JAKARTA – Penyebaran corona virus atau biasa disebut Covid-19 terus meningkat setiap harinya. Bahkan per-tanggal 2 September 2020 saja, total kasus sudah mencapai 181 ribu orang.
Per harinya, jumlah kasus yang dinyatakan Covid-19 di Indonesia bisa mencapai 3000 kasus. Hal ini menjadikan negara Indonesia tertinggi di Asia Tenggara dengan jumlah terbanyak terkena virus tersebut.
Untuk itu, dalam rangka mengurangi penyebaran Covid-19 di lingkungan pengadilan di seluruh Indonesia, Mahkamah Agung (MA) menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Kejaksaan Agung dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) pada Senin 13 April 2020.
Kepala Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Kahumas PN Jakpus), Muslim mengungkapkan, sejak akhir Maret 2020, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran Pelaksanaan Sidang Secara Virtual. Keputusan yang memberlakukan sidang virtual tersebut dianggap tidak bertentangan dengan asas keadilan.
“Memang itu tidak ada di Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Itu adanya di Surat Keputusan Bersama (SKB) aja. Karena asas adil itu di antaranya cepat, biaya murah. Kalau kita nunggu orang itu datang ke persidangan. Misalnya orang itu datang dari Rutan atau Lapas (LP), dia itu kalau keluar tidak boleh masuk lagi,” ujar Muslim, Selasa (08/09/2020).
Menurutnya, sidang virtual saat ini yang diterapkan di PN Jakarta Pusat sangat efektif. Karena mampu mempersingkat waktu selama proses persidangan.
“Kalau menunggu datang ke pengadilan, itu lama prosedurnya. Makanya itu tadi saya bilang, kalau dia itu ditahan di LP, kalau dia keluar, nanti enggak bisa masuk. Efisien sekali. Malah mempercepat sidang,” ucapnya.
Hal itu sangat jauh berbeda sebelum pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Ia pun membandingkan proses persidangan vitual dengan sidang sebelum diberlakukannya sidang virtual tersebut.
Dalam suatu persidangan sebelum pandemi Covid-19, lanjutnya, itu sangat memakan waktu yang cukup lama. Prosedur yang rumit menjadikan suatu persidangan menjadi tidak efektif.
“Coba bandingkan dengan dulu sebelum pandemi itu, Jaksa datang ke pengadilan jam berapa? Membawa tahanan? Sekarang sidang jam berapa? Jam 10 pagi sudah sidang. Memang di KUHAP tidak diatur, cuman di SKB aja,” jelasnya.
Meskipun para terdakwa tidak dihadirkan secara fisik selama persidangan, namun Majelis Hakim tetap dapat memeriksa terdakwa dan dihadapkan kepada Majelis Sidang.
Bahkan, sidang virtual tersebut juga sudah diatur jauh sebelumnya di dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi.
“Di Undang-Undang Perlindungan Saksi juga ada di pasal 9. Itulah yang saya katakan adil. Adil itu unsurnya cepat, biaya murah, diantaranya terdakwanya tetap ada berhadapan dengan Majelis. Penasehat Hukumnya ada di pengadilan. Penuntut Umumnya tetap ada di pengadilan,” ujarnya.
Sidang virtual tersebut, juga sangat meminimalisir waktu dalam pemeriksaan saksi yang berada di luar kota. Dan juga meminimalisir biaya yang dikeluarkan untuk menghadiri persidangan.
“Kalau saksinya ada di persidangan bagus. Kalau tidak bisa maka dia juga virtual saksinya. Misalnya ada di Malang, kan dia datang ke sini kan enggak efisien. Maka dia berbicara dari Malang tentu efisien sekali kan,” jelasnya.
Namun, sidang tersebut tergantung dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan juga Kuasa Hukum untuk menghadirkan terdakwa dan saksi ke dalam persidangan.
“Bahkan yang korupsi itu juga hadir yang Jiwasraya. Nah, karena itu kan ditahan di Kejaksaan. Jaksa bisa menghadirkan,” imbuhnya.
Menurutnya, sidang virtual tersebut tidak bertentangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP). Ia mengukapkan, Surat Keputusan Bersama (SKB) yang disepakati oleh MA, Kejaksaan Agung dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) melalui Dirjenpas, dalam MOU itu merupakan keputusan yang diambil dalam menghadapi kondisi darurat untuk mengurangi penyebaran Covid-19.
“Bukan bertentangan. Memang tidak diatur di KUHAP. Tapikan ada SKB. Surat Keputusan Bersama (SKB). Menkumham, Kejaksaan Agung. Kan masalahnya di KUHAP itu bukan dalam keadaan darurat. Kalau ini kan karena keadaan darurat. Makanya karena tidak diatur di KUHAP dibuatlah,” lanjutnya.
Sementara itu, Muslim melanjutkan, sidang perdana sudah lebih dahulu menerapkan Sidang Online atau Sidang Jarak Jauh. Namun hal ini berbeda dengan sidang virtual yang diterapkan oleh pengadilan di musim Covid-19.
“Kalau Perdata E-court. E-court itu begini, jadi ada pengacara, dia sudah punya akun itu di pengadilan. Jadi jawabnya nanti itu secara E-court. Sebenarnya malah lebih duluan Perdata dari pada tindak Pidana. Perdata dari tahun 2019 sudah E-court. Gugatan orang itu tidak perlu datang ke sini. Di-upload dari rumah, lalu, gugatan itu akan dicetak di sini. Bayar dari rumah juga,” jelasnya lagi.
Dalam persidangan melalui E-court dalam perkara perdata, pihak-pihak yang bersengketa dapat saling memberikan jawabannya melalui akun E-court dalam batas waktu yang sudah ditentukan oleh Majelis Hakim.
“Misalnya, ditunda hari Kamis. Maksimal nanti pihak tergugat itu menjawab jam dua. Karena akan diverifikasi oleh hakim. Setelah diverifikasi, pihak penggugat bisa mengunduh. Nanti ditunda seminggu lagi. Pihak penggugat mengajukan Replik. Di-upload Kamis berikutnya, maksimal jam dua, kalau nanti hakim tidak melihat belum di-upload, maka dianggap enggak ada. Begitu kalau E-court,” lanjutnya.
Setelah pengajuan gugatan dilakukan, kemudian dalam sidang perdana, bagi para pihak yang bersengketa yang menggunakan Kuasa Hukum wajib melengkapi persyaratan pembuktian bahwa yang hersangkutan merupakan kuasa hukum dari pihak-pihak yang bersengketa.
“Pada saat sidang pertama, gugatan asli itu harus diserahkan. Lalu BAS-nya, kartunya, tapi waktu dia mendaftar enggak perlu datang ke sini,” katanya.
Selain itu, sidang E-court juga berlaku bagi para pihak yang bersengketa namun tidak menggunakan jasa pengacara atau Advokat. Majelis Hakim akan menawarkan kepada para pihak untuk melanjutkan sidang manual atau sidang secara online.
Sidang E-court dapat digunakan asalkan para pihak sepakat untuk melanjutkan sidang melalui online dan segera mendaftar akun E-court-nya di Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pengadilan tempatnya bersengketa.
“Tetapi kalau misalnya, pihaknya ini bukan pengacara, pengguna lainnya kalau enggak salah, akan ditawarkan oleh Majelis. Mau secara E-court atau manual. Kalau misalnya semuanya setuju, walaupun bukan pengacara, tapi wajib dia mendaftar dulu di PTSP untuk E-court-nya itu. Tapi kalau misalnya ini dia tidak setuju, dia enggak bisa, hanya manual saja,” pungkasnya (regjo)