Foto-foto:Â JOEL THAHER
Syamsuar Sutan Marajo  kelahiran Saniangbaka, Solok, Sumatera Barat, 1 Juli 1948 ini dikenal sebagai Maestro Tari Tan Bentan yang merupakan tari tradisi yang berasal dari Saniangbaka, Sumatera Barat. Tari Tan Bentan bercerita tentang cuplikan kisah perebutan Puti Bungsu oleh Imbang Jayo dan Cindua Mato. Karena kesaktiannya, Cindua Mato berhasil mengalahkan Imbang Jayo. Tari ini terdiri dari lima bagian yang merupakan peristiwa perseteruan antara Cindua Mato dengan Imbang Jayo, Pado-pado, Dendang-dendangan, Adau-adau, Din-din dan Jundai.
Pertama kali jatuh cinta pada dunia tari tradisi saat menyaksikan sebuah perhelatan perkawinan di usia 12 tahun. Ketika itu, Tari Piring membuat hatinya berdebar-debar. Gerakan-gerakan bertenaga dan ritmis yang diperagakan para penar, terus tertanam dimatanya. Setelah itu, ia meminta ayahnya agar didaftarkan menjadi murid Jamin Manti Jo Sutan tau yang biasa dipanggil Manti Menuik, maestro seni tradisi, yang terkenal sebagai pakar Tari Piring serta Tan Bentan dan pemimpin kelompok Lawang Guci.
Ketika itu untuk menjadi seorang murid, seseorang di haruskan melalui serangkaian ritual. Maka ritual penerimaan murid pun di mulai. Sukaia (tudung pandan berbentuk kerucut) dihadapkan. Isinya, segantang beras, seikat sirih dan pisang, sesuai dengan adat ritual penerimaan murid yang berlangsung pada saat itu. Sesudah itu barulah latihan panjang dimulai. Tetapi memang dasar berbakat, setahun kemudian ia sudah mahir membawakan Tari Piring. Namun, untuk belajar Tari Adok dan Randai Liau, ia mesti menunggu umur 18 tahun. Karena memang ada gerakan tari ini yang mesti menunggu untuk ‘cukup umur’ terlebih dahulu.
Setelah itu, berkat kerja keras dan semangat yang tak kenal lelahnya, membuatnya menjadi andalan kelompok tradisi yang bermarkas di Saniangbaka, Solok ini. Manti Menuik bahkan mengambilnya jadi rang sumando, agar kesenian tradisi ini tidak hilang. Dari Manti Menuik, ia tidak hanya mendapat jenis tari, namun juga ajaran-ajaran luhur Minangkabau. Dan pengajaran tari ini, kadang bersama, kadang sendiri, dalam waktu tak tentu dan di tempat yang tidak terduga.
Ia merupakan murid generasi ketiga bagi Manti Menuik, menunjukan keseriusannya dalam mengeluti seni tari tradisi dengan belajar dengan tekun dan penuh disiplin. Ketika murid lain melangkah setengah, ia penuh. Yang lain menari setengah hati, ia menyentakan bahu sampai berderak ke hati penonton. Sehingga tidak heran ketika usianya bertambah dewasa, peran gurunya pelan-pelan di gantikan. Baik dalam melatih ataupun ketika memberikan ajaran tentang seni tradisi. Setelah kepergian gurunya, ia pun mendirikan sanggar baru yang bernama Singo Barantai. Melalui sanggarnya itu, 45 anak-anak dan remaja dilatihnya dengan tetap membawa ajaran sang maestro Manti Jo Sutan.
Meski ia yakin regenerasi seni tradisi akan tetap terjaga, namun ada satu yang masih meresahkan dirinya, yakni soal keahlian memukul adok. Karena sampai saat ini tak banyak yang benar-benar ahli dalam memainkan alat musik gendang ini. ia berharap semua anak-anak yang belajar di sanggar yang dipimpinnya agar bisa menjadi penerus yang mahir dalam memainkan alat musik ini.
Pada Desember 2013, ia tampil dalam pargelaran Maestro! Maestro! #8, bersama sejumlah maestro tari tradisi lainnya, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Dalam pementasan yang di gagas oleh Dewan Kesenian Jakarta ini, tari Tan Bentan dibawakannya dalam dua versi yang menandai masuknya Islam di tanah Minangkabau. Versi paling klasik adalah ketika tokoh Puti Bungsu dibawakan oleh penari laki-laki yang berkostum perempuan. Sementara setelah masuknya Islam yang tidak menganjurkan laki-laki berpenampilan seperti perempuan, tokoh Putri Bungsu dibawakan oleh penari perempuan. (Dari Berbagai Sumber/www.tamanismailmarzuki.co.id)