MEDAN – Siang yang cerah Minggu, (17 Maret 2019), di bawah cemara laut, di pinggiran paloh disaksikan monyet-monyet bergelantungan yang kehilangan rimbanya, Dedeng Langkat digali.
Anak-anak yang beranjak remaja di seputaran area Situs Kotta Cinna ini, belajar teater di Sabtu & Minggu. Sanggar sederhana tersebut adalah rumah kedua bagi mereka. Beberapa minggu ini mendapatkan menu kreatif tambahan untuk memperkaya bobot potensi mereka.
Dedeng Langkat, konon semakin langka didengar anak-anak millenia. Senandong khas tanah Melayu ini makin terbenam di tengah arus Robotisasi. Generasi muda bangsa ini semakin jauh dari nilai-nilai kearifan lokal para leluhur kita.
Di usianya yang senja, dia masih muda. Salah satu seniman legendaris dari Binjai yang multitalent ini, Hmyunus Tampubolon, dengan sabar membimbing anak-anak Situs Kotta Cinna, Medan untuk berdedeng.
“Bila boleh, ingin aku tiap sore duduk di sanggar ini menikmati desau angin sambil mengajari anak-anak di sini berdedeng,” ujar Hmyunus Tampubolon penuh semangat, Selasa (19/2/2019).
Binjai-Museum Situs Kotta Cinna beliau tempuh dengan mengendarai sepeda motor. Tanpa ada raut lelah di wajahnya. “Aku tidak ingin dedeng Langkat ini punah dan cucu-cucuku asing mendengarnya.” Motivasi ini yang membuat Binjai – Medan Marelan tak berjarak lagi baginya. Tentunya Teater Rumah Mata bahagia mendapat asupan nutrisi dari sang tokoh.
DEDENG YANG MULAI PUNAH
Dedeng Langkat ini menjadi salah satu menu Acara Pembukaan EKSKAVASI SWARNABUMI #1 pada 22 Maret 2019. Akan dibawakan oleh anak-anak Situs Kotta Cinna yang selama ini berproses kreatif di Teater Rumah Mata.
Belajar berdedeng menjadi salah satu program Teater Rumah Mata di 2019. Kami membuka gerbang selebar-lebarnya bagi semua yang ingin bersama kami untuk berdedeng di Hari Minggu. Silakan berlabuh ke Museum Situs Kotta Cinna.
Pimpinan Teater Rummahmata, Agus Susilo mengatakan, Dedeng sama dan Senandong, di Malaysia disebut Syair, di Tanjung balai disebut senandong Asahan, di Labuhan bilik disebut Senandong Bilah, di Langkat disebut Dedeng.
“Bahkan hampir semua suku di tanah air mempunyai seni bersyair atau bersenandung juga ada di Kalimantan, Aceh Padang dan di pulau Jawa. Ada marungut-ungut di Tapauli Selatan dan Mandailing. Dan ada juga Nembang, ada Didong dan lain lainnya,” katanya.
Pada Zaman dahulu, kata Agus, merupakan salah satu tangkai seni yang membudaya di kalangan masyarakat memuja mambang yang ada didarat maupun dilautan.
“Dedeng atau Nembang Senandong berawal dari syair yang dinyanyikan dengan penuh peresapan atau penjiwaan. Bersifat ungkapan perasaan sedih atau kecewa, suka maupun duka. Juga sebagai permohonan dan permintaan juga digunakan sebagai mantra. Memuja dan memuji mambang tersebar di daerah pesisir pantai,” paparnya.
Agus menjelaskan, Dedeng adalah nama seorang yang terdampar disebuah pulau bernama pulau ‘Tapak Kuda’, dia selalu menyanyikan syair atau lagu senandong tersebut, setelah dia meninggal, sebahagian orang menyebut nama lagunya itu Lagu ‘Si Dedeng’, Sejak tahun 1960-an sampai sekarang lagu Si Dedeng tersebut udah tidak terdengar lagi.
“Contoh Dedeng untuk mengambil madu lebah disebut Dedeng Lebah. Untuk mengambil Nira dipohon aren disebut ‘Dedeng Nira’, ada ‘Dedeng Jamu Laut’. Ada ‘Daduh’ untuk menina bobok atau mengayun kan anak,” katanya.
Agus cukup prihatin dengan mulai punahnya budaya Dedeng. Untuk itu, bersama Teater Rumahmata, ia akan menggalinya kembali.
“Ada lagi Dedeng yang juga ssudah hilang yaitu ‘Dedeng Ahooi’ yang dulu di budayakan ketika musim panen padi dikenal musim mengirik atau pesta mengirik padi saat ini sudah tidak terdengar’lagi,” ucapnya dengan prihatin.
Penamapilan Teater Rumahmata yang menampilan ‘Dedeng Langkat’ bisa dinikmati dalam kegiatan EKSKAVASI SWARNABUMI #1 (Teater Tiga Kota di Kotta Cinna) yang akan di pada 22-24 Maret 2019 di Situs Kotgta Cinna, Medan, Sumatera uata. (***/gr)