DEN HAAG – Era digital yang berkembang semakin pesat, ibarat dua sisi mata koin yang memiliki imbas positif dan negatif di berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks nasionalisme, semakin membiasnya batas antar negara karena teknologi informasi dapat menggerus nasionalisme seseorang, namun dapat pula menjadi sarana untuk membina dan meningkatkan nasionalisme seseorang.
Diskusi tersebut mencuat di tengah acara Bincang Nasionalisme: Redefining Nationalism from Students’ Perspective, yang dilaksanakan pada 28 Mei 2021 atas kerja sama KBRI Den Haag dengan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda.
Digelar secara hibrida (fisik dan daring) di kota Utrecht, kegiatan tersebut dihadiri oleh Dubes RI Den Haag dan diikuti oleh 52 peserta dengan menghadirkan pembicara seperti Bonnie Triyana (sejarawan, pemimpin redaksi majalah Historia), Ajeng Arainikasih, Ph.D. (peneliti museum) dan Samantha Alice Prasetya (pelajar Indonesia di Universitas Erasmus, Rotterdam).
Bonnie Triyana menjelaskan sejarah nasionalisme Indonesia dari tahun 1908 hingga tercetusnya konsep nasionalisme modern melalui Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945, yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila. Ia juga menyampaikan tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini dengan bermunculannya kelompok masyarakat yang lebih mementingkan kepentingan golongan. Lebih lanjut, ia menjabarkan usaha Historia menanggapi isu tersebut dengan membuat proyek Asal Usul Orang Indonesia (AOI).
Sementara, Ajeng Arainikasih mengambil contoh nasionalisme dari beberapa tokoh perintis permuseuman Indonesia. Disebutkan bahwa meskipun masih berada di bawah kolonialisme Belanda, telah banyak tokoh-tokoh Indonesia yang memiliki kesadaran untuk mempreservasi dan meneliti peninggalan-peninggalan sejarah leluhurnya.
Hal senada disampaikan oleh Samantha yang melihat nasionalisme dari kacamata sejarah hingga maknanya pada generasi muda masa kini. Nasionalisme, menurutnya, merupakan mimpi kolektif yang ingin dicapai oleh suatu masyarakat. Selain itu, nasionalisme harus tumbuh sendiri dari masing-masing individu dan tidak bisa dipaksakan. Di Indonesia pada masa sekarang, Samantha menyoroti naiknya cyber-nationalism, yakni penyatuan tujuan nasionalisme di ranah siber yang dapat menyatukan berbagai golongan.
Kegiatan diskusi nasionalisme ini merupakan bagian pertama dari seri diskusi kebangsaan antara KBRI Den Haag dengan mahasiswa Indonesia di Belanda. Kegiatan didesain sebagai ajang silaturahmi dan forum tukar pikiran untuk mencari solusi nyata permasalahan bangsa dan inovasi untuk memajukan bangsa. (red)