JAKARTA – Novel ‘Bumi Manusia’ adalah buku pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer difilmkan dengan judul yang sama oleh Hanung Bramantyo dengan durasi 3 jam masa pemutaran.
Sejak 15 Agustus 2019, film ‘Bumi Manusia’ akhirnya resmi ditayangkan di bioskop. Begitu tayang perdana kontan menjadi trending di media massa seperti Twitter.
Walau berdurasi cukup panjang, tapi tidak membuat jenuh. Film yang dibintangi artis Marcela Zalianty, Cinta Laura, Tissa Biani, dan Maudy Ayunda dan Cinta Laura ini memberikan kesan yang mendalam.
Sebagai sutradara Hanung menilai karyanya memiliki pesan tentang semangat bagaimana menjadi Indonesia. Yakni, bagaimana menjadi Indonesia yang modern, yang sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia.
Menjadi Indonesia itu bukan berarti menjadi primordial, menjadi nasionalisme yang merasa paling benar, ataupun paling kaya. Tapi menyadari bahwa Indonesia itu setara dengan bangsa lain.
Novel ‘Bumi manusia’ merupakan buku kesatu dari empat buku–diistilahkan sebagai tetralogi- lebih tepatnya ‘Tetralogi Buru’, yang ditulis oleh salah satu penulis tersohor sekaligus kontroversial yang dimiliki oleh Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.
Di tahun 1980 penerbit Hasta Mitra pertama kali menerbitkan novel Bumi Manusia. Novel berat ini memiliki genre Historical Drama. Begitu termashyurnya novel Bumi Manusia sampai-sampai diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Maxwell Lane supaya bisa ikut dibaca dan dipahami isinya oleh orang asing yang sangat tertarik dengan novel ini.
Saat mendekam di dalam penjara itulah, di Pulau Buru, di tahun 1975, Pramoedya Ananta Toer menulis Bumi Manusia.
Kisahnya tentang percintaan antara Minke dan Annalies Mellema yang juga menjadi pengikat cerita. Dalam perjalanannya, penonton akan melihat Minke, seorang Jawa totok yang dekat dengan kehidupan bangsa kolonial, dalam hal ini keluarga Annalies, yang merupakan blasteran Indonesia-Belanda.
Mellema, ayah Annalies dari Belanda, sementara Nyai Ontosoroh, ibunya yang seorang gundik asli Jawa. Minke bukanlah nama aslinya. Itu sebuah hinaan yang diucapkan bangsa kolonial. Ada yang beranggapan Minke merupakan plesetan dari kata monkey atau monyet.
Nama ama asli Minke adalah Tirto Adhi Soerjo. Sebenarnya ayah Minke cukup terpandang. Dia baru saja menjadi bupati. Namun tetap saja, ayah Minke tidak suka kedekatannya dengan Ontosoroh.
Kala itu, derajat gundik sama dengan hewan peliharaan. Namun Minke berpandangan lain. Kedekatannya dengan Nyai Ontosoroh membuka pandangannya tentang dunia Eropa.
Nyai Ontosoroh juga cerminan budaya Eropa yang sedang marak saat itu. Berbeda dengan pemikiran Eropa, Nyai Ontosoroh memercikkan api perlawanan terhadap penindasan. Tidak peduli walaupun mereka merupakan Jawa tulen. Perjuangan yang dimulai saat pengadilan akan menggugat status Annalies dari pengasuhan Nyai Ontosoroh. (**/red)