JAKARTA – Pengamat Politik Internasional sekaligus Direktur Eksekutif The Indonesian Democracy Initiative (TIDI) Arya Sandhiyudha menyatakan bahwa Pandemi Covid-19 di Indonesia baru akan berakhir paling cepat 2021.
“Prediksi skenario Pandemi Indonesia baru berakhir paling cepat 2021 ini sudah kami sampaikan sejak Februari. Saya melihat skenario ini potensial bergantung tiga faktor utama: kecepatan waktu penemuan vaksin, pemulihan mayoritas dunia secara global, dan pertumbuhan banyak episenter penyebaran baru di dalam negeri,” tutur Arya melalui keterangan tertulis, Kamis (14/5/2020).
Arya Sandhiyudha menyebutkan semua prediksi skenario 2020 menjadi akhir Pandemi Covid-19 sudah banyak yang mengalami revisi. Bahkan, menurut dia, sejumlah pihak yang sebelumnya sudah memprediksi Pandemi Covid-19 akan berakhir bulan Maret, April dan Mei, satu per satu sudah merevisi prediksinya.
“Kemudian, kita akhirnya semakin sadar bahwa kita memang akan mengalami ini dalam waktu yang agak lama. Prediksi saya soal skenario 2021 bukan tidak mungkin, karena sudah ada beberapa penelitian di luar negeri yang menyebutkannya juga. Situasi global akan berpengaruh pada domestik, karena perhubungan dan keimigrasian Indonesia masih sangat terbuka,” ujarnya.
“Sepertinya ini akan seperti marathon jarak jauh dan jangka panjang, bukan sesederhana kita melewati puncak lalu selesai. Ini akan menjadi seperti ‘gelombang soliton’ yang terus bergulir dan bergulung,” tambahnya.
Menurut Arya, prediksi skenario 2021 tersebut tergantung pada kebijakan yang berlaku. Tidak bisa sekedar prediksi, Forecast atau Modelling yang kuantitatif. Ia melihat arah pandemi ini juga secara kualitatif dan pendekatan budaya, perilaku masyarakat dan kemampuan pemerintah mengoordinasikan faktor kesehatan, sosial, ekonomi dan politik dalam kebijakan publik.
Arya mengambil contoh studi Minnesota yang menjelaskan tiga kemungkinan skenario untuk wabah Pandemi Covid-19 ini. Skenario 1: gelombang kasus COVID-19 saat ini diikuti oleh serangkaian gelombang susulan yang lebih kecil, atau “puncak dan lembah”, yang terjadi secara konsisten selama periode satu hingga dua tahun, tetapi secara bertahap akan berkurang sekitar tahun 2021.
Skenario 2: gelombang awal COVID-19 pada 2020 diikuti oleh gelombang kasus yang “lonjakan” nya jauh lebih besar. Selanjutnya, satu atau lebih gelombang yang lebih kecil dapat terjadi pada 2021.
Skenario 3: gelombang awal COVID-19 diikuti oleh pola gelombang nya “tidak jelas”, tapi terus berlangsung hingga 2021.”
Arya mengatakan, bahwa pertimbangan relaksasi PSBB dapat dipahami. Katanya, jika pemerintah melakukan relaksasi atas dasar kesadaran bahwa wabah ini akan bergelombang kasus barunya, itu bisa dipahami.
“Syaratnya, pemerintah melihat perlu secara berkala melakukan langkah dinamis dalam mengetatkan dan mengendurkan langkah-langkah mitigasi, seperti jarak sosial, dan terus menguatkan sistem pelayanan kesehatan. Jangan terus menerus longgar sementara budaya masyarakat untuk berdisiplin dengan protokol kesehatan belum solid,” tutur Arya.
Prediksi skenario 2021 yang dikeluarkan TIDI setelah melakukan serangkaian diskusi bersama para Doktor dan pakar muda lintas disiplin ilmu. “Ingat juga prediksi kita sebelumnya sudah beberapa kali terbukti. Misalnya soal kasus
melewati angka empat ribu kasus, dan prediksi tersebut terbukti,” katanya.
Arya mengatakan meski PSBB adalah pilihan kebijakan paling longgar, namun tetap berhasil memberikan dampak penurunan aktivitas/kunjungan masyarakat ke tempat kerja, tempat rekreasi, tempat transit, tempat belanja/pertokoan/mall dan tempat parkir.
“Terbukti menekan aktivitas di tempat-tempat tersebut di atas sampai 80% dari periode sebelumnya. Sedangkan aktivitas di rumah atau tempat tinggal meningkat sampai mendekati 40%. Ini menunjukkan kepatuhan masyarakat terhadap pelaksanaan PSBB. Meskipun, untuk tempat kerja penurunan hanya berkisar 40% alias masih ada 60% yang beraktivitas,” terang Arya.
Arya berpendapat, PSBB memberikan dampak signifikan menurunnya angka kasus baru di Jakarta. “angkanya telah mengikuti tren/garis regresi linier dengan R2 yang tinggi (0,9943),” ujarnya.
Namun demikian, diperlukan kehati-hatian dalam menentukan indikator perlu dan tidaknya relaksasi diberlakukan pada suatu wilayah. Misalnya, dengan menggunakan R real-time (Rt) yaitu ukuran tingkat reproduksi efektif yang menunjukkan jumlah orang terinfeksi oleh orang yang sudah terinfeksi sebelumnya pada waktu t. Tentunya analisa kuantitatif ini musti dilengkapi analisa kualitatif soal perubahan prilaku dan pembatasan, karena pengetatan atau perubahan prilaku akan mengubah Rt.
“Jadi kalau Rt nya R>1 maknanya penyebaran penularan lebih cepat dan luas. Jika R<1 maka penyebaran melambat dan akan berhenti jika konsisten dalam rentang waktu tertentu,” katanya.
Arya juga mengurai beberapa faktor lain yang menjadi argumentasi kenapa akhir Pandemi Covid-19 bisa berlangsung lama di Indonesia.
“Yang utama selain tentunya terkait healthcare capacity, yaitu fakta tingginya kepadatan sosial (density area), red zone merata di semua kelurahan untuk DKI dan tumbuhnya Jawa Timur sebagai kandidat episenter baru, kultur yang belum mendukung disiplin PSBB efektif, lifestyle, dan tuntutan sosio-ekonomi kelas menengah ke bawah,” terangnya.
“Mau tidak mau dengan prediksi skenario 2021 yang marathon ini healthcare capacity mesti ditingkatkan dan dioptimalkan. Belum lagi keterbatasan ruang isolasi, tekanan negatif, ruang ventilator, dan tenaga kesehatan dengan spesifikasi yang berbeda. Sehingga tidak ada jalan lain, healthcare capacity atau diagnostic capacity mesti ditingkatkan,” tambahnya. (rel)