Oleh: Rizaldi Siagian
RAME, beragam, tak cuma sewarna, tapi warna-warni. Seperti itulah kira-kira gambaran populer keberagaman budaya di Indonesia. Banyak seniman yang kemudian mengekspresikan keberagaman ini dalam bahasa simbolis, misalnya: ‘pelangi’—bias pantulan warna-warni cahaya uap air yang disinari matahari dan membentuk busur itu. Aksiomanya, kalau pelangi warnanya berubah menjadi putih, atau abu-abu, tentu ia bukan pelangi lagi. Bisa jadi gumpalan ‘puting beliung’ (Tornado) yang menghancurkan.

Begitu pula kebudayaan Indonesia. Kalau aneka-warna budaya itu dijadikan seragam, satu warna, tentu tak bisa disebut kebudayaan Indonesia lagi. Kenapa? Jawabnya karena Indonesia sejak awalnya dibangun berdasarkan konstitusi yang mengakui keragaman kebudayaan sebagai bagian dari kebudayaan nasional Indonesia. Itu terukir di lambang negara Garuda Pancasila: ‘Bhineka Tunggal Ika’. Artinya kebudayaan yang beragam itu berada di dalam satu bingkai tunggal, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kalau konsep ini mau dianalogikan dengan istilah yang dikenal dunia internasional, maka istilah multikultralisme tampak mewakili maksud intinya. Yaitu, semangat hidup bersama di tengah keberagaman kebudayaan, ras, agama, etnis, sekaligus menerima dan mempromosikan potensi keberagaman itu dibawah satu sistem yurisdiksi yang diakui dan dipatuhi bersama (lihat Wikipedia: ‘multiculturalism’). Yurisdiksi atau sistem hukum perundang-undangan ini dibangun dan dikembangkan di tengah-tengah semua perbedaan yang sudah ada dan hidup berdampingan sejak lama, tanpa melihat apakah perbedaan itu berakar dari masyarakat asli (indigeneus people) atau para pendatang yang migrasi ke negeri ini.
Sumber dasar pengembangan sistem hukum ini dikenal dengan sebutan “Undang-Undang Dasar 1945â€. Dalam dunia kesenian, misalnya, kalau ada upaya untuk membuat kebudayaan musikal yang rame dan beragam itu menjadi seragam, seperti menyeragamkan semua konsep keilmuan musik tradisional yang begitu beragam di Indonesia dibawah konsep Jawa, “karawitanologiâ€, maka upaya itu sesungguhnya sudah terjerumus kedalam dalil inkonstitusional: pelanggaran terhadap UUD 1945 yang menjunjung tinggi dan menghormati keberagaman kebudayaan itu. (gr)