Penyair Yoevita luncurkan buku puisi Opera Tujuh Purnama

Penyair Yoevita luncurkan buku puisi Opera Tujuh Purnama

“Puisi itu makhluk ajaib. Ia menyihir lantaran di sana tersimpan pesona. Ia juga mengancam ketika kata atau frasa atau apa pun dalam larik-larik puisi menggugah kesadaran kemanusiaan. Meski begitu, ada juga puisi yang memuakkan, manakala kata-kata gagal dikendalikan, lalu pesannya menjelma propaganda, iklan murahan, atau gombal semata. Itulah keajaiban puisi. Paradoks dan penuh misteri.” demikian Maman S. Mahayana, Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan Ketua Yayasan Hari Puisi Indonesia, mengungkapkan saat membahas buku puisi Opera Tujuh Purnama karya penyair Yoevita Soekotjo di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, (Senin, 10/2/2020).

“Tak ada kata jera bagi para pecinta puisi! Dalam kondisi apa pun, dan dengan caranya sendiri, banyak orang yang tiada bosan merayakan puisi. Di antara anggota masyarakat yang kadang-kadang mencibir puisi, cukup banyak juga para penggembira, pendukung fanatik, atau mereka yang terlibat dalam permainan puisi dan bersikeras mempertahankan kehidupan puisi. Bahkan tak sedikit yang menempatkan puisi secara hiperbolis sebagai sesuatu yang sakral. Maka, jika ada yang mengatakan puisi tak pernah mati, ya, karena kenyataannya memang begitu. Sementara itu penyair yang sebenar-benarnya penyair adalah mereka yang sadar bahwa perjalanan kepenyairannya selalu berada dalam proses pembelajaran dan menjadi. Mereka tidak melalaikan kesadarannya pada sejarah, pada proses untuk terus belajar sampai mereka pensiun dari gelanggang kehidupan ini.”, demikian Maman melanjutkan.

Penyair Yoevita sendiri sepakat dengan Maman, bahwa menjadi penyair itu adalah proses pembelajaran yang tiada henti, mirip dengan profesi lainnya di dunia ini. Menurut Yoevita, “Acara pembahasan buku puisi itu sebenarnya mirip dengan pembahasan sebuah karya ilmiah, baik berupa makalah, skripsi, tesis, atau disertasi. Artinya, seperti halnya karya ilmiah, karya puisi juga dibahas dengan menggunakan berbagai perspektif atau sudut pandang, bahkan berbagai teori. Sebagai sebuah karya manusia, walau karya intelektual sekalipun, tidak ada yang sempurna 100%. Untuk itu kita butuh pandangan, masukan, bahkan kritik dari orang lain seidaknya untuk menarik pelajaran bersama.

“Si penulis harus berpikiran terbuka untuk menerima semua masukan yang diberikan. Ibarat sidang skripsi, tesis, atau disertasi, yang ujian harus menangkap semua masukan dari dewan penguji, walaupun dia sendiri sudah memiliki dosen pembimbing. Begitu juga dengan karya puisi, si penyair harus berpikiran terbuka untuk menangkap semua masukan dari si pembahas bukunya. Setidaknya pembahas akan menghadirkan perspektif lain yang mungkin tak terpikirkan oleh si penyair.” demikian Yoevita melanjutkan.

Sebagai seorang akademisi dan pengamat sastra, Maman senang dengan sikap Yoevita seperti itu. Sejatinya penyair itu terus-menerus belajar dengan menbuka diri terhadap berbagai pemikiran, masukan, dan perspektif lain. Banyak juga penyair yang merasa dirinya paling hebat di dunia dan tidak membutuhkan masukan dari orang lain, tidak mau mendengar, tidak mau belajar.

 Lalu bagaimana Maman menilai penyair Yoevita yang meluncurkan buku Opera Tujuh Purnama ini?  Maman menjelaskan, “Dari ke-72 puisi yang terhimpun dalam antologi Opera Tujuh Purnama karya Yoevita Soekotjo ini adakah sumbangannya bagi perpuisian Indonesia? Bagaimanapun antologi ini telah ikut memperkaya khazanah perpuisian Indonesia. Jika di sana-sini ada kekurangan dan kelebihan, kita dapat menempatkannya sebagai bagian dari proses belajar dan menjadi itu. Dalam konteks itu, kita mendapati, bahwa sesungguhnya Yoevita Soekotjo potensial menghasilkan puisi yang sebaik-baiknya puisi,

“Jika kita memperhatikan puisi-puisi yang disebutkan tadi, kekuatan Yoevita Soekotjo justru terletak pada kesederhanaan ekspresinya yang mengalir begitu saja. Puisi yang disusun dengan kata-kata sederhana itu sesungguhnya menyimpan kedalaman makna: tentang dosa, penyesalan, pertobatan, dan harapan. Kesederhaan suara hati itu merupakan potensi yang dapat dikembangkan menjadi energi puisi yang penuh makna.”

  Sejalan dengan Maman, Nia Samsihono, penulis senior yang pernah berkarir di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, pun berpendapat sama. “Kekuatan Yoevita terletak di kesederhanaan puisinya. Walaupun beberapa puisi juga tak sesederhana itu. Tetapi puisinya yang sederhana justru memiliki kekuatan.” Baik Maman maupun Nia sepakat bahwa Yoevita tidak perlu larut dalam permainan estetika kata-kata yang justru akan mempersulit makna puisi itu sendiri.

 Nia juga menjelaskan, “Puisi diciptakan oleh seorang penyair merupakan hasil dari keterlibatan dirinya sebagaia manusia dalam proses eksistensial, baik dari perspektif ekspresif maupun representatif. Di dalam karya tergambar kehendak, kecendrungan, serta perjuangan kehidupan manusia yang kompleks. Ekspresi dan representasi  tidak hanya pada kehidupan yang kompleks, tetapi juga kepada hal-hal kecil yang sederhana. Yoevita telah mencoba menuangkan ekspresi dan representasi kehidupan ke dalam 72 puisi..”

“Satu per satu saya membaca puisi yang ada dan mencari korelasi antara judul buku dan keseluruhan puisi tidak saya temukan isi puisi yang mengait pada kata opera, tujuh, atau purnama. Saya baca berulang-ulang, saya menemukan kaitan antara judul buku dan puisi pada waktu penulisan puisi yang tertera pada akhir setiap puisi. Puisi-puisi pada buku ini ditulis pada kurun waktu 1 Juni 2019 sampai dengan 31 Desember 2019. Itu yang ingin diinformasikan kepada pembaca bahwa Yoevita menulis buku ini selama tujuh bulan atau tujuh purnama. Tulisan yang ada dalam buku puisi ini dibayangkan oleh Yoevita sebagai opera kehidupan. Ada nyanyian dan tari dalama kehidupan. Ada musik yang membuat gerak kehidupan. Pintar Yoevita membuat judul.”, demikian Nia melanjutkan.

Maman memberikan catatan khusus untuk masukan kepada Yoevita, “Dalam kaitannya dengan perkara diksi atau pilihan kata, Yoevita kiranya perlu lebih berhati-hati dan berjuang keras memikirkannya. Sebagai seseorang yang hendak memuliakan puisi, dan oleh karena itu, ia secara sadar menceburkan diri dalam dunia puisi, saya melihat, Yoevita seperti terperangkap pada anggapan umum bahwa puisi itu ragam sastra yang (harus) menggunakan bahasa yang indah. Konsep itu sesungguhnya tidak tepat benar, sebab rumusan itu tujuannya untuk pembelajaran sastra di sekolah, bukan untuk penyair atau untuk mereka yang ingin jadi penyair. Anggapan, puisi harus menggunakan bahasa yang indah, sudah tak berlaku lagi.”

Di manakah kekuatan puisi Yoevita menurut Nia Samsihono? “Kehebatan Yoevita adalah menulis puisi dengan menggunakan bahasa perempuan. Banyak puisi karya penyair perempuan menggunakan bahasa laki-laki. Sebagai perempuan penyair, Yoevita menggunakan bahasa perempuan, bahkan sudut pandang perempuan dengan gamblang. Nah, untuk hal ini, hanya pembaca perempuan pula yang sanggup memahami.” demikian Nia menjelaskan.

Berbeda dengan Maman dan Nia, pembahas lainnya, Dyah Puspito Kencono Dewi, perempuan penyair dan pengelola komunitas Sastra Reboan di Jakarta mengatakan,” Puisi Yoevita sangat banyak mengungkapkan upaya-upaya untuk berubah atau transformasi, misalnya dari masa lalu yang tidak bagus ke masa depan yang lebih baik, lalu menyerahkan semuanya kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa. Banyak sekali puisi Yoevita yang diakhiri dengan penyerahan diri kepada Tuhan, baik dalam wujud kepasrahan dan tentu saja doa. Dia ingin mendobrak sesuatu, melakukan sesuatu, namun sadar bahwa semua ketentuan ada di tangan Tuhan”.

  Dyah melanjutkan, “Puisi-puisi seperti ini jika disimak dengan baik akam mampu menginspirasi orang untuk melakukan transformasi dirinya. Terlepas dari banyak hal yang harus diperbaiki oleh Yoevita, namun banyak puisinya yang menggugah dan mempu menginspirasi pembacanya. Di sinilah kekuatan Yoevita.”

            “Menulis puisi adalah panggilan hidup saya. Buat saya puisi adalah suara batin. Menurut saya, tugas seorang penyair itu adalah menuliskan apa yang dia lihat, rasakan, dengar, amati, pikirkan, bayangkan, dan imajinasikan ke dalam bentuk puisi, sehingga memiliki daya gugah yang tinggi untuk si pembacanya atas satu atau beberapa pesan yang ingin disampaikan.” demikian penyair Yoevita menjelaskan.

Menutup pembahasan, Nia mengatakan, “Menelusuri proses kreatif penulisan puisi sangat menyenangkan karena seperti menulis puis itu sendiri. Pada prinsipnya, penyair harus peka pada keadaan perasaannya, jiwanya, dan seluruh pengalaman hidupnya, baik fisik maupun metafisik. Penulis puisi tidak berawal dari pengetahuan yang kosong dalam dirinya. Penulis itu mendapatkan stimulus dari kejadian atau peristiwa alam maupun kehidupan. Semua itu dapat dieskpresikan atau direpresentasikan pada tulisan puisi. Yoevita melakukan ini dengan baik sekali, sehingga semua puisinya berkisah tentang kehidupan bagaikan opera.”

Rissa Churria, seorang penyair dan juga guru, yang memandu jalannya diskusi membahas buku Opera Tujuh Purnama karya Yoevita ini menjelaskan bahwa puisi-puisi karya  Yoevita pada buku ini berbeda dengan buku yang pertama, Pengantin Puisi. Rissa yang kebetulan juga menjadi pemandu diskusi buku Pengantin Puisi pada pertengahan tahun 2019 yang lalu mengungkapkan bahwa puisi-puisi pada buku Opera Tujuh Purnama lebih tegas, lugas, lenih visioner jika dibandingkan dengan Pengantin Puisi yang banyak galau dan berupaya mencari indentitas diri.

Sependapat dengan Rissa, pengamat ekonomi kreatif dan digital, Riri Satria, yang banyak membantu Yoevita menyusun buku Opera Tujuh Purnama mengatakan, “Dari puisi-puisinya pada buku ini, nuansa reborn dan move on pada sosok Yoevita sangat terlihat. Ini juga terlihat pada posting Yoevita pada akun Facebook miliknya akhir-akhir ini. Ada beberapa posting yang diberi tagar #KenanganLayakDikenang, #PerjalananHidup, #Reborn, serta #MoveOn. Bahkan akun Facebook-nya pun baru, seolah ada masa lalu yang ingin dia lupakan, walapun kalau ditanya jawabannya adalah alasan teknis. Kalau disimak, posting Yoevita pada akun Facebook yang baru ini sangat berbeda dengan yang sebelumnya yang sarat dengan kegalauan, kemarahan, pemberontakan, dan sebangsanya. Pada akun yang baru ini lebih analitis dan intelek, walaupun puisinya tetap sama, banyak yang sangar juga. Diksi-diksi seperti onani, ejakulasi, masturbasi, bukan hal yang tabu buat Yoevita.”

            Penyair Yoevita lahir di Blitar tanggal 10 Februari 1966, aktif bersastra di komunitas Dapur Sastra Jakarta dan saat ini menjabat sebagai Bendahara pada Yayasan Dapur Sastra Jakarta. Opera Tujuh Purnama adalah buku kumpulan puisi tunggalnya yang kedua, berisi 72 puisi yang ditulis pada tahun 2019. Buku puisinya yang pertama, Pengantin Puisi, diluncurkan pertengahan tahun 2019 yang lalu di tempat yang sama, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Yoevita juga pemenang pertama pada kompetisi Woman of Words Poetry Slam 2019 pada Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2019 di Ubud, Bali.

            Acara peluncuran buku penyair Yoevita Soekotjo ini diselenggarakan oleh Yayasan Dapur Sastra Jakarta didukung oleh Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin dan Penerbit Teras Budaya Jakarta yang dikemas dalam kegiatan “Wisata Sastra”.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *