Pasca Musyawarah Masyarakat Kesenian Medan I Politik Kesenian Dalam Perspektif Negara

Foto: Peserta Musyawarah Masyarakat Kesenian Medan. (ist)

Oleh Thompson Hs*

MUSYAWARAH Masyarakat Kesenian Medan I yang berlangsung di Hotel Darma Deli Medan pada Sabtu 26 Maret 2016 lalu mengusung rekomendasi calon anggota Dewan Kesenian Medan (DKM) dari berbagai bidang seni dengan sejumlah catatan program kerja.

Bacaan Lainnya
Foto: Peserta Musyawarah Masyarakat Kesenian Medan. (ist)
Foto: Peserta Musyawarah Masyarakat Kesenian Medan. (ist)

Peserta yang dihadiri 200-an orang itu ditutup dengan acara bincang-bincang pada malam hari, seusai makan malam, bersama dua narasumber, yakni Wakil Walikota Medan dan Pejabat Kadisbudpar Medan dengan moderator Yose Rizal Firdaus, anggota Majelis Kesenian Medan dan mantan Ketua Dewan Kesenian Medan (sebelum diganti Shafwan Hadi Umri).

Topik bincang-bincang malam itu tentu saja sekitar kesenian di Medan yang diketahui oleh kedua narasumber sebelum dilengkapi oleh pertanyaan dari tiga orang seniman. Dalam bincang-bincang itu juga hadir anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sumut, Parlindungan Purba dan perwakilan etnis Batak Toba, Sanggam Bakara. Kesempatan menyambut menjelang bincang-bincang malam itu diberikan juga kepada Parlindungan Purba. Tantangan ke depan, menurut anggota DPD yang dua periode itu, bukan MEA, yang maksudnya singkatan Masyarakat Ekonomi Asia yang tertera di latar panggung selengkapnya sebagai tema musyawarah dengan konstruksi kalimat: Kesenian Medan Menuju MEA.

Tantangan ke depan yang disampaikan Parlindungan Purba ada tiga, dua di antaranya masih saya ingat, yakni: masalah lingkungan dan energi. Nah, fokus musyawarah itu sesungguhnya menampung lebih banyak apa yang bisa di tampung. Dua tahap setelah Musyawarah Masyarakat Medan I itu saya kira sudah mulai dipersiapkan. Tahap pertama itu adalah pertanggungjawaban Panitia Musyawarah, sebagaimana dituntun di BAB XII Pasal 26 di Tata Tertib Musyaarah.

Selengkapnya “Panitia Musyawarah Masyarakat Kesenian Medan I (redaksi diperbaiki dari Panitia Musyawarah Kesenian Medan ke-I) Tahun 2016 melaporkan pertanggungjawan penyelenggaraan Musyawarah Masyarakat Kesenian Medan I (diperbaiki lagi seperti semula) Tahun 2016 paling lambat 15 hari setelah Pelaksananaan Musayawarah Masyarakat Kesenian Medan (diperbaiki lagi) Tahun 2016 kepada Walikota Medan melalui Maejelis Kesenian Medan.”

Mekanisme pelaporan ini secara tersirat sudah jelas, termasuk pertanggungjawaban keuangannya yang notabene melibatkan Disbudpar Medan yang pada proses penutupan disingung ketika setiap peserta menerima amplop uang berisi Rp. 50.000,-. Tahap Kedua adalah agenda untuk memutuskan anggota DKM itu dari Walikota dengan “pengawasan” Majelis Kesenian Medan.

Sambil menunggu kedua tahapan itu selesai semoga masih ada masukan-masukan positif lainnya dari luar rekomendasi. Masukan positif itu tentu saja sudah kelihatan di fesbuk oleh sejumlah peserta yang terlibat dan mempunyai catatan serius. Semoga tulisan-tulisan lepas di media cetak dan lainnya dapat juga menjadi masukan kepada walikota kalau melalui Majelis Kesenian Medan pula. Termasuk tulisan ini lagi merupakan masukan yang bersifat pemikiran.

Pemikiran ini bersumber dari salah satu peserta bidang teater, yaitu: Munir Nasution yang dalam proses penyalingan 7 orang yang direkomendasikan dalam bidang teater turut mencalonkan, namun kemudian mengundurkan diri untuk mendorong pengurangan 12 orang menjadi 7 orang. Alasan itu lebih ketara. Namun saya menangkap sinkronitas lain karena sebelumnya dalam pembahasan kriteria internal bidang teater Munir Nasution menyinggung subjek Miras dan Narkoba. Saya tidak ingat persis redaksi kalimatnya untuk dicatat dan disampaikan kepada calon; antara menyampaikan tidak terlibat Miras dan Narkoba atau sebaliknya: terlibat Miras dan Narkoba. Yang jelas maksudnya tidak harus tegas dan tidak harus menjadi wilayah pembahasan di internal teater. Apapun maksudnya terlibat atau tidak terlibat dalam Miras dan Narkoba kelihatannya dapat diuji melalui pasal-pasal tertentu melalui Tata Tertib Musyawarah, seperti poin Sehat Jasmani dan Rohani serta tidak pernah terkait atau terlibat dalam kegiatan/perbuatan tindak pidana atau kegiatan/perbuatan yang sifatnya merugikan (Bab VIII Pasal 15 Poin 3 dan11).

Miras dan Narkoba kelihatannya sangat serius pada akhir-akhir ini. Terutama dalam pemberantasan narkoba seniman sudah dilibatkan melalui Seniman Anti Narkoba yang diresmikan untuk bekerjasama dengan Badan Penanggulangan Bahaya Narkotika skala nasional semacam BNN. Dua tahun lalu BNN Sumut mengajak sejumlah seniman Medan berrtukar pikiran di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) terkait narkoba. Munir Nasution adalah salah satu seniman yang proaktif dalam gerakan itu. Nah, kalau misi itu masuk dalam internal bidang teater ada kordinasi lanjutan yang harus dilakukan. Rujukan untuk kedua poin di atas menemukan salah satu teknisnya. Tinggal penegasan terlibat atau terlibat itu bagaimana? Anti Narkoba dapat bersifat tafsir dan bisa menganjurkan penutupan semua rumah sakit atau lembaga medis yang menggunankan obat bius untuk operasi dan terapi rehabilitasi. Terkait juga dengan miras.

Inti tentang pelarangan miras hanya kebijakan menutup produksi miras, namun secara perlahan akan merambah ke pelarangan minuman khas tradisional yang terkait dengan adat dan upacara.
Secara sendirinya yang disampaikan Munir Nasution dalam proses penggodokan syarat di internal bidang teater belum relevan atau sudah dipahami masing-masing kalangan seniman untuk tujuan khusus. Pengunduran diri Munir begitu baik dan mengharap percepatan penjaringan internal bidang teater. Namun gema yang disampaikan Munir Nasution mendorong saya kembali mengaitkan tema ceramah musyawarah. Maksudnya ada sebuah konteks yang digunakan. Konteks itu adalah perspektif negara. Sekarang negara masih gencar-gencarnya memburu para bandar narkoba dan elemen-elemen anti narkoba ikut berkampanye untuk mengatakan tidak terhadap narkoba. Selain narkoba, negara juga mengusut kasus-kasus korupsi. Pejabat tinggi sudah kena hukum. Dua gubernur Sumut sudah menjalani masa hukuman. Walikota Medan di masa tahun Perwal dikeluarkan juga masuk penjara. Nah, Musyawarah Masyarakat Kesenian Medan I semoga dapat mencuci masa lalu para gubernur dan walikota yang korupsi itu.

Narkoba dan Korupsi memang skandal sebuah negara. Saya teringat dengan Paulo Coelho, penulis asal Brazil atas pernyataan itu melalui salah satu tokoh di dalam novelnya yang berjudul Adulterio (terjemahan Indonesia: Selingkuh – Kompas Gramedia, 2014). Kesadaran atas skandal melalui narkoba dan korupsi sudah lama dilakukan di negara-negara maju. Paulo Coelho sebelum menjadi novelis adalah pecandu narkoba. Namun kemudian menghindarinya setelah tuntas dengan diri sendiri sebagai seniman musik. Terutama masalah narkoba di negara-negara maju terkait dengan penyalahgunaan. Sedangkan masalah korupsi juga menjadi bagian dari sanksi sosia d. Di negara majutidak melupakan track record para koruptor. Sedangkan Indonesia, mungkin karena belum menjadi negara maju sedang menyelesaikan masalah-masalahnya secara tidak tegas. Dalam penanggulangan kasus narkoba dan korupsi tidak setara. Dalam kasus narkoba ada hukuman mati. Sedangkan dalam kasus korupsi belum ada istilah hukuman mati. Padahal bisa saja diasumsikan adanya skandal narkoba dan korupsi di Indonesia tidak jauh dari jargon: Uang Korupsi Beli Narkoba, Uang Narkoba dikorupsi.

Narkoba dan Korupsi dalam konteks kesenian dan kota Medan tergantung nanti tergantung kepada negara. Pemerintah dalam konteks perpekstif negara yang disampaikan dalam ceramah tetap saya artikan berbeda dengan negara. Ini sebuah pengalaman atas berbedanya negara dan pemerintah. Pengalaman ini bersifat pribadi atau tim. September – Oktober 2015 lalu kami ke Jerman kembali setelah 2013 membawa pertunjukan Opera Batak. pada 2015 lalu kami tidak diberangkatkan atas dukungan pemerintah Medan maupun Sumatera Utara, meskipun sudah ada informasi melalui surat formal untuk kantor gubernur. Namun misi kesenian keluar negeri tidak harus selalu tergantung pemerintah daerah atau pusat. Ada saja yang baik hati untuk mendukung misi dan diplomasi kesenian ke luar negeri tanpa harus mengganggu keuangan pemerintah. Namun pengalaman pribadi ketika bertemu dengan sekretaris Kedutaan Besar Republik indonesia (KBRI) di Jerman seperti menegaskan perbedaan pemerintah dengan negara.

KBRI memberikan fasilitas untuk kami setelah sampai di Jerman. Malahan dalam konteks promosi geopark Danau Toba sangat berterima kasih. Namun saya juga menyampaikan terima kasih kepada sekretaris kedutaan karena ada pemerintah Indonesia di Jerman mendukung kami. “Oh, ini bukan masalah pemerintah,” kata sekretaris kedutaan, “Ini masalah negara.” Demikian penegasannya ketika fasilitasi untuk tim dilakukan oleh negara, bukan pemerintah. Dalam Kongres Kesenian Indonesia III di Bandung pada Desember 2015 lalu, pengalaman itu mulai saya sampaikan. Namun perbedaan pemerintah dan negara tidak semua bisa berterima. Malah meyamakannya saja, meskipun sejumlah seniman yang pernah ke luar negeri dapat memahami ini.

Salah satu peserta waktu bincang-bincang dengan dua narasumber pada malam Musyawarah Masyarakat Kesenian Medan I berharap ada kegiatan kesenian yang diprogram secara Internasional. Masyarakat Kesenian Medan sepertinya sudah siap dengan berbagai hal terkait level Internasional, termasuk komunikasi bahasa dan pengelolaan kegiatan. Semoga saya tidak salah membuka lembaran pengalaman pribadi pengelolaan atas organisasi kesenian dan seni pertunjukan melalui dua kali pelatihan managemen. Pengalaman penting yang tetap teringat dan dilaksanakan terkait laporan keuangan yang tidak bisa mencantumkan rokok, jenis alkohol, dan bensin di lembaran laporan. Jadi tentu saja Miras dan narkoba itu jangan sampai tertulis dalam laporan keuangan. Itu aturan Internasional. Semoga ini masukan sebelum terjadi sesuatu setelah dua tahap yang dinanti-nantikan itu! Saya sendiri tidak dapat menyangkal bisa minum bir dan anggur sesekali setiap habis makan daging serta pernah disuntik obat bius ketika hendak operasi digestif. Mungkin soal korupsi saya tidak berani, kecuali korupsi teks yang sudah biasa dalam wacana sastra yang pernah saya geluti. Semoga masukan pemikiran ini bermanfaat.

Medan, 28 Maret 2016-03-28

*Penulis adalah peserta bidang teater.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan