Oleh : Budi Hatees
LAIKNYA sastra lisan daerah, isinya melulu tentang nasehat. Cuma, ia punya tokoh nyata, orang-orang yang ada di sekitar masyarakat, di sekitar penutur.
Penutur Onang Onang semakin sulit ditemukan. Japangemanan Lubis adalah penutur terakhir di Kampung Setia. Bisa dihitung jumlah penutur seperti dirinya di lingkungan masyarakat Batak Angkola di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, Padanglawas, Padanglawas Utara, dan Kota Padangsidempuan. Empat kabupaten/kota ini disebut juga bagian dari Tapanuli bagian Selatan (Tabagsel). Sebagain besar masyarakatnya beradat Batak sub suku Angkola.
Batak Angkola nyaris tidak pernah disingung dalam pembicaraan para antropolog tentang Batak. Tak banyak referensi tentang masyarakat Batak Angkola, padahal dinamika budaya Batak di Provinsi Sumatra Utara menjalar dari Selatan ke Utara. Mengacu pada hasil penelitian Prof Dr. Uli Kozok tentang bahasa Batak, ia menyimpulkan asal-usul bahasa Batak berasal dari Selatan lalu ke Utara.
Di Selatan dari Provinsi Sumatra Utara, biasa disebut Tapanuli bagian Selatan (Tabagsel), dominan dihuni masyarakat Batak Angkola. Jika bahasa Batak berkembang pertama kali di Selatan, berarti berkembang di lingkungan masyarakat Batak Angkola. Dengan simpul soal bahasa Batak ini, bisa ditafsirkan bahwa kebudayaan Batak yang dikenal luas saat ini pun berawal dari Batak Angkola.
Hanya kebudayaan tinggi yang mampu menghasilkan bahasa. Kebudayaan Batak Angkola memiliki bahasa sendiri dengan aksara yang khas. Karena itu kebudayaan Batak Angkola bisa disebarluaskan ke berabagai daerah di wilayah Provinsi Sumatra Utara.
Tapi soal genekologi kebudayaan Batak ini ditentang para penganut budaya Batak di Utara dengan menciptakan mitos Pusuk Buhit sebagai asal mula si Raja Batak. Namun, sejumlah literature yang menjadi acuan tentang asal mula kebudayaan Batak dari Pusuk Buhit ini mengacu pada politik kebudayaan yang dikembangkan para antropolog Belanda, yang syarat kepentingan politik untuk memperkuat kekuasaan kolonialisme di Tanah Batak.
Japangemanan Lubis tak percaya pada mitologi yang memposisikan Utara sebagai pusat perkembangan kebudayaan Batak. Lewat onang-onang yang dituturkan Japinan Lubis, sejarah Batak itu makin kokoh bermula dari Selatan.
Warga makin memadati tanah lapang. Sekali-sekali tawa mereka lepas ketika penutur memilin syair dengan memasukkan nama salah seorang warga sebagai tokoh. Suara tawa semakin kencang ketika seseorang atau beberapa orang keluar dari kumpulan warga yang menonton, maju ke depan para pemain musik, lalu menarikan Tortor.
Baca Juga: http://www.gapuranews.com/nungneng-alat-musik-tradisional-batak-angkola-yang-dilupakan-1/
Tot tor adalah seni tari tradisional milik masyarakat Batak Angkola. Gerakan dasar tari Tor Tor berbasis pencak silat. Prof Dr. Edy Sediawati dalam bukunya, Tari Nusantara yang diterbitkan Departemen Pendidikan Nasional tahun 1980-an, menyebut sebagian besar tari tradisional mempunyai gerak dasar pencak silat. Tari seperti itu diwarisi dari kebudayaan Melayu.
Mengacu pada simpul Edy Sediawaty itu, bisa dibilang Tor Tor mendapat pengaruh dari kebudayaan Melayu, terutama pada tradisi zapin Melayu. Simpul ini tak terbantah jika dikatakan bahwa kebudayaan Batak Angkola memiliki kemiripan dengan kebudayaan Melayu.
Saya ingat pernah berbincang dengan Tom Ibnur, Direktur Langka Budaya Taratak (Taratak Cultural Center), pada tahun 2003. Saat itu Tom Ibnur bersama temannya dari Universitas Kebangsaan Malaysia, sedang meneliti zapin (tari Melayu) di Nusantara dan pengaruhnya terhadap tari tradisional di sejumlah daerah di Indonesia.
“Pengaruh Melayu sangat kuat pada semua kebudayaan yang ada di Pulau Sumatra. Pengaruh itu bisa ditemukan dalam tari-tari tradisional,” kata Tom Ibnur.
Tor Tor adalah tari tradisional masyarakat Batak. Berbeda dengan Tor Tor yang selama ini dikenal masyarakat umum, yang hanya mengandalkan gerakan telapak tangan terbuka, Tor Tor milik masyarakat Batak Angkola lebih mirip zapin yang ditampilkan muda-mudi, misalnya Serampang Duabelas.
Kemiripan antara Tor Tor dengan Serampang Duabelas makin terlihat ketika tiga pasang muda-mudi muncul. Mereka menarikan Tor Tor Naposo-Nauli Bulung (Tor Tor Muda Mudi). Tor Tor yang ditarikan muda-mudi ini berkisah tentang kehidupan muda-mudi dalam mencari jodoh.
Setiap penari Tor Tor boleh memilih siapa yang akan didampinginya, acap terjadi rebutan pasangan. Dalam penyelenggaraan siriaon (adat untuk kegiatan bahagia seperti pernikahan), biasanya diberikan kesempatan bagi muda-mudi untuk menarikan Tor Tor. Waktu manortor (menarikan Tor Tor) untuk muda-mudi biasanya malam hari, ketika bulan purnama. Mereka yang belum punya pasangan, baik laki-laki maupun perempuan, akan turun ke arena.
Di arena, para pemuda akan rebutan mendampingi para gadis. Tapi, pasangan yang dipilih tidak boleh semarga karena berarti masih saudara sedarah. Harus mencari pasangan dari marga lain.
Secara administratif Kampong Setia berada di Kelurahan Tinjoman, Kecamatan Hutaimbaru, Kota Padangsidempuan. Tidak sukar untuk sampai ke sana. Memakan waktu tak sampai setengah jam lewat jalur darat dari ibu kota Kota Padangsidempuan.
Penduduk di kampung ini merupakan masyarakat Batak beradat Angkola. Batak Angkola adalah warga dominan di wilayah Tabagsel, terutama Kabupaten Tapanuli Selatan. Menyebar dari Batangtoru, Batang Angkola, Sibuhuan sampai Sipirok.
Pada zaman kolonialisme, Belanda membagi Keresidenan Tapanuli ke dalam beberapa distrik. Tiap distrik dinamai sesuai suku dominan di wilayah itu. Salah satu Distrik Angkola-Sipirok, mencakup wilayah Kecamatan Angkola, Sipirok, Padangsidempuan, dan Padanglawas. Penduduk di distrik ini suku Batak dari sub Angkola.
Pasca reformasi 1999, Kota Padangsidempuan berdiri sendiri sebagai sebuah daerah otonom. Dimekarkan dari wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan. Sejak itu, masyarakat Batak Angkola yang ada di Kota Padangsidempuan terputus secara administratif dengan masyarakat Batak Angkola di daerah lain.
Pemekaran wilayah membawa imbas negatif pada perkembangan budaya yang dianut penduduk Kampung Setia. Dalam penuturan penduduk, sejak menjadi bagian dari wilayah Kota Padangsidempuan, kehidupan masyarakat di Kampung Setia bagai dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan status kota. Tapi, warga kampung sulit lepas dari nilai-nilai dan tradisi adat warisan leluhur budaya Batak Angkola.
“Kami memilihara seni tradisi dan nilai-nilai adat. Tiap Sabtu malam, kami gelar acara seperti ini,” kata Rifin Siregar.
Para pemainnya adalah orang tua, seusia dengan Rifin Siregar. Belum ada regenerasi, meskipun tujuan awal untuk melakukan regenerasi. “Kami yakin, generasi muda akan tertarik. Tinggal membiasakan saja,” kata Japangemanan Lubis.
Rifin Siregar dan Japangemanan Lubis bercerita, dimulai tahun 2000. Berawal dari kekhawatiran atas keperdulian generasi muda terhadap seni budaya tradisional. Sejumlah orang tua, yang sering berkumpul di kedai kopi, bersepakat membuat alat-alat music tradisional seperti Nungneng, Seruling, Uyupuyup, Tulila, dan lain sebagainya.
Alat-alat music tradisional itu sengaja ditaruh di kedai kopi. Jika kebetulan sedang berada di kedai kopi, para orang tua akan memainkannya. Strategi pengenalan seni music tradisional ini ternyata efektif. Anak-anak muda, yang tak pernah mengenal alat-alat music tradisional itu, punya rasa ingin tahu. Mereka mencobanya, meskipun tak tahu cara menggunakannya.
“Sejak itu kami putuskan tampil setiap Sabtu malam agar masyarakat mentyukai alat music tradisional ini,” kata Japainan Lubis.
NUNGNENG
Nungneng memiliki sejarah yang panjang dalam tradisi masyarakat Kampung Setia. Jauh sebelum mengenal gendang, Nungneng berfungsi sebagai gendang. Setiap kali acara adat hendak digelar, yang diikuti dengan berbagai kegiatan kesenian, masyarakat tak perlu mencari gendang. Gendang adalah tradisi alat music yang datang belakangan, hasil asimilasi dari jazirah Arab.
Dibandingkan gendang, Nungneng sangat sederhana. Kesederhanaan Nungneng menyebabkan alat music ini tidak bisa disimpan. Bentuknya berupa satu ruas bambo yang mudah lapuk. Jika ingin memainkan Nungneng, tinggal mengambil bambo dan membuat alat baru.
“Semakin lama disimpan, Nungneng semakin tidak bisa dipakai,” kata Rifin Siregar.
Meskipun bentuknya sederhana, tapi Nungneng kaya akan ragam nada. Nada yang dihasilkannya dari kulit bambo yang dijadikan senar, mendenting seperti nada yang dihasilkan gong kecil. Sedangkan nada yang dihasilkan dari bagian bawah, mirip seperti nada yang dihasilkan gendang saat ditabuh.
Dibandingkan kampong-kampung lain di Kota Padangsidempuan, Kampung Setia menjadi satu-satunya perkampungan yang tetap setia menjaga kelestarian kesenian tradisional masyarakat Batak Angkola. Sebab itu, perlu perhatian khusus dari pemerintah untuk memotivasi masyarakat agar tetap menjaga keberlanjutan tradisi ini.
“Kami mengharapkan ada upaya pemerintah mengangkat citra Nungneng sebagai alat music tradisional dengan memperkenalkannya kepada masyarakat luas. Misalnya, pemerintah menggelar pertunjukan Nungneng sehingga rasa memiliki masyarakat terhadap alat music ini menjadi lebih tinggi,” kata Bahrum.
Pemerintah Kota Padangsidempuan mestinya bisa mengemas tradisi music Nungneng di Kampung Setia sebagai produk pariwisata. Para wisatawan yang ingin melihat pertunjukan Nungneng, bisa dibawa ke Kampung Setia. Kapan saja, warga bisa diminta menampilkan pertunjukkan Nungneng.
Untuk itu, pemerintah daerah perlu menjalin kerja sama dengan biro-biro perjalanan atau para pemandu wisata guna mempromosikan kesenian Nungneng yang ada di Kampung Setia kepada para wisatawan. Dengan begitu, tradisi Nungneng akan lebih dikenal.
Pada akhirnya ini akan membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat Kampung Setia. Sangat potensial bila Kampung Setia ditata dan dipersiapkan sebagai salah satu objek pariwisata di Kota Padangsidempuan.(Selesai/gr)