JAKARTA – Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) akan terus mengawal pintu-pintu perlintasan komoditas perikanan dari dan ke Indonesia. Selain untuk mendukung kebijakan ekspor, penjagaan ini juga untuk mencegah sekaligus menindak penyelundupan, terutama benih bening lobster (BBL) atau benur.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di bawah komando Menteri Sakti Wahyu Trenggono, telah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 17 Tahun 2021. Regulasi tersebut merupakan bentuk keberpihakan Menteri Trenggono terhadap budidaya lobster dalam negeri sekaligus memerangi penyelundupan benur.
“Kita akan terus memantau dan mengawasi secara ketat, jadi jangan coba-coba menyelundupkan BBL,” kata Kepala BKIPM, Rina di Jakarta, Rabu (18/8/2021).
Rina memastikan, melalui Pusat Karantina Ikan (Puskari), jajarannya terus melakukan edukasi, sosialisasi kepada semua masyarakat, khususnya para nelayan dan pelaku usaha budidaya lobster untuk mencegah terjadinya penyelundupan BBL. BKIPM juga memperketat pengawasan jalur di pelabuhan, bandara dan perbatasan laut.
Sementara sinergitas BKIPM dengan TNI-Polri, Bea Cukai dan aparat lainnya, juga terus ditingkatkan. Hal ini terlihat dari 52 kasus yang berhasil digagalkan dalam periode 23 Desember 2020 sampai dengan 15 Agustus 2021. Kasus-kasus ini tersebar di 13 lokasi meliputi Jambi, Jawa Timur, Palembang, Banten, Jakarta, Batam, Mataram, Lampung, Kepulauan Riau, Bandung, Pangkal Pinang, Bengkulu, Cirebon.
Dalam kesempatan ini, dia menegaskan penggagalan penyelundupan ini adalah bentuk komitmen BKIPM dalam mengawal tumbuhnya budidaya lobster dalam negeri.
“Ini bukti komimen kita untuk budidaya lobster dalam negeri, kita cegah penyelundupan benurnya,” tegasnya.
Total benur yang diselamatkan dari kasus-kasus tersebut mencapai 3.873.775 ekor dengan rincian, BBL jenis pasir sebanyak 3.710.838 ekor dan BBL jenis mutiara sebanyak 162.937 ekor, dengan perkiraan nilai BBL yang diselamatkan sebesar Rp159.932.385.000,-.
Kasus-kasus tersebut tersebar di sejumlah daerah di Indonesia. Rina merinci, kasus terbanyak berasal dari Jambi dengan 11 kasus. Kemudian Surabaya 9 kasus, Merak 5 kasus, Jakarta dan Palembang masing-masing 4 kasus. Modus yang digunakan oleh para pelaku penyelundupan diantaranya dengan memalsukan data dalam dokumen penerbangan atau menyamarkan BBL dengan mencampurkan BBL dengan sayuran.
“Sisanya ada dari Batam, Mataram, Lampung, dan sebagainya,” katanya.
Karenanya, Rina mengingatkan para pelaku penyelundupan untuk menyetop aksinya. Dia pun menyebut ancaman pidana dalam tindak kejahatan ini. Berdasarkan Pasal 92 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah dengan UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia melakukan usaha perikanan yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (Satu miliar lima ratus juta rupiah)”.
Kemudian Pasal 87 UU Nomor 21 tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (Tiga miliar rupiah).
Serta Pasal 88 UU Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (Dua miliar rupiah).
“Jadi kami ingatkan, pidana menanti jika terus beraksi menyelundupkan benih,” tegasnya. (red)