Oleh. Riri Satria
Ada satu hal yang menarik perhatian saya ketika menyasikan siaran pelantikan Presiden AS yang baru, Joe Bidden serta Wakil Presiden Kamala Harris. Apakah itu? Pembacaan puisi oleh Amanda Gorman, seorang perempuan penyair muda berkulit hitam AS berusia 22 tahun yang alumni Harvard University. Ternyata puisi menjadi salah satu bagian penting dalam serangkaian acara resmi pelantikan Presiden AS, bersanding dengan pidato politik, dan tentu saja penghormatan secara militer. Demikian terhormatnya posisi puisi!
Saya belum berani membayangkan ini terjadi di Indonesia. Puisi masih belum dianggap demikian penting. Bahkan masih banyak yang memandang puisi itu sebelah mata, seolah-olah hanya dibuat oleh mereka yang kurang kerjaan dan suka mengkhayal. Ya benar, puisi tidak mampu meningkatkan pendapatan nasional atau menambah lapangan pekerjaan. Puisi juga tidak mampu menciptakan pesawat terbang ayau menemukan sumber energi yang terbaharukan. Puisi juga tidak mampu menyembuhkan penyakit kanker atau mempercepat pembuatan vaksin Covid-19.
Padahal kalau kita kaji lebih mendalam, maka penghargaan tertinggi terhadap karya sastra (tentu termasuk puisi) di dunia ini adalah hadiah Nobel. Ini berarti sastra diakui setara penting dan terhormatnya dalam kehidupan seperti halnya ilmu fisika, ilmu kedokteran, ilmu ekonomi, serta menciptakan perdamaian dunia. Mengapa demikian? Sedemikian pentingkah maknanya bagi kehidupan?
Buat saya yang memiliki latar belakang teknologi dan ekonomi serta mencintai puisi, saya percaya bahwa puisi itu jujur apa adanya, mengasah rasa dan peka kita sebagai manusia, serta menggugah pikir dan paradigma. Puisi itu lebih memanusiakan kita sebagai manusia. Ini adalah sesuatu yang penting dalam kehidupan.
Menjelang pelatikan Presiden Joe Bidden dan wakil Presiden Kamala Harris, kondisi di AS cukup mencekan. Masyarakatnya terbelah antara yang pro Donald Trump dengan yang pro Joe Bidden, mirip dengan kondisi di Indonesia pada saat pilpres tahun 2019 yang lalu, serta di berbagai pilkada di Indonesia. Bahkan di AS lebih dahsyat lagi, masyarakatnya menyerbu masuk ke Gedung Capitol di Washington DC sehingga menimbulkan korban. Ini menjadi sebuah luka sekaligus sejarah kelam dalam sejarah demokrasi di AS.
Amanda Gorman melalui puisinya mencoba untuk mengobati luka tersebut dengan puisinya. Silakan simak teks puisi serta video Amanda membaca puisi tersebut di YouTube dan media lainnya. Puisi mengobati luka di masyarakat dan berupaya untuk menyatukan masyarakat kembali. Itulah sejatinya puisi. Dahsyat!
Ada hal-hal dalam kehidupan yang hanya terasa sentuhannya jika diungkapkan dengan puisi, karena puisi adalah tulisan konsumsi batin atau kalbu. Puisi adalah sekumpulan kata-kata yang singkat dan padat tetapi harus mampu menghasilkan daya gugah yang tinggi kepada pembaca ataupun pendengarnya. Prinsipnya singkat dan padat tetapi berdampak tinggi atau high impact. Seorang penyair memotret suatu fenomena sosial apapun di masyarakat dan lalu dia tuangkan ke dalam bentuk puisi yang harus mampu memberikan daya gugah yang tinggi.
Daya gugah itu diharapkan mampu menggerakkan sesuatu untuk masyarakat dalam bersikap dan perilaku, bahkan berparadigma, mirip dengan konsep dampak berlipat atau multiplier effect dalam ilmu ekonomi.
Kapan puisi akan tampil pada acara resmi pelantikan Presiden RI, bersanding dengan pidato politik, dan tentu saja penghormatan secara militer? Mungkin suatu saat nanti. (***)
(Jakarta, 21 Januari 2021)