*Oleh Budi Hatees
SETIAP orang yang memahami betul bagaimana sebuah karya ilmiah ditulis, bahkan dengan teknik yang sangat tak ilmiah sekalipun pada masa itu seperti dilakukan Clifford C.Geertz ketika membicarakan antolopologi masyarakat Jawa dalam bukunya the Religion of Java (1960) dengan teknik melebur ke dalam masyarakat yang ditelitinya, pastilah tidak akan menjadikan Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833 sebagai buku ilmiah apalagi rujukan untuk membicarakan realitas antropologi budaya masyarakat yang hidup di wilayah Tabagsel.

Meskipun judul buku MOP Siregar ini terkesan ilmiah dan berhasrat merekam teror penganut mazhab Hambali yang wahabbian, nyaris tidak ada fakta sejarah yang menguatkan isi buku ini sebagai sesuai dengan realitas. Sebab itu, ketika Basyral Hamidy Harahap menerbitkan buku lain untuk melengkapi fakta-fakta sejarah tentang teror wahabbi, kesan yang ditangkap justru budayawan Mandailing itu hendak menunjukkan bahwa dirinya ingin menjadikan buku fiksi fantasi MOP Siregar itu sebagai buku ilmiah yang layak jadi rujukan.
Bersamaan dengan terbitnya Greget Tuanku Rao, Basyral Hamidi Harahap kemudian mengajukan gugatan atas gelar Pahlawan Nasional yang diberikan pemerintah kepada Tuanku Imam Bonjol. Artinya, berpedoman pada fakta-fakta yang ada dalam novel fantasi karya MOP Siregar, Basyaral Hamidy Harahap menerbitkan buku Greget Tuanku Rao dan menyebut Tuanku Imam Bonjol sebagai otak dari pembunuhan massal kaum wahabbi di wilayah Tabagsel kurun 1816-1833.
Baca Juga :Â Sejarah Pidori di Tapanuli bagian Selatan
http://www.gapuranews.com/sejarah-pidori-di-tapanuli-bagian-selatan-1/
Usaha Basyaral Hamidy Harahap ini tidak sukses menggugat gelar Pahlawan Nasional Tuanku Imam Bonjol. Budaya Mandailing ini, dengan buku Greget Tuanku Rao, akhirnya menjadi model ilmuwan pembohongan yang pada akhirnya membodohi diri sendiri. Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833 bukan karya paling representatif yang membicarakan realitas antropologi penganut kebudayaan Batak di Sumatra Utara. Posisi buku ini tidak bisa disejajarkan dengan buku Clifford C. Gertz tentang Jawa, The Religion of Java (1960) atau buku klasik Williem Marsdem tentang Pulau Sumatra, the History of Sumatra (1781).
Pada masa hidupnya, Buya Hamka, ulama dan sastrawan, pernah mendebat semua isi buku itu dengan menerbitkan buku Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Raoâ€: Bantahan terhadap tulisan-tulisan Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan. Sebagai orang yang tak asing dengan dunia fiksi, Hamka yang menulis novel Tenggelamnya Kapan van Derwijk, mampu mementahkan semua hal yang disebut fakta dalam Tuanku Rao menjadi sesuatu yang fiksional. Hampir tidak ada pembelaan dari MOP Siregar atas bantahan Buya Hamka hingga akhir hayatnya, dan buku Tuanku Rao itu tidak pernah dipakai para ilmuwan sebagai referensi untuk membicarakan masyarakat Batak di Tabagsel.
Hanya Basyaral Hamidy Harahap yang tetap membacanya dan menjadikannya rujukan, lalu mendukung penerbitan ulang buku ini beberapa tahun lalu. Meskipun, kontroversi tentang buku ini tidak lagi seperti di masa awal terbit, di tahun 1960-an. (Bersambung/gr)
*Biografi Ringkas
BUDI HATEES, lahir sebagai Budi P. Hutasuhut di Sipirok, Tapanuli Selatan, pada 3 Juni 1972. Menulis karya cerpen, sajak, novel, dan esai-esai tentang masalah social dan kebudayaan yang dipublikasikan di Kompas, Koran Tempo, majalah Tempo, Horison, Media Indonesia, Republika, Suara Pembaruan, Koran Sindo, dan lain sebagainya.
Pernah bekerja sebagai dosen dan mengampu mata kuliah Ilmu Jurnalistik, Ilmu Komunikasi, dan penulisan kreatif di Universitas Lampung, Universitas Bandar Lampung, dan Universitas Saburai. Pernah bekerja sebagai wartawan dan menjadi konsultan media internal di lingkungan pemerintah daerah, lembaga Negara, dan sejumlah lembaga swasta hingga saat ini.
Kini menetap di Kota Bandar Lampung, terlibat dalam sejumlah penelitian tentang masalah social dan kebudayaan dalam program pemerintah-pemerintah daerah.