengaja disimpan. Meja dapat seperti pintu tertutup dan terbuka. Jika tertutup, meja hanya bisa dipukul-pukul. Jika terbuka, ada sebuah harta karun yang bernilai dengan bunyi-bunyi dan cerita tersendiri. Cerita-cerita dalam Sandiwara Bakaba tidak mungkin langsung dikenal oleh semua penonton tanpa suatu pengetahuan akan simbol, bunyi, permainan, gerak silat, randai, instrumen musik yang bersumber dari tradisi Minangkabau. Bahkan tiga meja dan tiga aktor seperti representasi bilangan tiga seperti tungku nan tigo, nan tigo sajarangan.
Lalu kita dapat bertanya-tanya melalui Sandiwara Pekaba Teater Ranah PAC: apa yang gerangan yang terjadi dalam tradisi Minangkabau dari sudut pandang teater yang terus bertarung untuk Teater Indonesia? Satu jawabannya sudah memudahkan dan langsung dari Matdison. Mereka tidak mau mengikuti ketunggalan dalam persoalan Teater Indonesia, yang mungkin dari modernitasnya sudah melangkah kepada posmo-posmoan. Namun garapan mereka boleh disebut post-tradisi.
Situs Teater Selembayung
Teater Selembayung tampil di hari ketiga, sebelum penutupan acara Eskavasi Swarnabumi #1. Pimpinannya Teater Selembayung adalah Fedli Aziz, seorang jurnalis yang juga pernah menyelesaikan studinya dalam bidang sejarah. Judul yang ditampilkan adalah Situs. Proses garapan atas Situs hampir sama lamanya dengan Sandiwara Bakabar Teater Langkah. Juga perubahan jumlah aktor; dari enam aktor yang surut menjadi dua. Perubahan lainnya termasuk dalam musik pengiring, terutama pada saat penampilan sore hari di area pertunjukan Kotta Cinna.
Area pertunjukan tetap seperti di hari kedua. Daun-daun nipah yang mulai layu oleh sengatan cuaca kota Medan. Namun sesekali bunyi air dari belakang tembok pemisah masih terdengar, di tambah dekorasi panggung dengan tetesan air yang dialirkan melalui selang dari atas. Semacam penampungan air menjadi simbol laut yang di tengahnya ada level mewakili pulau. Pulau itu pernah hidup dan menjadi suatu situs karena peradaban dan manusia.
Dua aktor, satu lelaki dan satu perempuan (Aditiya Hariadi dan Azsa Nurkhairunisa) dari awal mengambil posisi di luar laut dan pulau. Si perempuan ditetesi air sebelum melahirkan. Pada waktu melahirkan geliat si lelaki sebagai simbol kehidupan yang sekian lama seperti tidak tentu arah perkembangan gerak-geriknya. Kadang dalam pertumbuhannya si lelaki seperti anak kecil lainnya yang dapat bermain petak-umpet yang sudah sengaja dibuat di tanah.
Kadang seperti melawan sesuatu yang tidak jelas tergambar sebagai pohon atau wujud di langit. Gerak-gerik lainnya dari si lelaki kebanyakan sulit diduga dan seperti keliaran yang jauh dari pusat yang dikontrol oleh gerak si perempuan sebagai ibu bumi dan peradaban. Ibu bumi sebagai awal peradaban menjadi simbol kehadiran matrilineal. Bumi mengandung lebih banyak air. Namun dituntut oleh kuasa daratan yang jauh bandingan luasnya. ‘di daratan begitu banyak yang berkuasa.
Citranya bisa digali bersama melalui hegemoni dan dominasi yang menantang keluasan air dan jumlahnya. Di dalam air ada ikan-ikan berenang dengan mahluk-mahluk yang berjuta ragamnya. Namun si lelaki suatu saat mengganggunya dengan berbagai gerak-gerik tanpa sadar. Bahkan si lelaki dapat menggangu manusia lain dari laut karena dirinya merasa raksasa yang membuat ada tsunami atau banjir. Mungkin si lelaki terbuat dari sampah-sampah yang tidak ketahuan siapa yang menyusunnya di dalam tubuhnya.
Ternyata si lelaki itu ingin bersimpuh di hadapan ibunya, si perempuan yang pernah menghadapkan bagian garbanya kepada seluruh alam sebelum melahirkan si lelaki itu. Lelaki yang kadang bisa menjadi Malin Kundang atau Si Mardan atas peradabannya. Atau lelaki yang lupa kepada ibu yang melahirkannya sebelum benar-benar bencana tiba.
Menurut Porman Wilson Manalu, pola garapan Teater Selembayung hampir sama dengan dua garapan sebelumnya. Tidak selalu mengandalkan dialog-dialog yang selama ini bersumber dari suatu naskah yang menjadi ukuran standar dalam teater modern Indonesia. Melalui acara Eskavasi Swarnabumi#1 Teater Tiga Kota menjadi penting karena memancing kehausan para penonton akan pengetahuan yang diusung teater hingga bisa didiskusikan. Saya mengira, jika teater ditonton setiap hari, maka teater tidak akan selalu sulit dicerna.
Nah, siapa yang berani bikin teater menjadi tontonan setiap hari? Pertanyaan itu baru muncul di benak setelah melihat kemeriahan di sekitar Museum Kotta Cinna. Namun pertanyaan itu tak mungkin bisa dijawab sendirian seperti permainan dalam suatu monolog yang indah, namun ternyata menciptakan jurang tertentu pada perkembangan teater sebagai bagian dari kebudayaan dan pemicu potensi pariwisata.
Tiba-tiba secara spontan saya singgah di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) sepulang dari acara acara Eskavasi Swarnabumi #1. Ada kemeriahan lainnya di TBSU sejak Selasa lalu (19.03.2019) dan berbeda secara visual dari kemeriahan di Museum Kotta Cinna. Saya sudah banyak mendengar cerita sebelum mendengar berita. (gr)