Membaca Sejarah Dalam Batu dan Plastik

Oleh: Roy Julian

SEORANG lelaki memukul-mukul sebuah batu besar dengan pahat dan palu godam. Tapi alih-alih hancur, batu besar itu bergeming pun tidak. Merasa putus asa, lelaki itu kemudian mengubah arah pukulannya. Kini tubuhnyalah yang menjadi sasaran pukulan pahat dan palu godam itu. Ia memukul-mukul perutnya, bahunya dan kepalanya dengan palu godam itu sampai ia jatuh terkapar karena pukulannya sendiri. Sementara di belakangnya, dua orang perempuan mulai menggoyang-goyangkan ember yang berisi tumpukan batu di atas kepala mereka dengan cara yang sedemikian rupa, sehinga menimbulkan sebuah efek bunyi yang magis dan meruang. Seperti suara aliran sungai yang terbuat dari kerikil, yang terus menerus berkemeretekan sepanjang jalan. Batu-batu itu kini tidak lagi sekedar menjadi batu-batu. Batu-batu itu mulai meluaskan dirinya menjadi metafor bagi apa pun yang membatu dan tak bisa kau pecahkan dalam kepalamu.

Bacaan Lainnya

Itulah adegan pembuka dari pertunjukan Teater Rumah Mata yang berjudul ‘Batu Penanda Yang Menggelinding’, yang dipentaskan pada hari minggu, 24 Agustus 2020 di Studio Kosambi, Binjai. Pertunjukan yang disutradarai oleh Agus Susilo ini berangkat dari teks puisi yang ditulis oleh Tsi Taura, seorang sastrawan, yang kebetulan juga adalah pemilik dari Studio Kosambi, tempat dimana pertunjukan itu berlangsung.

‘Batu Penanda Yang Menggelinding’ adalah sebuah pertunjukan yang ingin merespon kondisi situs Kottacina, sebuah pelabuhan niaga internasional Nusantara pada abad 12, sebagai sebuah jejak sejarah dan peradaban yang telah terkubur oleh arus modernitas. Hal itu membuat tema pertunjukan ini menjadi spesifik. Karena isu dan narasi yang diwacanakan oleh Agus Susilo dalam pertunjukan ini sangat menjurus ke satu arah, yaitu, situs Kottacinna.

Artinya, untuk bisa menikmati pertunjukan ini dengan baik, penonton, sebaiknya, memang harus memiliki referensi tentang sejarah situs Kottacina. Namun begitu, bukan berarti mereka yang tidak mengetahui tentang latar belakang situs Kottacina tidak bisa menikmati pertunjukan ini. Karena sebuah pertunjukan yang baik (seharusnya) tetap akan bisa dinikmati walau tak harus bisa dimengerti.
Secara semiotik, kehadiran batu, selain sebagai simbol peradaban tua, juga bisa dimaknai sebagai sesuatu yang keras kepala dalam diri manusia.

Sementara kehadiran plastik kresek yang bertebaran di lantai pertunjukan bisa dilihat sebagai kegilaan manusia pada hasrat konsumerisme dan sampah modernitas yang tak habis-habisnya mengotori bumi. Bahwa hidup, telah menjadi begitu plastik untuk kita jalani. Ada semacam kegentingan yang terus menerus menyala antara batu dan plastik di dalam pertunjukan itu. Sebuah kegentingan yang tak henti-hentinya mempertanyakan hubungan antara masa lalu dan masa depan yang diwakili oleh batu (masa lalu) dan plastik (masa kini), dimana kenyataan berlintasan dan berpantulan di antaranya.

Tokoh lelaki yang dimainkan oleh Agus Susilo hadir dan keluar-masuk panggung dalam berbagai peran. Ia bisa hadir sebagai pemecah batu, sebagai nelayan, sebagai pelaut, sebagai penjala ikan, sebagai sesuatu yang tak bernama dan sebagai seseorang yang mempertanyakan ruang dan waktu. Ia hadir sebagai siapa dan apa saja yang terlibat dalam arus sejarah dan peradaban Kottacina. Beberapa dari tokoh itu dimainkan dengan pola permainan yang sangat mencekam, sehingga terkesan berlebihan. Sebagai penonton, saya merasa suasana mencekam yang ditawarkan oleh sebagian dari akting Agus Susilo tidak menemukan urgensinya dengan ide pertunjukan yang ditawarkannya sendiri. Hanya pada satu adegan, ketika lelaki itu (sebagai nelayan) mengeluh tentang kondisi danau siombak yang telah tercemar, Agus Susilo berhasil memainkannya dengan ringan, natural dan jenaka tanpa harus kehilangan kedalaman perasaan dan bobot emosinya. Saya berpikir, seandainya Agus Susilo mau sedikit saja menurunkan tingkat emosinya yang terkadang terasa terlalu tinggi, pertunjukan ini mungkin akan lebih terasa menyegarkan.

Dua pemeran lainnya, Zizah dan Reka, tampaknya tidak terlalu dioptimalkan kekuatan keaktorannya oleh sutradara. Meskipun terlihat bahwa mereka berdua memiliki talenta yang cukup baik, tapi permainan mereka yang cenderung stereotip dan umum (tidak menawarkan semacam keunikan yang khas) membuat mereka berdua lebih terlihat sebagai perpanjangan tangan dari property belaka. Saya curiga, ini terjadi karena latihan yang kurang panjang dan intens, sehingga mereka tidak menemukan keunikan bermainnya sendiri. Hal yang seharusnya ada di dalam diri setiap aktor ketika berada di atas panggung.

Namun harus diakui, bahwa irama dan tempo pertunjukan berlangsung dengan sangat baik dan terjaga. Hal itulah yang mampu mengikat penonton selama pertunjukan berlangsung. Adegan demi adegan terbangun dengan rapi dan semua peristiwa mengalir dengan lancar tanpa hambatan. Konsep pemanggungan prosenium yang dipilih oleh sutradara untuk mengeksekusi pertunjukan ini cukup efektif untuk menghadirkan ‘alienasi’ (meminjam istilah Brecht) antara panggung dan penonton, sehingga memungkinkan adanya proses evaluatif dalam diri penonton. Bahwa apa yang terjadi di atas panggung bukanlah kenyataan yang sebenarnya, tetapi adalah sebuah abstraksi terhadap realitas. Ia adalah sebuah kenyataan yang telah mengalami tafsir-ulang secara imajinatif. Itulah yang kemudian menghadirkan proses berfikir dalam diri penonton atas pertunjukan.
Kita tahu, bahwa sebuah pertunjukan yang baik, bukanlah pertunjukan yang hanya sekedar mampu menghibur penonton. Tapi lebih dari itu, ia mampu mengajak penonton untuk berpikir dengan cara yang lain. Karena perubahan di dalam masyarakat tidak terjadi ketika kita merasa terhibur.

Perubahan terjadi ketika kita mampu mengubah cara berpikir kita sendiri.
Modernitas, bagaikan buah simalakama bagi masyarakat modern. Di satu sisi, ia memudahkan segala aspek kehidupan manusia, tapi di sisi yang lain, ia juga menggerus nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang kita di masa lalu.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat manusia bisa mendaratkan kakinya di bulan, tapi di saat yang sama, ia juga membuat kita kehilangan jejak kaki kita sendiri. Jejak kaki yang menghubungkan antara siapa kita di masa lalu dan siapa kita di saat ini.

‘Batu Penanda Yang Menggelinding’ mengajak kita untuk melihat kembali sejarah sebagai bagian yang penting bagi terbentuknya masa kini dan masa depan. Sebagaimana para arkeolog menggali tanah untuk menemukan kembali artefak-artefak masa silam, pertunjukan ini juga mengajak kita untuk kembali menggali ingatan kolektif kita tentang kebesaran bangsa ini di masa lalu. Bukan sebagai nostalgia belaka, tapi sebagai penanda, bahwa kita harus menjadi bangsa yang terus ‘menggelinding’ menjadi lebih baik di masa depan. (***)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *