Sastra Aceh Tidak Dapat Dipisahkan Dari Kehidupan Syariah

Ilustrai: Sastra Aceh. (ist)

Oleh : Muklis Puna

“Jaroe Bak Cangkoi Mata U Pasai”

PAMEO di atas merupakan sebuah untaian frasa dalam tataran bahasa Aceh yang berkembang sebagai filosofi yang membumi di Serambi Mekah. Apa sih korelasi pameo di atas dengan kurikulum Aceh dalam ranah pendidikan yang menyita perhatian para pelaku pendidikan hari ini. Jawabannya sederhana, sekalipun pameo di atas menganologikan sebuah kegiatan yang dilakukan oleh petani dengan kebutuhan masyarakat pasar.

Artinya, seorang petani harus bijak dan jeli dalam mengakomodir kebutuhan pasar, sehingga apa yang disemai di kebun harus dapat menyerap kebutuhan masyarakat.

Seandainya masyarakat membutuhkan tomat, bawang, dan jenis palawija lainya petani harus mampu menganalisis bagaimana nasib hasil panen nantinya dengan kebutuhan pasar?

Untuk menarik benang merah sehubungan dengan kurikulum Aceh hari ini adalah bagaimana nasib aset bangsa ke depan setelah kurikulum ini diaplikasikan pada lini pendidikan di Serambi Mekah. Sudah dipahami bersama bahwa konsep kurikulum adalah seperangkat acuan pembelajaran yang disusun secara sistematis berjenjang dan diajarkan pada peserta didik pada berbagai jenjang.

Output yang diharapkan dari penerapan kurikulum adalah adanya perubahan sikap, kognitif, dan psikomotot dari peserta pendidikan dalam rentang masa yang panjang.

Mengubah pola pikir, sikap, dan karakter generasi muda hanya dapat dilakukan melalui pemberlakuan kurikulum. Pemberlakuan kurikulum tersebut harus mengacu pada kriteria karakteristik warga belajar meliputi budaya, cara berpikir, dan nilai nilai kearifan lokal di mana kurikulum itu diterapkan.

Dasar hukum penerapan kurikulum Aceh adalah Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dalam pasal 19 ayat 1 (ld) disebutkan bahwa “Pemerintah Aceh berwenang menyusun kurikulum Aceh yang Islami pada jenjang PAUD, Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Khusus”.


Upaya menjawab qanun tersebut pemerintah Aceh sebagai salah satu provinsi yang menjalankan keistimewaannya melalui syariat Islam sudah sepantasnya Dinas Pendidikan Aceh sebagai nakhoda dalam menjalankan roda pendidikan menerapkan kurikulum Aceh yang bernuansa islami pada semua disiplin ilmu yang diajarkan pada semua jenjang pendidikan terutama pada Dikdas dan Dikmen.

Ilustrasi Sastra Aceh (ist)

Penerapan tersebut tidak dapat dilakukan seperti membalikkan telapak tangan , ” Sim saalbim ebra kadabra”, akan tetapi membutuhkan kajian mendalam dari pakar pendidikan. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi benturan dengan Kurikulum Nasional. Mengingat alokasi waktu, kompleksitas, tenaga pengajar yang dibutuhkan oleh oleh kurikulum tersebut.

Apalagi penerapan kurikulum berbasis syariah membutuhkan regulasi Dapodik bagi guru yang mengajar di sekolah umum. Misalnya adanya mata pelajaran tambahan seperti Quran Hadis, Sejarah Kebudayaan Islam yang selama ini dipelajari pada tingkat madrasah. Nah para pengampu mata pelajaran tersebut juga harus disinkronkan dalam sistem data pokok pendidik (Dapodik) yang mengacu pada sistem tunjangan profesi yang diterima oleh pendidik selama ini.

Sebenarnya uraian di atas hanya sebuah skemata untuk mengantar pembaca kepada pokok masalah dari judul tulisan ini. Konteks sastra dalam ranah keacehan merupakan hal yang nyata, jika dikaitkan dengan kurikulum Aceh. Sejarah telah membuktikan bahwa kehidupan sastra Aceh tidak dapat dipisahkan dari kehidupan syariah.

Hikayat, cerita rakyat, puisi dan berbagai genre sastra lainnya yang ada di bumi Serambi Mekah mengandung nilai -nilai islami yang dapat dijadikan sebagai pendidikan pengembangan Karakter (PPK) yang sesuai dengan pembelajaran HOT selain dari 4 C dan literasi yang sedang digadang- gadang oleh kurikulum nasional.

Sebagai pengantar dan mata pelajaran penghela bahasa Indonesia melalui aspek sastra memegang peranan penting yang berfungsi sebagai pipa dalam menyalurkan pendidikan Karakter bernuansa islami dalam kurikulum Aceh.

Sejarah para ulama yang merajai dunia pada abad 6 dan 7 dapat direfleksikan kembali tentang suri tauladan pada generasi Milenial Aceh hari ini. Di samping itu budaya Masyarakat Aceh yang notabene kental dengan Islam dapat menjadikan kurikulum ini sebagai role model dalam kurikulum nasional nantinya.

Akhirnya, untuk mewujudkan hal tersebut pemerintah melalui Dinas Pendidikan sudah mulai melakukan sosialisasi kepada seluruh ketua MGMP melaui pelatihan dan penguatan materi tentang struktur kurikulum Aceh.

Untuk tahap awal itu adalah sebuah terobosan Besar. Namun sebagai insan penddik kita berharap agar ke depan semua guru dapat disuluh tentang kurikulum Aceh secara komprehensif pada semua jenjang sekolah.

Amin semoga pendidikan Aceh semakin jaya dengan nilai-nilai Islami dan punya karakter yang kokoh.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan