Mengingat Rendra (1)

Oleh Tatan Daniel

INILAH wajah Tempo, di salah satu edisi tahun kelimanya, 23 Agustus 1975. Ini pula, liputan khusus yang kedua tentang Rendra, setelah lima tahun sebelumnya, ketika Tempo baru berumur empat nomor. Ini juga yang saya suka dari Tempo (di zaman dahulu kala).

Bacaan Lainnya

Saya masih kelas satu esempe waktu Tempo menggelar laporan utamanya, bertajuk “Rendra kok Gitu” ini. Saya menikmatinya. Resensi umum yang dikerjakan oleh Syu’bah Asa dengan bernas. Isinya, tentang dua peristiwa yang menggegerkan: pementasan Perjuangan Suku Naga, dan pemberian Hadiah Seni oleh Akademi Jakarta untuk Rendra.

Tempo melaporkan, sekaligus menyampaikan catatan-catatan penting, ikhwal kedua peristiwa yang membuat banyak orang berjumpalitan, terlompat-lompat, ribut, heboh, berteriak, bertepuk tangan, memberi ‘standing ovation’, tapi tak sedikit juga yang mencak-mencak, menyumpah-serapah. Mereka, meliputi kalangan seniman, politisi, pers, rohaniwan, akademisi, para intel, dan.. gadis-gadis.

Syu’bah Asa sendiri, adalah seorang yang pernah menjadi “anak buah” Rendra dari kurun 1961-1963, lalu kemudian pada 1968-1970. Dalam edisi Tempo yang ‘lemak’ ini, ia membuat semacam penilaian kesenian yang tidak “pura-pura cinta” terhadap kesenian Rendra. Lakon Perjuangan Suku Naga dipertanyakan, begitu pula penilaian Akademi Jakarta terhadap Rendra.

Kehebohan yang dakhsyat itu, diantaranya mempertanyakan: Apa hebatnya pentas Rendra dibanding karya-karya teater Arifin C. Noer, Sardono W. Kusumo, atau Putu Wijaya? Dari aspek kepenyairannya, tersebutlah Subagio Sastrowardojo, yang menganggap Rendra hampir sama-sekali tak punya jejak. Masih dianggap penting, tapi sudah tak terkemuka lagi seperti ditahun 50-an (!).

Yang kuat membela Rendra adalah Sutan Takdir Alisyahbana, yang saat itu ketua Akademi Jakarta. Anggotanya antara lain Mochtar Lubis, Asrul Sani, Soedjatmoko, Moh. Said.. Akademi Jakarta memberi argumentasi bahwa pemberian Hadiah Seni kepada Rendra lantaran dalam lima tahun terakhir Rendra-lah yang paling menonjol di bidang puisi, membaca sajak, dan teater. Ikhwal puisi, khususnya berkenaan dengan puisi-puisinya yang terhimpun dalam Blues untuk Bonnie, yang ia tulis sepulang dari Amerika. Akan halnya menyangkut teater, menurut Takdir, yang amat penting dari Rendra adalah eksprimen-eksprimennya yang berhasil dan kontinyu, sejak pentas Mastodon, dan Barzanji. Takdir pula yang memberi nilai penting pada gaya pembacaan sajak Rendra.

Bahagian akhir dari lima halaman yang dihabiskan oleh Tempo (tebalnya baru 54 halaman, termasuk iklan, ketika itu) untuk menguliti Rendra, ditutup dengan kolom yang ditulis oleh Th. Sumartana dengan judul ‘Halo-Haleluya’nya Rendra’.

Nah. Begitulah. Saya menyukai Tempo justru karena catatan-catatan yang menggairahkan tentang kebudayaan. Dan itu saya baca dengan kaki masih bercelana pendek. Di situlah ia enak dibaca. Elegan, bermakna, bermartabat, dan perlu dibaca sampai dunia kiamat. Bukan karena laporan dengan sampul provokatif, dengan isi yang tak menggugah ‘passion’ pada nalar sehat dan adab kreatifitas. Menyerupai media lampu merah, yang setelah dibaca, boleh langsung dibuang ke lobang sampah. Bukan pula sekedar hasil ‘nguping gunjingan politik sesaat, yang kerapkali tak jelas maqam dan maslahatnya!

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *