*ceritanya begini. Aku duduk di ruang tunggu pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) Jakarta. Menunggu sidang lanjutan kasus korupsi. Entah kenapa, muncul begitu saja, ide memposting rangkaian puisi-puisi Pilkuda dan lain lain ini.
Fikar W.Eda
PILKUDA 1
Minum 2×1 hari
Selama 5 tahun ini
Sebelum kenyang pagi hari
Setelah kenyang petang hari
Pulihkan tenaga kuda
Jakarta, 5 Januari 2019
PILKUDA 2
Kalah diperkuda
Menang memperkuda
Kalah menang kuda-kuda
Jakarta, 2 Januari 2019
PILKUDA 3
spanduk di pengkolan
Tertera tanggal pemilihan
Orang bergegas ke jalan
Meneriakkan kemenangan
Larinya seperti kuda
(Kudaku lari kencang)
Sikutnya seperti kuda
(Kudaku sekuat tulang)
Tendangnya seperti kuda
(Kudaku bertapak karang)
Amuknya seperti kuda
(Kudaku preman garang)
Ringkiknya kuda
Dengusnya kuda
Kepalnya kuda
Nafsunya kuda
Tenaganya kuda
Kuda pertama kencang
Kuda kedua melayang
Kuda pertama terbang
Kuda kedua ikut terbang
Kuda pertama beling
Kuda kedua baling
Kuda pertama dicambuk
Kuda kedua dipecut
Kuda pertama hampir mati
Kuda kedua setengah mati
Kuda pertama tersungkur
Kuda kedua terbujur
Pemilik kuda bersulang!!!
Jakarta, 4 Januari 2019
KAMPANYE
pilih aku, si nomor satu
Menuju kesejahteraan
Pilih saya, si nomor dua
Membawa kemakmuran
Pilih aku, si nomor satu
Kecapku mutu
Pilih saya, si momor dua
Kecapnya wibawa
Pilih aku, si nomor satu
sarung belacu
Pilih saya, si nomor dua
Kainnya samarena
Pilih aku, si nomor satu
Manisku tebu
Pilih saya, si nomor dua
Manisnya gula
Pilih aku, si nomor satu
Pilih saya, si nomor dua
Satu,
Dua,
Aku,
Saya,
Rumah gaduh seketika
Ayo tidur saja!!!
Jakarta, Januari 2019
PENYAIR DAN BATU
Penyair dan batu
Berbisik bersebuku
berlagu ujung jembatan
Penyair dan batu
Berat ringan berbantu
Kerikil debu timbangan
Penyair dan batu
Puisi mu merdu
Langkah satu jurusan
Penyair menulis puisi
Batu mengikis daki
Teka teki tiap pendakian
Puisi itu langit
Batu itu penggamit
Saling kait dalam ikatan
Puisi itu udara
Batu itu bara
Menyala tungku perapian
Puisi itu hati
Batu itu sunyi
Mematri dalam ingatan
Penyair itu tangkai
Batu itu rangkai
Berurai dalam tangisan
Puisi itu pekat
Batu itu padat
Merekat berjauhan
Penyair itu awan
Batu itu hujan
Tertawan kenangan
Penyair itu tambur
Batu itu alat ukur
Pemberat timbangan
Penyair itu gemuruh
Batu itu riuh
Luruh tertahan
JAKARTA, 2019
BUNGA DI BONCENGAN SEPEDA
Bunga di boncengan sepeda putih, bertasbih sepanjang hari.
Bunga dalam sebelas sangkar putih, doa jernih dan wangi.
Singgalang berkabut, Merapi juga berkabut Dari paut pucuk keduanya menjulur puisi,
Kiranya tak habis-habisnya, Kiranya tak putus-putusnya, Langit berseri.
(Aie Angek, 22-23/12/2018)
Biografi:
Fikar W Eda, lahir di Aceh 1966. Menyelesaikan pendidikan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh dan program pasca sarjana Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Antologi puisinya “Rencong” (2003, 2005, 2008), dan “Sepiring Mie Aceh, Secangkir Kopi Gayo Bertalam Giok Nagan” (Batavia Publishing, 2015).
Pernah menjabat Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Aceh (DKA) 1995-2000, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2013-2015, dan Ketua Umum Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia (Kompi).
Berkelana bersama Rangkaian Bunga Kopi (RBK), kelompok seni kampanye kopi Gayo, bersama Yoppi Andri, Jassin Burhan, Yoyok Harness, dan Djarot Effendi.
Meghadiri berbagai forum sastra, antara lain “Forum Puisi Indonesia ’87 Dewan Kesenian Jakarta, Pengucapan Puisi Dunia ke 9 Kuala Lumpur 2002, Pertemuan Penyair Nusantara, Forum Puisi Dunia 2012 dan lain lain. (gr)