Oleh Budi Hatees
Tak banyak yang tahu siapa Sutan Pangurabaan Pane. Tak banyak referensi pernah dibuat tentang dirinya. Kalau pun nama Sutan Pangurabaan Pane pernah disebutkan, nama itu pasti muncul ketika kita membaca biografi para tokoh nasional: Sanusi Pane, Armijn Pane, dan Lafran Pane. Ketiganya adalah anak-anak dari Sutan Pangurabaan Pane.
Pada masa hidupnya, Sutan Pangurabaan Pane telah merambah jalan yang kemudian dilanjutkan oleh ketiga anak-anaknya. Sutan Pangurabaan Pane adalah sosok yang anadrol for sale serbabisa. Dia seorang guru, penulis, wartawan, penceramah agama, intelektual, pemikir kebudayaan, tokoh pergerakan nasional, dan sastrawan yang andal.
Sebagai tokoh pergerakan nasional, dia menentang kolonialisme Belanda meskipun sempat bekerja sebagai klerek (juru tulis) bagi Belanda. Dia adalah orang yang menjembatani komunikasi antara Belanda dengan Sisingamangaraja XII pada masa Perang Toba ke-2. Dia menjadi sosok yang mendapat tugas dari Belanda untuk berhubungan dengan Si Singamangaraja XII melalui surat, karena dia bisa banyak bahasa: Batak, Belanda, Melayu, dan Arab.
Kedekatannya dengan Belanda karena dia alumni Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Padangsidempuan, anak didik langsung dari Charles Adrian van Ophuijsen, seorang ahli bahasa. Dia belajar bahasa dan mengenal sastra dari membaca buku-buku Willem Iskander, seorang guru, sastrawan, dan pendiri Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Tano Bato—cikal-bakal Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Padangsidempuan—yang menulis dan menerbitkan buku Si Bulus-Bulus, Si Rumbuk-Rumbuk. Buku puisi berbahasa Batak ini menginspirasi Sutan Pangurabaan Pane, dan kelak dia menjadi penerus perjuangan Willem Iskander yang menulis karya sastra dalam bahasa Batak.
Sebagai seorang sastrawan, nama Sutan Pangurabaan Pane tidak tercatat dalam peta kesusastraan nasional. Tidak lain karena penetapan sejarah sastra di Indonesia yang ditetapkan berdasarkan priodesasi ciptaan HB Jassin, lebih mengedepankan para sastrawan dan karyanya yang lahir masa Balai Pustaka. Sejarah sastra moderen Indonesia diawali dari buku-buku sastra yang diterbitkan Balai Pustaka sekitar tahun 1920-am.
Balai Pustaka adalah lembaga yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda untuk menguasai pengetahuan rakyat jajahan dengan menerbitkan buku-buku yang menjadi bacaan wajib di lingkungan pendidikan formal ciptaan kolonialisme Belanda. Buku-buku itu yang diterbitkan Balai Pustaka harus berbahasa Melayu, dan para sastrawannya harus orang yang bersedia karyanya disesuaikan dengan kehendak Pemerintah Hindia Belanda.
Meskipun Sutan Pangurabaan Pane menulis karya sastra berupa roman, dan karya pertamanya, Toelbok Haleon, muncul pada tahun 1916 di Kota Padangsidempuan, tapi dia tidak pernah masuk dalam priodesasi sastra ciptaan HB Jassin. Penyebabnya, dia menulis dalam bahasa Batak, dan karena itu dia tidak pernah menjadi penulis yang didukung oleh Balai Pustaka.
Namun, tanpa Balai Pustaka, dia menerbitkan romannya yang bercerita tentang semangat hidup masyarakat yang tidak kenal menyerah dalam menemukan masa depannya dengan bumbu percitaan para tokoh yang tidak mempersoalkan perihal pertentangan adat-istiadat. Roman Toelbok Haleon membuat nama Sutan Pangurabaan Pane dipuja oleh masyarakatnya, dan dia dikenal luas sebagai penulis cerita yang karya-karya barunya akan selalu ditunggu. Popularitas Sutan Pangurabaan Pane sebagai penulis karya sastra membuat namanya dikenal luas, dan dia kemudian menjadi aktivis pergerakan nasional yang menentang kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.
Popularitas Toelbok Haleon mendapat perhatian serius dari Pemerintah Hindia Belanda, yang kemudian mendorong Merari Siregar untuk menulis roman tandingan yang diniatkan melemahkan mentalitas budaya masyarakat. Roman berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, yang mengambil setting kejadian di Kota Sipirok atau di bekas wilayah Afdeling Mandaling an Enkola—yang juga menjadi setting dalam novel Toelbok Haleon—berisi kisah hidup manusia yang menderita karena ditentang oleh adat yang berlaku.
Merari Siregar lahir di Desa Bunga Bondar, Kecamatan Sipirok, pada 13 Juli 1896. Ayahnya seorang pendeta di Bunga Bundar, dan bekerja untuk Pemerintah Hindia Belanda dan dipindahkan ke Batavia. Sebagai anak pendeta, Merari Siregar mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Hindia Belanda untuk mengenyam pendidikan formal di Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Gunungsahari, Jakarta. Lulus dari Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Gunungsahari, dia bekerja sebagai guru bantu di Medan. Berstatus sebagai guru bantu, Merari Siregar menulis novel Azab dan Sengsara yang diniatkan untuk memberi gagasan berbeda dari apa yang ditulis Sutan Pangurabaan Pane dalam novel Toelbok Haleon.
Sutan Pangurabaan Pane lahir di Desa Pangurabaan, Kecamatan Sipirok, pada 1885. Dia senior Merari Siregar, dan sama-sama berasal dari Kecamatan Sipirok, tetapi memiliki pemikiran berbeda dalam melihat penjajahan oleh Belanda. Sutan Pangurabaan Pane pernah bekerja sebagai juru tulis Pemerintah Hindia Belanda di masa Perang Toba yang ditandai dengan pemberontakan oleh Si Singamangaraja XII. Saat itu dia masih pelajar di Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Padangsidempuan, dan Pemerintah Hindia Belanda membutuhkan orang yang bisa menjembatani mereka untuk berhubungan dengan Si Singamangaraja XII.
Charles Adrian van Ophuijsen, direktur Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Padangsidempuan, memiliki murid yang menguasai berbagai bahasa: Belanda, Melayu, Arab, dan Batak. Murid itu bernama Sutan Pangurabaan Pane, dan Belanda menugasinya untuk berkomunikasi dengan Si Singamangaraja XII untuk keperluan Perang Toba. Tapi, menjadi juru bicara Belanda merupakan penyesalan dalam hidup Sutan Pangurabaan Pane, apalagi setelah tahu dampak Perang Toba terhadap Si Singamangaraja XII. Sejak itu, dia memutuskan tidak berpihak kepada Belanda.
Lulus dari Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Padangsidempuan, Sutan Pangurabaan Pane menjadi guru dan dipindahkan ke Muara Sipongi untuk menghidupkan sekolah formal yang baru dibangun Belanda. Di Muara Sipongi, dia melihat penderitaan rakyat dan hati kecilnya memberontak. Di Muara Sipongi inilah lima orang anaknya lahir, termasuk Sanusi Pane dan Armijn Pane. Melihat penderitaan masyarakat Muara Sipongi yang dijajah Belanda dan semua hasil budidaya masyarakat dijarah, Sutan Pangurabaan Pane memutuskan meninggalkan profesi sebagai guru.
Dia kemudian menjadi wartawan, dan pindak ke Sibolga. Di Sibolga, dia mengembangkan usaha percetakan dan penerbitkan surat kabar. Dia dikenal sebagai tokoh pers yang mengembangkan surat kabar di wilayah Keresidenan Tapanuli. Agar surat kabar yang diterbitkannya menjadi bacaan masyarakat sekaligus alat perjuangan, Sutan Pangurabaan Pane menulis cerita bersambung berjudul Toelbok Haleon, yang selalu ditunggu pembaca edisi terbarunya.
Novel yang ditulis Sutan Pangurabaan Pane tak banyak, hanya Toelbok Haleon (Jiwa yang Kemarau). Novel ini awalnya cerita bersambung di surat kabar yang terbit dan menyebar di semua wilayah Afdeling Padangsidempuan. Setiap hari, saat menulis lanjutan ceritanya, Sutan Pangurabaan Pane merangkum semangat perjuangan antikolonial yang disampaikan pembaca. Dengan gaya bercerita yang hipnotis, Sutan Pangurabaan Pane mengejek Belanda. Gagasannya cerdas, sangat Timur, dan kelak anaknya, Armijn Pane, meneruskan gagasannya tentang lokal wisdowm.
Armijn Pane dikenal sebagai penulis novel Belenggu, novel moderen tentang perempuan moderen. Sebetulnya, Sutan Pangurabaan Pane sudah memulai menampilkan sosok perempuan moderen yang berjuang dalam novel Toelbok Haleon, namanya Sitti Bajanni.
Sitti Bajjani ini sosok perempuan yang mencari laki-laki yang dicintainya, Lilian Lolosan, dan menyatakan cintanya kepada laki-laki itu. Di zaman itu, tahun 1919, belum ada perempuan yang menyatakan cinta kepada laki-laki. Baru Sutan Pangurabaan Pane yang memunculkan tokoh seperti itu, dan Armijn Pane hanya meneruskan apa yang dibuat ayahnya.
Armijn Pane di Muara Sipongi saat Sutan Pangurabaan Pane menjadi kepala sekolah di sana. Di kota ini lima anaknya lahir, tiga perempuan dan dua laki-laki (Santai Pane dan Armijn Pane). Kelak, anak bungsunya, Lafran Pane, lahir dan kemudian dikenal luas sebagai pendiri HMI (Himpunan Mahasiswa Indonesia).
Apa yang dilakukan oleh tiga anak Sutan Pangurabaan Pane (Sanusi Pane, Armijn Pane, dan Lafran Pane) adalah apa yang telah dimulai olehnya. Semua bidang yang digeluti Sutan Pangurabaan Pane, akhirnya menjadi bidang yang digeluti oleh anak-anaknya.
Sanusi Pane dan Armijn Pane, misalnya, mengawali karier mereka sebagai pengelola majalah sastra, yang kemudian dikenal luas sebagai sastrawan. Begitu juga dengan Lafran Pane, memulai kariernya sebagai guru, yang kemudian masuk wilayah politik dan dikenal sebagai pendiri HMI. Namun, dibandingkan anak-anaknya, Sutan Pangurabaan Pane merupakan sosok yang konflit meskipun lebih dominan sebagai guru.
Jiwa seorang guru melekat di tubuhnya. Guru dalam hal mengajari, dan dia tetap memilih mengajari masyarakat meskipun sudah bukan lagi terdaftar sebagai guru di sekolah formal. Sejak novelnya Toelbok Haleon terbit, dia banyak menulis buku pelajaran yang menjadi pelajaran wajib di sekolah-sekolah formal. Dia menulis buku pelajaran Bahasa Batak, Pelajaran Menulis Huruf Batak, Pelajaran Adat Istidat Batak, dan sejumlah buku agama.
Tapi, tak banyak yang mengetahui Sutan Pangurabaan Pane. Tidak banyak yang mengingatnya. (***)