Melihat Cara Penyair Tsi Taura Merayakan Ulang Tahun

oleh -1,384 views
Foto: Cover Buku Antologi Puisi Marissa Perempuan di Tepi Sungai Waeapo. (ist)

oleh: Ayub Badrin

Hujan baru saja turun saat Suyadi San akan memandu diskusi Antologi Puisi “Marissa Perempuan Di Tepian Sungai Waeapo”. Sebuah buku kumpulan puisi penyair Tsi Taura, Sabtu (4/5/2019) di rumahnya di Jalan Palembang Binjai. Peluncuran buku itu sekaligus syukuran 60 tahun usia penyair yang juga Jaksa itu.

Diskusi tentu saja terganggu oleh hujan yang turun tiba tiba itu.

“Berkah, ” kata Taura.

Tiga “Suhu Sastra” yakni Damiri Mahmud, Mihar Harap dan Idris Pasaribu terpaksa dipindahkan dari tenda di halaman rumah ke teras rumah. Pas dekat peralatan keyboard. Itu terjadi sekitar pukul 14.00 WIB.

Sebelumnya, sejak pukul 9.00 WIB, rumah besar itu sudah di setting sedemikian rupa. Tamu langsung disambut sebuah puisi dari sebuah baleho berwarna putih yang dipasang di depan gerbang. Sepertinya para tamu diminta untuk membaca puisi karya Porman Wilson Manalu itu. Tentang 5 Mai.

Ada banyak meja bulat tersusun rapih. Masih sepi. Hanya ada beberapa orang. Suasana dibuat santai. Di sisi lain sebelah selatan, kursi mewah berwarna coklat susu disusun berjejer dengan latar belakang sepanduk acara. Waktu itu sudah ada, Ketua Dewan Kesenian Sumut, Baharuddin Saputra, Mihar Harahap, Yunus Tampubolon dan Tsi Taura alias Mat Kilau.

Tamu lainnya ada pula dr Umar Zein, DR Ichwan Azhari, Seniman Porman Wilson, Ronald Raja Guguk, Hendri Batubara, Agus Susilo, Seniman Siantar Ibrahim Harahap, Jo Hendri, Akbar dan tamu lainnya.

Sekitar pukul 10.00 WIB acara dimulai. Pembawa acara masih Jo Hendri. Undangan sudah ramai, ada juga Nasib TS dari Possad Deliserdang yang datang bersama dua orang temannya. Tetapi Sastrawan Sugeng Satya Darma dan Mahyuddin Lubis tak tampak.

Tsi Taura dalam sambutannya bercerita tentang hidupnya. Tentang keluarganya, tentang istrinya yang setia mendampingi hidupnya. Hingga pindah tugas ke Tanjungpinang, Jambi dan Sumatra Selatan .

Kini usianya 60 tahun. Taura mengatakan dirinya akan memasuki masa pensiun. Dia akan pulang ke Binjai, merawat buku-bukunya dan membina generasi muda di Binjai bersama Komunitas Sastra Masyarakat Binjai (Kosambi).

Kemudian ada juga semacam testimoni dari teman-temannya seperti Ichwan Azhari, Damiri Mahmud, Amir Hamzah. Mereka rata – rata sangat terkesan berkawan dengan Tsi Taura. Terkesan mungkin satu-satunya Jaksa Agung yang hobi menulis dan membaca puisi.

Menurut Suyadi San dalam kesaksiannya di Face Book, (FB), TSi Tahura sudah menerbitkan buku dalam waktu dua tahun, tiga buku antologi puisi. Dua di antaranya antologi tunggal dan satu merupakan antologi bersama. Dua buku tersebut berjudul “Pengantin Kabut Laut” (2018) dan Marissa (2019) yang diluncurkan dalam acara ini. Satu lagi adalah “Ledakan Detik”.

Setelah itu, Tsi Taura yang pada hari itu juga merupakan ulang tahun anaknya, “Adinda Dwi Rara” melakukan prosesi potong kue. Diiringi lagu Happy Birthday dan Selamat Ualng Tahun dari seniman serba bisa Surya Dharma dan Syaiful Amri. Meriah. Haru, berwibawa. Sebuah pesta sederhana dari seorang Jaksa Agung yang juga seorang penyair.

Banyak orang menilai, pesta seorang laiknya Tsi Taura di hotel mewah pun, dia bisa melakukannya. Tetapi tidak. Di pestanya puluhan puisi bergema, berteriak, berdendang, berdedeng, berirama, bermusikalisasi yang keluar dari mulut mulut penyair jalanan, penyair pemula, penyair sekolah, tak peduli. Bukan bising oleh suara dendang keyboard yang hingar bingar.

Mereka adalah Idris Pasaribu, Yunus Tampubolon, Porman Wilson Manalu, Ibra Harahap, Dedek Wanti, Adlah Hasibuan, Eva Susanti, Jo Hendri, Mihar Harahap, Ronal Raja Gukguk, Surya Darma, Teja Purnama dan Akbar Laboraturium Teater Cetra.

Pesta sajak pun melantang ke langit. Wajah Tsi Taura sumringah. Ini pesta para penyair. Dari pagi hingga petang bertaburan sajak sajak, dari kumpulan antoligi Marissa. Sehingga kita pun bertanya “siapa Marissa sebenarnya?

Inilah yang kemudian dikupas dalam diskusi yang dipandu Suyadi San. Pertanyaan pun muncul. Apaka Marissa benar benar ada, atau hanya hayalan “aku lirik? ”

Menurut Idris Pasaribu, hal itu bisa dideteksi pada 20 pertama puisi Marissa tersebut. Tetapi Tsi Taura sendiri seperti mengisyaratkan kalau Marissa, Perempuan Di Tepian Sungai Waeapo Itu benar benar ada dan bukan sekedar hayalan.

Sepertinya Tsi Taura menyembunyikan sosok wanita yang dalam puisi puisi nya digambarkan, ayahnya menjadi tahanan politik (Tapol) di Pulau Buru, lantaran tertuduh sebagai anggota PKI.

Tsi Taura dengan halus dan lembut seperti membela Marissa yang menyusul ayahnya. Tsi Taura ingin mengatakan bahwa ayah Marissa tidak Komunis. Mereka keluarga yang taat beragama. Mereka muslim yang taat. Dalam puisi itu penyair Taura banyak menggambarkan Marissa salat di musalah meski tanpa sajadah.

Tetapi dalam buku setebal 111 halaman itu, ada juga samar samar seperti terselubung kabut, kedekatan penyair dengan Marissa. Kedekatan yang bukan seperti seorang potografer dengan objek potonya. Tetapi kita bisa mencium adanya kedekatan perasaan.

Pada Marissa 02, jelas sekali tergambar. Meski penyair ingin berkelit, tetapi dia juga terjebak ingin menuliskan satu kisah laknat pada malam yang meruntuhkan pohon mahligai.

kau bertanya dengan siapa aku kemari
merebah langkah yang tak pernah tercatat falam mimpimu
aku menemukan orang yang kucari
firasatku tak menyimpang
kau adalah sekutu dalam dukaku

burung-burung terkejut sembunyi di bawah bebatuan
kataku jangan muntahkan kebencian kunjungan ini
mungkin mereka meligat lahan yang bertahun-tahun menguliti rumput dan rimba lapar
kau tersenyum pada hijabku yang lusuh
kukerat-kerat waktu melupakan kepedihan zaman

marissa, bibirmu bergetar
aku tak membubui sejarah
Biarpun kau meruntuhkan pohon mahligai malam laknat

kembalilah ke ujung surau
ada sajadah buatmu

Allah menunggumu di sana

Foto: Tsi Taura saat baca puisi karyanya. (ist)

Jelas sekali penyair ingin menggambarkan sebuah adegan laknat. Dan penyesalan bahkan pertobatan. Seperti apa adegan laknat yang dimajsudkan, hanya aku lirik lah yang tahu.

Pada puisi puisi lain pun masih tergambar betapa aku lirik masih mengharapkan wanita yang dilukiskan berparas manis berlesung pipit itu. Misalnya dalam pertemuan di Jogya, jelas mereka pernah bertemu dan tentu saja ini bukan hayalan penyair.

Tetapi baik Damiri maipun Mihar Harahap sepakat tidak mempersoalkan apakah Marissa adalah sosok nyata atau hayalan penyair. Kata Damiri meskipun sosok itu nyata, tetapi ketika dituliskan ke dalam karya seni, sosok itu bisa saja menjadi fiksi.

Mihar Harahap juga tak mau mempersoalkan hal itu. Tetapi menurut Nasib TS, pembicara menjadi terkesan bersekongkol dengan penulis, seolah-olah ikut mempertegas kekaburan buku kumpulan puisi “Marissa” ini.

“Kita setidaknya harus mengidentifikasi keberadaan buku ini. Apakah dia termasuk, buku puisi cinta atau sejarah?” kata Nasib.

Pertanyaan itu tak pernah terjawab. Pertanyaan itu hanya menggantung di langit. Hingga acara berakhir dengan baca puisi spontanitas. Baca puisi Marissa. Suara para penyair yang menembus langit. Menembus Kota Binjai. Dari rumah yang di dalamnya menyimpan 30 ribu buku ini.

Atmosfir sajak sajak itu juga agaknya merembes ke istri. Maka ia juga menulis puisi dan membacakannya buat putri tercinta yang juga ulang tahun. Dan terbakarlah semangat sang ayah. Tak mau kalah. Para tamu seperti dihibur oleh keluarga yang menyintai puisi. Apalagi suara azan di mesjid menjadi background yang tidak disengaja.

Begitulah, hujan telah reda. Pukul 17.00 WIB. Pesta para penyair usai. Kopi Kok Tong dari Siantar yang dibawa Ibra, menambah gairah membaca puisi. Juga menu Kambing Guling. Darah penyair pun panas. Langit terkuak oleh syair syair.

Diujung acara juga ada pemberian anugerah kepada Dua penyair Kota Binjai, yakni H Abdul Jalil Siddin dan Yunus tampubolon, sebagai pewaris sastra lisan Dedeng dari Kosambi.

Alm. Jalil diwakilkan oleh anaknya. Dalam pidatonya dia menceritakan bagaimana ayahnya berjuang mengenalkan puisi puisinya. Ia terpaksa menerbitkan sendiri, lantaran sulitnya menerbitkan buku puisi. Beberapa buku Jalil yang akan diserahkan ke perpustakaan Tsi Tahura sudah dimakan rayap. Duh!!!

Tsi Taura adalah seorang Jaksa yang menyintai puisi. Dari beberapa literatur mengatakan Tsi Taura suka menulis puisi sejak masih dibangku SMP. Tapi nasib membawanya menjadi seorang Jaksa.

Suyadi San menulis, Penyair Jaksa, ini dikenal di kalangan penyair di Indonesia. Secara nasional, bersama Kurniawan Junaedhi, dia ahlinya dalam melahirkan puisi bergaya Jepang, Haiku. Banyak puisi haiku-nya terbit dalam antologi bersama. Di Sumatra Utara sendiri, dia merintis kepenulisannya era 1980-an bersama teman seangkatannya, Foeza M. E. Hutabarat, Karahayon Suminar, Ichwan AR, dan beberapa orang lagi.

Tetapi Ayahnya menginginkan dia sukses di jalur ekonomi, sehingga dia masuk STAN di Bandung. Dua tahun di STAN dan hampir mulai bergaji, institusi itu ditinggalkannya. Lalu banting setir ke jalur hukum hingga malang-melintang di tubuh penegak hukum kejaksaan.

Tsi Taura tetap menulis. Selain haiku, dia tetap menulis puisi. Ada beberapa buku antologi dilahirkannya saat itu. (***)