Resensi  Buku
Tondi Ayahku, Ruh Leluhurku
Oleh: Ris Pasha. Judul : Rahasia Tondi ayahku
Penulis : R. Mulia Nasution
Tebal : xxi – 323 halaman
Ukuran : 21 mm × 14 mm
Penerbit : Satria
Cetakan : Pertama, Agustus 2012
Terbit : Jakarta
Kategori Buku : Novel
I S B N : 978-602-18687-0-6
TONDI bagi masyarakat Batak umumnya, termasuk yang sangat diperhitungkan. Kata Tondi, boleh dikatakan adalah Ruh. Batak, termasuk Mandailing masih mempercayai yang sudah meninggal masih memiliki Tondi.
Itu sebabnya di masyarakat Batak Karo, Tondi yang disebut Tendi, masih dihormati. Bagi masyarakaty Karo Tendi kata Tendi demikian banyaknya. Tendi Jabu (ruh rumah), tendi juma (Ruh Perladangan), perumah tendi (memanggil ruh ke dalam rumah) dan sebagainya. Konon pula tenti leluhur atau tondi leluhur.
Sekarang masalah Tondi atau Tendi, sudah kurang di sebut-sebut, terlebih setelah agama menyebar di tanah Batak. Walau demikian, masih saja ada masyarakat yang menghormati Tondi, terlebih tondei leluhur apalagi tondi seorang ayah.
Tersebut seorang penuklis yang juga jurnalist, R. Mulia Nasution yang kini sudah hijrah ke Jakarta, melahirkan sebuah novel berjudul Rahasia tondi Ayahku. Membaca judulnya saja, penulis sudah meyakini, kalau isinya pasti memiliki muatan lokal yang sangat kuat.
R. Mulia Nasution, seorang Mandailing tulen walau dari keturunan dari Pasaman Sumatera Barat. Justru dalam novelnya Mulia, demikian aku selalu memanggilnya, dengan cerdas menuliskan berbagai pengalaman masyarakat Mandailing di Pasaman. Muatan lokalnya, bukan hanya karena tempat kejadian dan nama-nama tokoh yang ada dalam novel ini, seperti Rinto Napintar Ate, Harlan Nadenggan Roha, kemala Hindi, Manancung, Darna Gunung Malintang, waruk Nakoreh, Ulu, Rosita Putri Malintang, Gumpar Namokmok, Haroi Mekkel Nainjang, Huria Tinggi Nabontar, Cana Nasayang Ate dan seterusnya.
Hanya saja, Mulia mungkin seikit kelupaan dan menuliskannya, seperti kata Na, disatukan dengan Denggan menjadi Nadenggan yang seharusnya Na Denggan, karena kata “Na” itu berarti “yang”. Kata Mekkel yang seharusnya ditulis mengkel.
Terlepas dari semua itu, novel ini membawa kita seakan menonton sebuah pertunjukan film dari berbagai scene, dengan kamera yang shooting dari berbagai sudut pandang dengan frame yang sangat diperhitungkan.
Novel yang terdiri dai 31 bab ini, membaca pembacanya mengikuti alur cerita yang penuh dengan berbagai perjuangan dalam kesedihan.
Pembaca diajak merasakan bagaimana kepedihan seorang lelaki yang kematian isteri, dimana dia harus memberikan perhatian terhadap anak-anaknya yang masih kecil.
Bukan itu saja, Mulia mengantarkan hati pembaca kepada sebuah masalah tantang gugatan seorang isteri terhadap seorang suami, dimana pernikahan itu melahirkan tiga orang anak yang masih kecil-kecil. Dari sana digambarkan pula keperihan ketiga anak yang masih kecil itu, orangtua mereka bercerai. Sebagai manusia kecil, mereka takbisa berbuat apa-a, karena perceraian adalah kelakukan orang yang sudah dewasa.
Perceraian mengakibatkan sang anak harus memiliki ibu dan ayah tiri dengan sifat dan kelakuan sendiri-sendiri pula. Kepedihan dan keperihan ayah, ibu dan anak tergambar pula dengan jelas. Prilaku masing-masing manusia membuat mereka perih sendiri dengan melibatkan orang lain (anak-anak) yang tidak mengetahui apa-apa.
Duka, deria, nestapa, meruyak bagaikan kehilangan jiwa. Namun demikian, harapan selalu saja ada. Kesungguhan, ketulusan dan kerja keras, serta jatuh bangun upaya, ada di dalam kisah para tokohnya.
Novel ini berlatar cerita dengan setting masyarakat Batak Mandailing yang ada di Pariaman Ampalu di Pasaman Sumatera Barat tahun 1970-an. Cerita di Jakarta juga ikut menghalir pada trahyunh 1974-1979, saat pengaruh Orde Lama masih terasa, paska kejatuhan Bung Karno. Latar belakang Peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974, terungkap dari kacamata Rinto Napintar selalu perekat kisah. Diceritakan pula bagaimana masyarakat Betawi yang tersingkir dari lahannya di Jakarta, dikemas apik. Penulis memastikan pengarangnya pasti berdasar pada riset dan pengalaman empiris. Selain itu nampaknya kekuatan pustaka turut berperan. Kedalaman masalah, kata, kepedihan jiwa, kesengsaraan hati, mengalir seperti air, Pengarang yang menjadi wartawan sejak tahun 1984, adalah orang yang boleh dikatakan sukses dalam program televisi nasional.
Batak memang memiliki kultur yang patriarchaat. Garis keturunan adalah garis ayah ke bawah. Artinya, tetesan adarh ayah demikian kuat bagi kekuatan diri seorang Batak.
Tak adapat dipungkiri, ada juga Batak yang beradaptasi dengan hukum adat dan lingkungan dari tetangganya, khususnya masyarakat Mandailing yang berbatasan dengan Sumatera Barat. Hingga ada istilah Lubis Betina yang artinya, seorang anak yang bermarga Lubis atau Marga lain, mengikut marga ibunya, karena ayahnya adalah seorang minang, yang kuat para hukum adat (Adat Recht) Matriarchaat.
Secara manis walau terselubung Mulia Nasution mengungkapkan hal ini pada novelnya secara apik. Halk ini membuat penulis tak segan-segan mengatakan, betapa bagusnya kalau buku ini memang harus dibaca. Novel ini ditulis pengarangnya Mulia Nasution dalam kemasan dalam bahasa yang liris, dramatis, mempertimbangkan diksi serta logika cerita, menjadikan kisah melodrama ini layak untuk dibaya. (Ris Pasha)