Pementasan ‘Fermentasi Hujan Dalam Sepatu’

Udah makan Mek?
Belum, Tapi sudah kenyang
Kenyang? Kenyang makan apa?
Kenyang makan belum

Ini sepenggal dialog dalam pertunjukan Kantor Teater, Sabtu (28/10/2018) di Taman Budaya Sumut yang berjudul Fermentasi Hujan Dalam Sepatu (FHDS) sore pukul 16.00 Wib.

Bacaan Lainnya

Dimainkan oleh dua aktor kuat, Roy Julian dan Mamexandria, teater asal Jakarta ini, memberikan dua reportoar cerdasnya untuk penonton Medan. Satu lagi berjudul, Belajar Tertawa, yang dimainkan pada malamnya, pukul 20.00 Wib.

Meski genre teaternya tak berbeda, namun kedua reportoar ini dibedakan oleh sebuah kanvas yakni pada Belajar Tertawa. Sedangkan FHDS lebih kepada teater murni, sebuah etalase perjalanan mereka. Namun bisa juga ditangkap sebagai perjalanan hidup manusia.

Pementasan ini penuh makna. Mereka hanya menggunakan gerak gerak eksotic dan dialog dialog puitik yang sangat bisa dipahami dan bahkan dapat diresapi sebagai dialog dialog yang mengandung palsafah kehidupan.

Lihatlah bagaimana mereka menggugat tuhan (dengan huruf kecil) seperti dialog dalam reportoar, Belajar Tertawa;

Tuhan, maafkan aku
Sebagaimana, aku telah memaafkan mu, karena telah menciptakan aku.

Itulah gugatan kepada yang telah menciptakan. Sepertinya mereka ingin mengatakan bahwa mereka menerima penciptaan mereka apa adanya dan tunduk serta patuh.

Dalam pembicaraan dengan penulis kedua aktor hebat ini telah ditempa dalam 2 tahun perjalanan keliling Indonesia. Dalam setiap daerah mereka bertemu banyak hal. Mereka bertemu orang, mereka bertemu bahasa bahkan bertemu bukan siapa siapa dan bukan bahasa.

Dialog dialog puitik dan gerak yang sulit itu sesungguhnya menjadi magnet yang mampu menyedot perhatian penonton selama 45 menit itu. Mereka dengan cerdas menyiasati pertunjukan dengan irama permainan yang begitu indah dan terjaga.

Cerdas lantaran pertunjukan ini tak membutuhkan setting. Pentas hanya ada gelas kopi, botol air mineral dan ceret listrik yang berpungsi sebagai musik. Sedang properti mereka hanya dua buah ransel merah.

Celana jeans belel yang koyak koyak dengan menyandang ransel itulah pertunjuka FHDS dimulai. Dalam perjalanan, kita pun bertanya, Mau kemana kita? Dimana kita? Apakah kita telah sampai? Atau kita justru telah tersesat??

Dialog dialog dalam Belajar Tertawa terdengar lebih jenaka. Meski begitu kita serasa tak sanggup untuk tertawa. Kita dijebak dalam kebingungan sikap. Apakah kita harus tertawa atau malah menagis?

Apa pun itu, Kantor Teater telah menyadarkan kita, bahwa ruang pertunjukan adalah rumah sakit dan kita adalah pasiennya. Pertunjukan adalah obat. Lantas Tuhan ada di posisi mana? (aba)

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *