Oleh: Bagas Hapsoro*
AWAL minggu ini Swedia dan Finlandia secara resmi mengumumkan niatnya untuk bergabung ke Organisasi Traktat Atlantik Utara (NATO). Keinginan dua negara untuk bergabung pada organisasi ini dipicu oleh invasi Rusia ke Ukraina pada tanggal 24 Februari 2022. Swedia dan Finlandia selama ini memiliki kebijakan netral (tidak memihak) dalam blok militer.
“Ini adalah hari yang bersejarah. Era baru sedang dibuka,” kata Presiden Finlandia Sauli Niinisto kepada wartawan pada konferensi pers bersama dengan Perdana Menteri Sanna Marin pada Minggu, 15 Mei 2022.
PM Swedia Magdalena Andersson secara resmi juga telah mengajukan permohonan Swedia untuk menjadi NATO setelah Partai Sosial Demokrat yang berkuasa mendukung bergabung dengan aliansi trans-Atlantik itu. Robert Dalsher, Direktur Studi di Badan Penelitian Pertahanan Swedia, mengatakan keputusan Swedia untuk bergabung dengan NATO mematahkan tradisi panjang netralitas dan non-keberpihakan.
Keanggotaan NATO perlu disepakati oleh semua 30 anggota aliansi. Awalnya Swedia dan Finlandia tak pernah terpikirkan untuk bergabung dengan NATO. Namun serangan Rusia ke negara tetangganya telah mendorong Swedia dan Finlandia memikirkan kembali kebutuhan keamanan dan keselamatan mereka ke dalam aliansi militer.
Pertanyaannya adalah: apakah dengan bergabungnya 2 negara Nordik ini ke NATO akan membuat Eropa lebih aman. Pertanyaan susulan yaitu: bagaimana masa visi negara Swedia dengan nilai-nilai multilateral.
Keamanan sebagai pijakan berpikir.
Keinginan untuk bergabung dengan NATO adalah berdasarkan aspirasi mayoritas rakyat dua negara Eropa utara ini. Dari statistik terbukti bahwa sebelum serangan Rusia ke Ukraina, dukungan rakyat Finlandia untuk bergabung ke NATO masih 25%. Namun setelah agresi Rusia ke Ukraina 24 Pebruari 2022 dukungan menjadi 76%. Demikian pula dengan Swedia, dukungan 57% untuk bergabung ke blok pertahanan Barat itu sudah memberi legitimasi untuk bergabung ke NATO.
“Netralitas telah melayani kami dengan baik, namun kesimpulan kami adalah bergabung dengan NATO akan melayani kami dengan lebih baik lagi untuk masa depan,” ujar PM Swedia Andersson.
Secara geografis Finlandia berbatasan langsung dengan Rusia disepanjang 1.340 Km. Finlandia pernah diserang Rusia (dulu Uni Soviet) pada tahun 1939. Setelah damai, harus rela wilayahnya Kariela dicaplok 10% oleh Uni Soviet.
Sedangkan jarak antara Swedia dengan Rusia dipisahkan oleh Laut Baltik sepanjang 840 Km. Sebagaimana diketahui selama 200 tahun terakhir, Swedia mengalami situasi damai dan menjauhkan diri dari peperangan.
Swedia dan Finlandia sejak tahun 1994 adalah mitra NATO. Sesuai dengan Pasal 5 Statuta NATO, serangan terhadap satu negara anggota dianggap sebagai serangan terhadap semua. Baik Swedia dan Finlandia telah memiliki status khusus dalam NATO. Jadi selama ini mereka berhak untuk ikut pertemuan policy discussion NATO dan ikut latihan gabungan NATO. Bahkan alutsista Swedia dan Finland sudah bisa dipergunakan dan mampu bekerja dalam sistem (interoperability) dengan NATO.
Wajah Eropa dengan bergabungnya Swedia dan Finlandia ke NATO
Carl Bildt mantan PM Swedia pada 21 April 2022 mengatakan bahwa aksesi Finlandia dan Swedia ke NATO akan mengubah arsitektur keamanan Eropa, khususnya dalam dua hal:
Pertama, Eropa utara akan memperoleh kapasitas untuk mengoordinasikan pasukan pertahanan di seluruh wilayah. Swedia dan Finlandia akan memberi NATO kemampuan baru, seperti yang telah ditunjukkan oleh latihan angkatan udara reguler yang mereka pegang dengan Norwegia. Selain itu, NATO akan memiliki kapasitas yang lebih besar untuk mengendalikan Laut Baltik, dan dengan demikian akan efektif mendukung pertahanan Estonia, Latvia, dan Lithuania.
Kedua, keanggotaan Swedia dan Finlandia akan memperkuat pilar Eropa dalam NATO. Kedua negara adalah pendukung pengembangan dimensi pertahanan dan keamanan Uni Eropa, dan memperkuat hubungan transatlantik, termasuk hubungan keamanan penting dengan Inggris.
Meskipun demikian Carl Bildt mengakui bahwa negara-negara Eropa utara harus berhati-hati untuk tidak memprovokasi Rusia, yang memiliki sumber daya penting dan pusat ekonomi yang dekat dengan Swedia dan Finlandia. St. Petersburg adalah kota terbesar kedua di Rusia dan zona industri utama. Semenanjung Kola adalah lokasi pangkalan kapal selam Rusia dan fasilitas lainnya, serta konsentrasi senjata nuklir terbesar di dunia. (What NATO’s Northern Expansion Means, Carl Bildt, 21 April 2022
Swedia dan multilateralisme
Sejak 1945 hingga sekarang Swedia aktif di panggung internasional. Swedia juga berani mengkritisi negara-negara penggerak Perang Dingin termasuk AS dan Uni Soviet. Pada tahun 70 sampai 80-an AS tak lepas dari sasaran kritik Swedia, terutama pada misi-misi perang di kawasan Indocina dan Perang Vietnam. Swedia tercatat memperluas jangkauan diplomatiknya ke negara-negara yang dijauhi Barat, termasuk Jerman Timur dan Korea Utara. Pada tahun 2014 Swedia mengakui kedaulatan Palestina.
Pertanyaannya adalah apakah setelah memikirkan eksistensi negara dengan ”otot” (bergabung dengan NATO), apakah Swedia masih akan memperjuangkan ”nilai-nilai” melalui konsep-konsep ”kesetaraan, Sustainable Development Goals (SDG’s), anti diskriminasi, climate change, kesehatan” dsb.
Dilihat dari rekam jejaknya, masih prematur untuk mengatakan bahwa Swedia akan mengekor pada kebijakan multilateral negara Barat lainnya. Bergabung pada NATO adalah langkah untuk membela diri dan berjaga-jaga.
Patut dipahami ketika masih menjadi negara netralpun selalu dimata-matai pesawat militer Rusia. Bahkan beberapa kali kapal selam Rusia kepergok menyelinap ke wilayah Baltik. Saking intensifnya memonitor perairan Swedia, pada tahun 1981 sebuah kapal selam nuklir Rusia kelas Whiskey pernah terdampar dan kandas di perairan Swedia, menyebabkan ketegangan diplomatik kedua negara.
Yang perlu dicatat adalah komitmen Swedia pada masalah penguatan peranan perempuan. Negara ini mendorong penghormatan terhadap hukum humaniter dan prinsip-prinsip kemanusiaan, termasuk akses dan perlindungan upaya bantuan kemanusiaan. Penyelesaian masalah di Yaman, Suriah, perlindungan kepada anak-anak pada situasi konflik bersenjata. Pendek kata, harapan negara berkembang terhadap visi Swedia ini tetap tinggi.
Terkait dengan hal itu, nampaknya Indonesia tetap perlu meningkatkan kerjasamanya dengan negara terbesar di Skandinavia ini. Sikap politik yang konsisten pada isu-isu multilateral sejalan dengan prinsip polugri yang dilakukan Indonesia. Dimulai dari komitmennya untuk mendukung pembangunan negara-negara berkembang, mengkampanyekan perlucutan senjata dan mediasi, SDG’s, mengedepankan perlindungan kepada isu perubahan iklim dan akses kesehatan kepada semua negara.
Sejatinya negara-negara Nordik ini adalah pencinta perdamaian. Salah satu alasan mengapa hadiah Nobel untuk perdamaian diberikan di Stockholm dan Oslo karena kepiawaian mereka dalam memperjuangkan isu ini. Semoga konflik dan perang di Eropa ini segera berakhir. (***)
* Bagas Hapsoro, mantan Dubes RI Swedia dan Latvia (2016-2020). Pandangan yang ditulis adalah pendapat pribadi