Sejarah Pidori di Tapanuli bagian Selatan (Selesai)

Foto Ilustrasi: perang Paderi. (ist)

*Oleh Budi Hatees

DALAM Angkola Batak Kinship Through its Oral Literature, disertasi Susan Rodgers untuk mendapat gelar Ph.D dari University of Chicago tahun 1978, disebutkan ciri utama yang sangat dominan dalam komunitas masyarakat beradat Angkola adalah kehidupan mekanistis mereka yang sarat akan perasaan kebersamaan, demokrasi, kerjasama, interaksi sosial yang intens, kearifan lokal, serta kedamaian yang mengejawantah dalam ragam seremoni adat, dan semuanya tertera begitu jelas dalam filsafat hidup Dalihan Na Tolu.

Bacaan Lainnya
Foto Ilustrasi: perang Paderi. (ist)
Foto Ilustrasi: perang Paderi. (ist)

Peradaban masyarakat Batak beradat Angkola dan Mandailing sudah tinggi, bukan masyarakat barbar yang kolot. Tingginya peradaban masyarakat ini sudah dibeberkan para antropolog dalam sejumlah catatan mereka yang dikirim kepada Gubernur Jenderal di Batavia. H.N. van der Tuuk, seorang antropolog asal Amsterdam, yang telah mempelajari bahasa dan aksara masyarakat melalui karya sastra dan mitologi— mengirimkan catatan-catatannya tapi diabaikan Pemerintah Belanda, dan tetap memainkan politik kolonialisme ekstraktif yang hanya mengeruk kekayaan alam dan menghancurkan elite local beserta kepemimpinannya.

Upaya itu menemukan jalan buntu, meskipun Belanda tidak berhadapan dengan tokoh-tokoh heroik di lingkungan masyarakat beradat Angkola dan Mandailing sebagaimana pernah berhadapan dengan Tuanku Imam Bonjol.

Belanda berhadapan dengan para panusunan bulung (para pendiri kampong) dari marga-marga yang tumbuh di lingkungan masyarakat setempat. Adu domba itu sia-sia, kemudian mendorong Pemerintah Hindia Belanda, dimasa kekuasaan para kontroleur, menciptakan fiksi lain yang lebih dasyat berupa menyerang Si Raja Batak, Si Singamangaraja. Mangaraja Onggang Parlindungan (MOP) Siregar, yang didukung oleh kontroleur Pemerintah Hindia Belanda untuk wilayah Keresidenan Tapanoeli, menciptakan sebuah novel panjang yang kemudian diberi judul Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833.

Baca Juga: Sejarah Pidori di Tapanuli bagian Selatan (3) http://www.gapuranews.com/sejarah-pidori-di-tapanuli-bagian-selatan-3/

Novel panjang yang dibungkus dengan dusta sebagai karya ilmiah itu, menceritakan tentang Pongky Nangolngolan sebagai anak haram hasil hubungan incest Si Singamangaraja yang kelak menghancurkan Si Raja Batak. Kisah fiksi ini berangkat dari mitos yang diyakini masyarakat marga Siregar hingga kini, yang menyebutkan bahwa Kerajaan si Raja Batak sebelum Sisingamangaraja I, dibangun dan didirikan oleh Sori Mangaraja Siregar.

Sebuah pengkhianatan dilakukan pejabat kerajaan bermarga Sinambel, yang kemudian membunuh Sori Mangaraja Siregar, dan para pengikutnya. Namun, para pengikut Sori Mangaraja Siregar berhasil melarikan diri ke wilayah Selatan, ke daerah yang kemudian dibuka dan berkembang sebagai Sipirok. Masyarakat marga Siregar membangun kerajaan baru, yang kemudian berkembang menjadi tiga kerajaan yang menguasai tiga daerah: Siregar Bagas Nagodang, Siregar Baringin, dan Siregar Parausorat.

Anak keturunan kerajaan marga Siregar ini punya dendam masa lalu terhadap Sisingamangaraja. Dendam yang akhirnya terbalaskan lewat sosok Pongky Nangolngolan, yang berhasil membunuh Sisingamangaraja VIII dalam duel tanding satu lawan satu. Tapi, kematian Sisingamangaraja VIII ini hanya terjadi dalam logika fiksional ciptaan MOP Siregar. Jika Sisingamangaraja VIII betul-betul fakta sejarah sebagai raja yang mati dibunuh, sudah tentu kerajaannya akan diambil-alih mengingat kerjaan itu adalah hak dari marga Siregar yang dikhianati. Nyatanya, Raja Sisingamangaraja tetap bertahta, bahkan sampai pada kekuasaan Sisisngamangaraja XII.

Jadi, dendam marga MOP Siregar terhadap Sisingamangaraja—jika dendam itu betul—tidak seharusnya menjadi alasan untuk memutarbalikan sejarah tentang pidori. Padahal, pidori atau padri, mestinya, tidak boleh dilupakan masyarakat yang ada di Tabagsel, sejarah mencatat bahwa mereka yang memperkenalkan system perekonomian modern kepada masyarakat sehingga paham system perdagangan dan tahu cara menambang. (Selesai/gr)

Foto: Budi Hatees (ist)
Foto: Budi Hatees (ist)

*Biografi Ringkas

BUDI HATEES, lahir sebagai Budi P. Hutasuhut di Sipirok, Tapanuli Selatan, pada 3 Juni 1972. Menulis karya cerpen, sajak, novel, dan esai-esai tentang masalah social dan kebudayaan yang dipublikasikan di Kompas, Koran Tempo, majalah Tempo, Horison, Media Indonesia, Republika, Suara Pembaruan, Koran Sindo, dan lain sebagainya.

Pernah bekerja sebagai dosen dan mengampu mata kuliah Ilmu Jurnalistik, Ilmu Komunikasi, dan penulisan kreatif di Universitas Lampung, Universitas Bandar Lampung, dan Universitas Saburai. Pernah bekerja sebagai wartawan dan menjadi konsultan media internal di lingkungan pemerintah daerah, lembaga Negara, dan sejumlah lembaga swasta hingga saat ini.

Kini menetap di Kota Bandar Lampung, terlibat dalam sejumlah penelitian tentang masalah social dan kebudayaan dalam program pemerintah-pemerintah daerah.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan