‘Puisi adalah do’a’, demikian Dr. Robert William Maartin, ahli filsafat, antropolog, penyair, dan rohaniawan, yang biasa dipanggil Romo di kalangan penyair, mengatakan saat sesi diskusi buku pada acara peluncuran buku puisi dan pameran foto “Siluet, Senja, dan Jingga” karya pengamat ekonomi digital dan kreatif, Riri Satria, di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta (2/8/2019)
“Karena puisi itu adalah do’a, maka dia harus mampu memiliki daya gugah, dia harus merupakan hasil kontemplasi batin, bukan hanya sekedar tulisan deskriptif atau reaksi atas sebuah peristiwa. Puisi harus lahir dari sebuah perenungan yang mendalam”, demikian Romo melanjutkan.
Ungkapan Romo itu diamini oleh dua pembahas lainnya, yaitu yaitu Dr. Sunu Wasono, Ketua Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, serta Sofyan R.H. Zaid, penyair dan penggiat sastra, lulusan filsafat Universitas Paramadina.
Bahkan Sofyan menunjukkan bahwa banyak puisi Riri yang bernuansa sufistik, walaupun mungkin tidak disadari oleh si penulis sendiri. “Ciri khas puisi sufistik itu adalah terjadi dialog dengan Tuhan dan penyerahan kepada-Nya. Pada puisinya, Riri Satria menyebut Tuhan itu dengan Penyair Agung atau Semesta”, demikian Sofyan menjelaskan.
Dalam sambutannya mewakili komunitas Dapur Sastra Jakarta, Mustari Irwan, Kepala Arsip Nasional RI, yang juga seorang penyair mengatakan bahwa Riri Satria ini adalah sosok yang unik. Riri adalah seorang akademisi di bidang computer science atau teknologi informasi, seorang CEO sebuah perusahaan konsultasi manajemen teknologi yang berarti adalah pebisnis. Berikutnya Riri adalah seorang peneliti dan pengamat ekonomi digital dan ekonomi kreatif, kemudian diangkat menjadi penasihat ahli di sebuah lembaga negara, yang berarti juga seorang aparat pemerintah. Terakhir, Riri seorang penulis puisi atau penyair.
“Ini terlihat dalam pilihan diksi pada berbagai puisinya. Banyak istilah-istilah sains dan teknologi, matematika, bahkan ekonomi dipergunakan pada puisinya. Ini adalah hal yang kurang lazim ditemukan pada puisi di Indonesia”, demikian Mustari Irawan melanjutkan. Ketiga panelis pada diskusi tersebut memiliki pandangan yang sama, ini adalah kekuatan dan keunikan puisi Riri. “Tetapi walaupun demikian, Riri harus tetap hati-hati menggunakan pilihan kata tersebut, jangan sampai kehilangan daya gugahnya”, demikian Sunu Wasono mengatakan.
“Kata kuncinya di perenungan yang mendalam”, kata Romo. “Pilihan kata yang unik ditambah kontemplasi mendalam akan menjadi kekuatan sebuah puisi”, lanjutnya.
Menanggapi Mustari Irawan, panelis Sofyan Zaid juga mempertanyakan mengapa sosok seperti Riri Satria ini bisa “tersesat” ke dunia puisi. Lalu Sofyan mengutip sebuah puisi Riri:
pernah aku berpikir
mengapa Tuhan menciptakan pujangga?
merangkai aksara seperti tak jelas asalnya
bikin pusing susah dipahami
mungkin begitu pikiran awam berkata
kata ekonom, puisi tidak meningkatkan pendapatan nasional
ujar insinyur, puisi tidak menciptakan pesawat terbang
pikir dokter, puisi tidak menyembuhkan penyakit kanker
puisi milik pengkhayal yang menuliskan angan-angan
saat menjelajahi semesta dan makna
narasi hidupku tersentuh puisi
terasa sebagai pengalaman batin
yang tertuang dalam bait-bait aksara
jujur apa adanya
berkisah tentang rasa
mengasah peka sebagai manusia
menggugah pikir dan paradigma
sekarang aku mengerti
sejatinya puisi itu jelmaan rasa dan peka
lebih memanusiakan kita
“Jelaslah, apa makna puisi buat seorang Riri Satria, walaupun memiliki latar belakang yang jauh dari dunia sastra”, demikian Sofyan mengakhiri penjelasannya dalam diskusi buku tersebut.
“Ketika rasionalitas saya buntu untuk memahami sesuatu, maka saya berteriak dengan menulis puisi”, demikian Riri menjelaskan. “Buat saya, puisi adalah penyeimbang rasionalitas dalam memandang sesuatu fenomena”, lanjutnya.
Hal ini diamini oleh penyair senior Remmy Novaris DM yang mengikuti kiprah Riri dalam menulis puisi selama lima enam tahun terakhir ini. “Dalam beberapa puisi, hal ini sangat terlihat. Nuansa berpikir sistematis gaya analisis ilmiah kadang terbawa dalam puisinya”, kata Remmy.
Sahabat Riri pun mengungkapkan hal senada. Penyair Yoevita Soekotjo yang menjadi project officer pada acara ini mengatakan, “Seringkali saya susah mengikuti gaya berpikir seorang Riri Satria. Puisi selalu menciptakan ruang interpretasi untuk pembacanya, sehingga tidak perlu sebuah penjelasan yang detail, bahkan bisa provokatif dan liar. Sementara sebagai seorang akademisi, Riri sangat detail, setiap hal harus ada penjelasan rasionalnya. Ini mungkin yang menyebabkan puisinya terkesan sistematis, kurang liar, tetapi walaupun demikian tetap memiliki daya gugah yang tinggi”.
Ini adalah buku puisi Riri Satria yang ketiga. Buku puisi pertama berjudul “Jendela” diterbitkan tahun 2016, lalu buku puisi kedua berjudul “Winter in Paris” diterbitkan tahun 2017 dan diluncurkan pada Ubud Writers and Readers Festival 2017 di Ubud, Bali. Selain peluncuran buku, pada acara tersebut juga diselenggarakan pameran karya foto tunggal Riri Satria dengan judul yang sama.
Riri Satria lahir di Padang, Sumatera Barat 14 Mei 1970 dan mulai menulis puisi sejak SMP berlanjut di SMA di kota kelahirannya. Riri menamatkan studinya pada Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, dan saat ini sedang menyelesaikan studi Doctor of Business Administration (DBA) di PSB Paris School of Business, Paris, Prancis.