Bukan Tak Mungkin kelak Akan Lenyap
Oleh: Budi Hatees
TAK banyak yang pernah mendengar kata ‘Nungneng’, salah satu jenis alat musik tradisional milik masyarakat adat Batak dari subkultur Angkola. Bentuknya hanya seruas bambu. Masih hijau warnanya, karena baru ditebang.
Nungneng dibunyikan dengan cara dipukul pakai tongkat bambu. Nada yang dihasilkannya sangat kaya, seperti bunyi tetabuhan gendang. Sebab itu, nungneg dipakai sebagai musik pengiring tarian Tor Tor. “Sebelum gendang dikenal, nungneng sudah ada,” kata Japangemanan Lubis, orang yang dikenal sebagai parsitogol.
Tahun 2013 lalu, saya bertemu Japangemanan Lubis di di Kampung Setia. Perkampungan itu berada di wilayah Kecamatan Hutaimbaru, Kota Padangsidempuan.
Dikelilingi bentangan lahan pesawahan yang menghijau, dari kampung itu bisa melihat Dolok Lubuk Raya, gunung berapi aktif yang menjadi kawasan Cagar Alam Dolok Lubuk Raya.
Kampung Setia dihuni masyarakat Batak berkultur Angkola, bermarga Harahap, Siregar, Lubis, Hutasuhut, dan Dalimunte. Ada juga masyarakat di luar marga itu, mereka dianggap sebagai pendatang. Kehadiran mereka karena pernikahan, dan telah berasimilasi dengan masyarakat setempat.
Pembuka kampung (panusunan bulung) di Kampung Setia, sama seperti sebagian besar perkapungan di Kota Padangsidempuan, bermarga Harahap. Marga-marga lain adalah pendatang dari wilayah Angkola Barat maupun Angkola Selatan. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai petani, pengolah sawah dan kebun terutama salak.
Salak dari Kampung Setia memberi andil bagi lahirnya julukan Kota Salak yang melekat pada Kota Padangsidempuan. Tapi kebun salak di Kampung Setia masih muda, baru muncul sekitar 1980-an, ditanam oleh orang-orang yang pindah dari parsalakan kawasan kebun salak terbesar di Pulau Sumatra, yang masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.
Saya berkunjung ke Kampung Setia pada 2014 lalu. Mengobrol dengan Japangemanan Lubis tentang nungneng, dan akhirnya saya bisa membujuk agar dia bersedia menampilkan pertunjukan nungneng. Dia menawarkan agar saya datang Sabtu malam, dan dia akan mengumpulkan semua warga untuk menampilkan pertunjukan nungneng.
Sabtu malam, saya datang. Kampung Setia kerap dibekap angin yang berembus dari kawasan hutan Cagar Alam Dolok Lubuk Raya. Dingin menggigit. Saya menaikkan kerah jaket, melangsir langkah memasuki gang antar rumah dan berhenti di sebuah tanah lapang.
Pada siang hari, tanah lapang itu berfungsi sebagai tempat penjemuran padi milik sebuah huller. Malam berubah menjadi ruang publik, tempat sekitar 50 kepala keluarga masyarakat perkampungan itu berkumpul.
Setiap Sabtu malam, apalagi bila bulan sedang purnama, warga akan menggelar acara. Inilah keunikan Kampung Setia dibandingkan desa-desa lain di Kota Padangsidempuan.
Lima laki-laki dewasa berkumpul di teras sebuah rumah, duduk di atas tikar pandan. Disiram cahaya muram dari bola lampu, ditambah pendar sinar bulan yang menyala di langit. Kelima orang itu meriung, bercakap-cakap. Gelas kopi di hadapan mereka.
Tiga orang memegang nungneng. Saya belum pernah melihat alat music ini langsung, hanya pernah mendengarnya. Bentuknya seruas bambu sepanjang 40 cm dengan diameter 15 cm. Pada bagian atas, ada tiga senar dari sembilu bambu. Di bagian bawah, ada lubang berdiameter 5 cm.
Japangemanan Lubis memegang seruling bambu. Warna hijau bambu belum hilang pertanda seruling itu baru dibuat. “Baru tadi siang saya buat,” kata Japangemann Lubis. Nungneng ini pun baru tadi siang dibuat.
Malam itu Japangemanan Lubis memakai seragam pegawai negeri sipil (PNS), melilitkan kain sarung motif kotak-kotak di lehernya. Ia mengaku baru datang dari Padanglawas dan belum sempat mengganti pakaian.
Lantaran janji dengan saya, ia terpaksa langsung ke lapangan. Seorang lainnya memegang Uyup-uyup. Alat musik ini sejenis seruling, tapi ukuran sebesar pensil dengan tiga lubang pada permukaannya. Laki-laki yang memegang Uyup-uyup itu mencoba meniup alat musiknya. Suara yang keluar melengking, padu dan membulat.
Seorang anak muda keluar masuk dari dalam rumah. Ia mempersiapkan mikrofon dan mengetes berkali-kali. Malam itu langit cerah. Tanah lapang di hadapan teras rumah itu mulai dipenuhi warga ketika sebuah orkestra alat musik tradisional masyarakat Batak Angkola dimainkan. Japangemanan Lubis meniup seruling pada not sebuah lagu tradisional berbahasa Batak Angkola: Marsalak.
Instrumen lagu yang berkisah tentang muda-mudi yang memetik salak sambil bercanda, mulai mengentak ketika tabuhan nungneg meningkahi. Pundak Rifin Siregar (68), penabuh Nungneng yang bertubuh gendut, bergoyang mengikuti irama. Dua temannya, Bastian Dalimunte (58) dan Bahrum Siregar (50) juga menabuh Nungneng tersenyum melihat gerakan tubuh temannya. Sahat Siregar (67), memegang Uyupuyup, juga bergoyang.
Jari-jemari tangan kanan ketiga orang yang memegang nungneng, lincah mengetuk senar-senar pada bagian atas dari bambu itu dengan tongkat bambu yang diraut. Sementara tangan kiri menabuh bagian bawah nungneng. Ketukan dan tabuhan itu mengeluarkan suara dengan harmoni bunyi yang padu. Disisipi nada tinggi seruling yang sekali-sekali melengking.
Lagu pembukaan itu berdurasi lima menit. Lebih dari cukup untuk memaksa warga keluar dari rumah masing-masing. Ibu-ibu, anak-anak, bapak-bapak, dan muda-mudi berkumpul. Mereka membuat setengah lingkaran menghadap kepada para pemusik. Lima laki-laki pemusik itu tertawa sambil meminta penonton bertepuk tangan.
Selang beberapa menit, Japangemanan Lubis kembali meniup seruling. Setiap lagu selalu dibuka dengan suara seruling. Kali ini Sahat Siregar meningkahi dengan meniup uyup-Uyup. Tabuhan nungneng menyusul. Japinan Lubis berhenti meniup seruling.
Kali ini ia merangkap sebagi vokalis. Warga setempat menyebutnya par onang-onang. Ia mendendangkan syair-syair , sastra lisan yang menceritakan realitas kehidupan sosial masyarakat saat ini. Itulah Onang Onang, jenis sastra lisan khas masyarakat Batak Angkola berpola pantun. Sastra lisan semacam prosa pantun, dituturkan dengan kesadaran kuat untuk beramanat. (bersambung/gr)
http://www.gapuranews.com/nungneng-alat-musik-tradisional-batak-angkola-yang-dilupakan-2/