[dropcap color=”#888″ type=”square”]S[/dropcap]EBUAH situs megalitikum dalam hamparan yang cukup luas ditemukan di kawasan Gunung Padang, Cianjur. Beberapa penemuan memperkuat dugaan bahwa sebuah peradaban yang cukup maju, ribuan tahun yang silam, pernah berkembang di daerah ini, lalu ditenggelamkan oleh banjir besar ketika permukaan es di kutub utara mencair.
Prabu Siliwangi, maharaja Kerajaan Sunda, ingin membuktikan kesaktiannya sebagai titisan Dewa, yang bisa memutih menghitamkan, yang bisa berbuat apa saja. Kepada rakyatnya Prabu Siliwangi bersabda bahwa ia mampu membangun istana dalam semalam. Maka dipilihlah sebuah daerah pebukitan, yang dalam bayangan Prabu Siliwangi sangatlah tepat untuk menjadi pusat pemerintahan. Dibantu oleh bala pasukannya, termasuk para jin dan makhluk gaib lainnya, maka Prabu Siliwangi pun bekerja secepat kilat sepanjang malam. Balok-balok batu besar disusun. Seluruh pasukan bekerja tak kenal lelah. Namun Dewata berkehendak lain. Istana belum selesai, ayam jantan berkokok bersahut-sahutan, Fajar mulai menyingsing di ufuk Timur. Prabu Siliwangi sangat kecewa. Dewata rupanya tak berkenan mengabulkan keinginan Sang Raja. Karena kecewa Prabu Siliwangi dan pasukannya meninggalkan daerah tersebut dan membiarkan balok-balok batu berhamparan begitu saja.
Cerita semacam inilah yang hidup di kalangan masyarakat. Sejak berbilang tahun yang lalu, masyarakat memang sudah biasa menyaksikan balok-balok batu berserakan di antara balokan-balokan yang tersusun rapi membentuk undakan di kawasan situs megalitikum Gunung Padang, 50 kilometer dari pusat kota Cianjur, Jawa Barat. Bebatuan itu menutupi punden berundak, membentuk bangunan yang terdiri dari lima teras. Bebatuan terbanyak berserakan di pundak punden. Entah mengapa, penduduk setempat menyebut batu-batu yang terletak di teras itu dengan nama-nama Islami, misalnya; ada yang disebut meja Kiai Giling Pangancingan, kursi Eyang Bonang, tempat duduk Eyang Swasdana, sandaran batu Syech Suhaedin, alias Syech Abdul Rusman, tangga Eyang Syech Marzuki dan batu Syech Abdul Fukor.
Laporan resmi tentang batu-batu purba itu sebenarnya mulai diketahui lewat laporan Rapporten van de Oudheid-Kundigen Dienst tahun 1914, kemudian dilaporkan pula oleh NJ Krom tahun 1949. Tahun 1979 penilik kebudayaan setempat disusul oleh Ditlinbinjarah dan Puslit Arkenas melakukan peninjauan ke daerah situs. Sejak saat itulah penelitian terhadap situs Gunung Padang mulai digencarkan, baik dari sudut arkeologis, historis, geologis, dan lain-lain.
Piramida Kuno
Masyarakat sama sekali tidak menyangka bahwa dibalik cerita rakyat tentang Prabu Siliwangi atau berbagai legenda yang dikaitkan dengan tokoh-tokoh agama itu sebenarnya tersimpan rahasia peradaban masa silam yang sungguh tak terbayangkan. Salah satu kejutan terungkap setelah dilakukan pengeboran oleh Tim Katastropik Purba. Bahwa di bawah undakan itu, ternyata ada atap, lorong dan material pasir, terkubur 26 meter di bawah bebatuan. Dugaan itu hampir sama dengan hasil pemetaan geolistrik, bahwa apa yang terlihat di luar adalah bagian atap sebuah bangunan berbentuk piramida. Dan dugaan itu hampir mendekati kebenaran. Hal itu disampaikan Staf Presiden Andi Arief dalam International Conference on Indonesian Studies yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia di Sanur, Bali. Maka tahap berikutnya akan dilanjutkan ke tahap eskavasi
Hasil yang lebih kurang sama juga ditemukan di situs Gunung Sadahurip, tak jauh dari Gunung Padang. Oleh karena itu memang dibutuhkan penelitian-penelitian yang cermat serta berbagai penelusuran arkeologis di kedua situs tersebut. “Hasil geolistrik di kedua tempat itu hampir tidak berbeda. Pembuktiannya nanti melalui pengeboran. Tetapi hasil di Gunung Padang tidak menunjukkan perbedaan antara geolistrik dan pengeboran,†kata Andi Arief yang menegaskan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga sudah merestui upaya penelitian.
Benua yang Hilang
Berbagai dugaan pun muncul. Kalau melihat situs megalitikum yang tertata dengan baik, bentuk piramida kuno dengan struktur yang tertata rapi, diduga batu-batuan itu adalah peninggalan zaman belasan ribu tahun yang lalu, sezaman dengan pyramida atau Sphinx di Mesir. Artinya ini membuktikan bahwa di daerah Sunda, ribuan tahun yang lalu telah berkembang peradaban yang cukup tinggi. Seperti dikatakan Profesor Stephen Oppenheimer, pakar genetika dan penulis buku Eden in the East, hasil temuan itu menunjukkan kebenaran teaori tentang banjir besar yang menenggelamkan Sundaland atau Benua Sunda, wilayah Asia Tenggara sekarang.
Dalam bukunya Eden in the East Oppenheimer menyebutkan bahwa peradaban Benua Sunda adalah awal mula dari peradaban maju yang ada di dunia. Hal itu ditandai dengan adanya penemuan system agrikultur dan peeternakan yang telah maju sejak 16.000 tahun yang lalu. Yang dimaksudkan debngan Benua Sunda adalah Indonesia — kecuali Sulawesi dan Papua — Malaysia, Filipna, Singapura, Thailand dan Negara-negara Asia Tenggara lainnya. Wilayah ini semua berada di satu daratan namun terpisah setelah dilanda banjir besar berupa kenaikan permukaan laut akibat es di kutub utara mencair.
Menurut Oppenheimer banjir besar itu terjadi tiga kali. Yang pertama terjadi pada 14.500 tahun yang lalu, menenggelamkan sebagian Jawa, sehingga menjadikan Pulau Jawa terpisah dari Kalimantan dan Sumatera, juga membuat Pulau Sumatera terpisah dari Malaysia dan Kalimantan, dan terbentuklah Laut Tiongkok Selatan. Banjir kedua terjadi pada 11.500 tahun lalu dan banjir ketiga pada 8.400 dan 7.250 tahun yang lalu.
Tradisi Upacara bulan Purnama
Situs megalitik Gunung Padang memang merupakan surprise terbesar di abad ini. Muncul pemikiran bahwa apa yang disebut sebagai Benua yang Hilang itu adalah Indonesia. Penemuan situs Gunung Padang menjadi salah satu bukti bahwa sejak belasan ribu tahun yang lalu sudah ada peradaban maju di Indonesia. Artinya Indonesia adalah negeri yang sudah berusia sangat tua, bukan seperti yang diketahui orang selama ini.
Di situs megalitik Gunung Padang yang merupakan punden berundak, sebenarnya tersimpan peradaban maju, sebagaimana peradaban di negeri-negeri kuno seperti Mesir, Mesopotamia, Tiongkok dan lain-lain. Punden yang menunjukkan lima teras ini dibangun dari ribuan balok batu purba, dibuat dengan cara tertentu yang menunjukkan tingginya kemampuan manusia di masa itu. Batu-batuan itu dibentuk persegi, dibangun dari bebatuan dari ukuran yang berbeda, dibangun dengan pola susun melintang, membujur, berdiri dan dipasak dengan batu pengunci dan berterap. Kuat dugaan bahwa para leluhur sudah sangat mempertimbangkan berbagai kemungkinan bencana seperti gempa, gunung meletus dan lain-lain karena daerah Jawa Barat memang rawan terhadap bencana.
Itu terlihat dengan rapinya penyusunan balok-balok batu di dinding pembatas pada lorong-lorong yang membatasi satu teras dengan teras lainnya. Dinding-dinding batu itu disusun sedemikian rapi dan bagusnya searah dengan kelerengan tebing yang diganjal dengan batu-batu pengunci untuk menghindari kelongsoran. Demikian rapid an terencananya pembuatan dinding-dinding itu, sehingga kekokohannya dapat bertahan hingga ribuan tahun dan dapat diamati hingga sekar4ang, sebagai bukti tingginya pengetahuan yang dimiliki nenek moyang kita di masa silam.
Kerusakan parah justru terlihat di teras teratas atau teras ke-lima. Terlihat balok-balok batu berwarna keabu-abuan yang berserakan di sana-sini. Bangunan asli rusak oleh ulah manusia yang serakah. Mereka mencuri dan menumbangkan kayu-kayu besar yang ada di sekitar situs pada masa lalu. Pohon-pohon besar itu berjatuhan menimpa batu-batuan, kemudian rusak saat proses pengambilan kayu-kayu itu. Dan hal itu terus berulang, tanpa mereka sadari bahwa mereka telah merusak bukti-bukti kebesaran nenek moyangnya.
Batu-batuan itu kini telah dikumpulkan di susun dan menunggu tim-tim ahli untuk meneliti,dan merekonstruksinya. Serakan luas bebatuan itu telah menyadarkan orang bahwa Situs Gunung Padang melingkupi areal yang sangat luas. Luas cakupan situs diperkirakan melingkupi sekitar 25 hektar, sebab masyarakat juga menemukan balok-balok batu di sekitar sungai, dengan bentuk yang sama dengan bebatuan di punden. Ini memperkuat dugaan bahwa di sana, beribu tahun yang lalu telah ada peradaban yang sangat tinggi, sekaligus memperkuat dugaan tentang sebuah benua yang hilang.
Akan halnya situs Gunung Padang itu, dari bentuknya yang khas, kuat dugaan bahwa situs tersebut dibangun di masa lalu untuk menghormati arwah leluhur. Ada 382 anak tangga yang dibangun untuk menuju teras teratas, dengan kemiringan 60 sampai 70 derajat. Di beberapa tempat, khususnya di sisi tangga bagian bawah, ada mata air, mengisyaratkan bahwa sebelum menju ke atas setiap orang diharuskan mensucikan diri. Diperkirakan, puncak rangkaian upacara ritual yang mereka lakukan di situs ini dilakukan pada saat bulan purnama. Itu dikaitkan dengan penamaan Gunung Padang, yang diartikan sebagai Gunung yang Terang Benderang.
Teras Pertama dengan berbagai bentuk ruang persegi diperkirakan sebagai tempat berkumpul para peziarah di masa silam, setelah mereka melakukan pensucian diri di mata air yang terletak di kaki Gunung Padang. Bentuk-bentuk ruang persegi di teras pertama ini memiliki arah hadap ke satu garis lurus ke Gunung Gede. Beberapa bebatuan di anggap sebagai alat untuk melakukan ritual. Misalnya ada batu yang mirip gamelan, bahkan memiliki empat nada bila dipukul. Ada pula ruang yang mirip tempat pertunjukan bersebelahan deengan sebuah ruang berbentuk kubah, Bagian ini dianggap sebagai pusat kegiatan keagamaan atau pemujaan.
Tradisi upacara bulan purnama itu, menurut Cecep Subandi, 40 tahun, terus hidup sampai sekarang. Misalnya, ada saja kelompok atau perorangan yang melakukan upacara Sekabanda, doa bersama mohon keselamatan atau upacara Ngabungbang, yakni upacara pencerahan atau pernsucian diri dengan bersamadi di tempat yang dianggap sacral.
Bagi masyarakat sekitar, dengan semakin populernya Situs Gunung Padang, muncul harapan agar pemerintah segera membangun sarana dan prasarana pendukung, agar mempermudah para pengunjung menikmati situs Gunung Padang sebagai bukti kebesaran nenek moyang kita. Sebab, seperti pengakuan Yusuf, wakil masyarakat yang ikut mengurus situs, jumlah pengunjung, baik pengunjung domestik maupun mancanegara terus juga bertambah.
Tahun lalu, sekitar 12.000 orang dating setiap bulan, sepuluh persen di antaranya berasal dari mancanegara. Jumlah itu akan terus bertambah, sehingga masyarakat sekitar juga mulai mempersiapkan segala sesuatunya sebagai sarana penunjang kemungkinan-kemungkinan baru itu. Ada beberapa masyarakat yang mulai menawarkan rumahnya sebagaihome stay. Ada yang bersiap untuk membangun warung-warung makanan dan tempat penjualan souvenir dan oleh-oleh. Ekonomi masyarakat sekitar memang kian berkembang. Pada hari libur, misalnya, areal parkir yang disediakan hampir tak mampu menampung kendaraan pengunjung. Para pengunjung itu tentu saja membutuhkan warung-warung makanan, tempat beristirahat serta sarana-sarana umum lainnya. Dan masyarakat sekitar tentu saja bersiap untuk menjamu para pengunjung yang dating ke Gunung Padang. (Maza Yudha)